Ruang dan Batas

Sri Winarti
Chapter #9

Bab 8

Setelah menghela napas panjang, Fauliza membuka knop pintu dengan ragu-ragu, lalu ia keluar dari kamarnya, menuruni anak tangga sambil berharap-harap cemas. Ia sangat berharap suasana hati ibunya sedang bagus, hingga pertanyaan sensitifnya dapat tersampaikan dengan baik dan ia akan mendapatkan jawabannya yang mungkin akan disesali jika mengetahuinya.

Fauliza membuka pintu kamar ibunya, berharap ia ada di sana dan belum tidur. Namun ibunya tak ada, mungkin ia berada di halaman samping rumah, tempat pavoritnya jika tak menghabiskan waktu di restoran hingga tutup. Ia pun pergi ke samping halaman rumahnya dan betul saja ibunya berada di sana, tengah duduk di kursi rotan menghadap kolam renang sambil meminum secangkir kopi susu, ditemani bintang-bintang ceria yang berhambur di langit dan rembulan yang seolah-olah tenggelam di wajahnya yang letih. Letih karena masa lalu yang begitu memilukan terus menghantuinya. Letih karena luka tak kunjung sembuh. Letih karena sepi tak kunjung pergi. Sungguh ia ingin terbebas dari masa lalu, tetapi entah kenapa begitu terasa mustahil? Kapan akan bebas? Kapan? Ketika telah dijemput batas? Pikirnya putus asa.

Terlihat ia menghela napas, lalu meminum kembali kopi susunya dengan seiring Fauliza menghampirinya dan duduk di sampingnya. “Kenapa belum tidur? Ini udah malam,’’ tanyanya sambil meletakkan cangkir yang menyisihkan setengah kopi susu di meja rotan cantik yang berbentuk lingkaran itu.

“Belum ngantuk, Ma.’’        

“Bagaimana sekolahmu? Menyenangkan?” tanya ibunya penuh kasih sayang dan kelembutan.

“Menyenangkan.”

“Bagus, harus rajin mengaji juga ya!”

“Iya.’’

Ibunya mengelus rambutnya dan itu sangat-sangat membahagiakan bagi Fauliza. Hal seperti ini sungguh-sungguh jarang dilaluinya, selain melalui waktu yang begitu sepi dan menyedihkan. Fauliza inginkan ini setiap hari, sangat ingin. Bercakap-cakap, berbagi cerita, meluapkan berbagai perasaan, bercanda bersama untuk mengukir sebuah tawa dan senyuman yang indah, dan melakukan banyak hal lainnya.

“Ma, boleh aku bertanya? Dan kali ini aku ingin mendapatkan jawabannya,’’ tutur Fauliza dengan mata yang berkaca-kaca dan penuh harap.

“Bertanya apa?”

“Tentang Ayah, Nenek bilang dia pergi meninggalkan mama dan aku saat dalam kandungan tiga bulan. Jika boleh tahu, kenapa ia pergi dan di mana ia sekarang? Masih hidupkah atau sudah meninggal?’’

Iya, ketika Fauliza di dalam kandungan usia tiga bulan, ayahnya pergi meninggalkannya dan ibunya, dan tidak pernah kembali sampai sekarang pun. Jangankan tahu seperti apa dan bagaimana ayahnya, hingga sebesar ini Fauliza tak tahu siapa nama ayahnya. Tidak pernah melihat wajahnya, walau hanya sekadar dalam foto. Ibu dan neneknya tidak pernah memberitahukannya dan itu sangat menyiksa. Setiap dirinya bertanya, bukannya dijawab malah dilarang untuk bertanya kembali. Bukan hanya itu, ibunya juga sibuk dengan restoran dan lukanya, tanpa memedulikan Fauliza yang sangat-sangat membutuhkannya.

Mendengar pertanyaannya itu mata ibunya langsung berkaca-kaca. Kini luka di hatinya semakin menganga. Rasanya menyesakkan sekali, mengapa Fauliza tidak pernah mengerti? Mengapa ia terus-terusan bertanya? Pikirnya merasa tak habis pikir, sedangkan Fauliza sudah cukup besar untuk mengerti.

“Kenapa kamu tidak pernah mengerti?” tanya ibunya sambil berdiri dan sambil menderaikan air mata. “Pertanyaanmu melukai hati Mama. Fau kamu sudah besar, jika mama tidak pernah menjawab pertanyaanmu itu artinya sangat menyakitkan. Sudah mama katakan, kamu boleh bertanya apapun asal tidak bertanya tentangnya lagi! Dan saat kamu tahu jawabannya, maka kamu juga akan sangat terluka,” ucapnya yang kemudian memasuki rumah meninggalkan Fauliza sendirian dalam isak tangis yang memilukan. Tangisan yang begitu menyayat hati. Tangisan yang menyamarkan jeritan, yang begitu menyakitkan. Mengapa meski ada manusia yang begitu egois? Ia ingin dipahami, tetapi tidak ingin memahami orang lain. Mengapa ia hanya memikirkan lukanya sendiri, tanpa memikirkan luka orang lain? Pikir Fauliza sedih.

Fauliza menyusulnya, namun ibunya telah dulu menutup pintu dengan keras dan menguncinya, hingga ia hanya dapat tertegun diam sambil terisak di depan pintu. Kemudian ia beranjak dari sana, menaiki anak tangga dan memasuki kembali kamarnya, setelah itu menelpon seseorang.

“Ada apa telepon malam-malam? Apa ada sesuatu yang terjadi pada mamamu?’’ tanya seseorang di balik telepon.

“Nek, kenapa Ayah pergi meninggalkan aku dan siapa dia?’’ tanyanya yang belum menghentikan isak tangisnya.

“Jika mamamu saja tidak bisa memberitahumu, maka sama dengan Nenek. Nenek juga tidak bisa memberitahumu.”

“Nek, apa susahnya memberitahu?’’

“Tolong pahamilah mamamu dan Nenek,” ucapnya lirih, bahkan suaranya terdengar terisak.

Lihat selengkapnya