Ruang dan Batas

Sri Winarti
Chapter #10

Bab 9

Setelah beberapa hari bolos, akhirnya Medina kembali bersekolah dan itu cukup membahagiakan bagi sahabat-sahabatnya. Namun ia tak luput dari sikap anehnya seperti sebelum-sebelumnya. Terlihat ia bertatapan kosong, mendengus-dengus seperti orang pilek. Tubuhnya semakin kurus kerempeng, penampilannya acak-acakkan, kucel, dan matanya merah. Ia benar-benar berantakkan, bukan seperti Medina biasanya yang rapi, wangi, dan cantik. Wajahnya entah kenapa nampak menyeramkan pula, ia terlihat garang dan menyedihkan.

“Na, nanti sepulang sekolah kita main yuk! Udah lama enggak maen,” ajak Kinar yang sudah sangat rindu memiliki waktu dan ruang bersamanya.

“Yuk, kita main!” ajak Lala antusias.

“Aku gak mau ke mana-mana,” jawabnya dingin sambil mendengus-dengus, terlihat ia juga berbicara tanpa memandangi sahabat-sahabatnya.

Kenapa ia begitu dingin, biasanya juga begitu hangat dan ramah? Ia juga banyak berubah. Kenapa ia jadi seperti itu? Apa semua perubahannya karena persoalan hidupnya? Pikir Kinar heran dan merasa iba. “Pasti kamu mumet, kan? Mending main ya nanti! Agar kamu lupa sama masalah kamu,” bujuk Kinar sambil memegang pundaknya.

“Udah aku bilang, aku gak mau ke mana-mana,” bentaknya sambil menepis tangan Kinar dengan kasar. “Pergi aja sendiri anjing!” sentaknya sambil mendorong Kinar hingga terjatuh menghantam meja Disi, hingga ia meringis kesakitan, karena punggungnya membentur meja cukup keras. Dengan segeralah Lala memburunya.

Teman-teman sekelasnya langsung tertarik memerhatikan mereka, termasuk Ihfa dan Radel beserta teman-temannya yang tengah duduk di teras paling belakang sambil mengunyah sesuatu. Menarik perhatian Ilmi dan sahabat-sahabatnya pula yang baru saja tiba di kelas, terkecuali Risa. Ia duduk termenung dengan tatapan yang kosong, sebab ada banyak hal yang tengah dipikirkan dan disesalinya. Terlihat matanya juga sembab, habis menangis.

Terlihat wajah Medina merah padam, dadanya kembang kempis dan matanya menyorotkan kemarahan yang begitu besar. Ia yang lemah lembut jadi sangat kasar, membuat teman-teman sekelasnya sangat heran. Dan terlihat mata Kinar berkaca-kaca, rasanya sangat menyakitkan disebut binatang oleh sahabat sendiri.

“Kurang ajar banget sih kamu Na, kasihan Kinar,” teriak Lala.

“Diam goblok, mau aku dorong kaya Kinar, heuh?”

Melihat Medina yang seperti itu membuat Lala dan Kinar ketakutan, sungguh ini bukan Medina yang mereka kenal. Ia bengis dan menakutkan.

“Kemarin-kemarin kamu ketawa ngakak tanpa sebab, terus panik tanpa sebab. Suka kabur, tiba-tiba setelah beberapa jam masuk lagi. Kadang juga gak balik lagi ke kelas, sering bolos, dan sekarang marah-marah, gila ya?’’ celetuk Disi.

“Wah, wah, wah, Medina jadi pemarah. Daebak,” ucap Radit meniru Kinar dan Erina jikalau melihat suatu hal yang menakjubkan selalu berkata, “Daebak.” Tak lupa ia juga mengiringi ujarannya dengan tepukan tangan.

“Ini bisa-bisa viral dan jadi tranding topic selama sepekan,” ucap Gena sambil beranjak dari duduknya dan membawa sepotong kue brownis, lalu melahapnya hingga pipinya mengembang.

“Don kamu rekam gak?” tanya Fida sambil mengangkat dagu. “Nanti masukin channel  kamu, agar subscribe kamu yang hanya lima orang nambah jadi sepuluh juta orang.”

“Heh, dari pada marah-marah mending makan nih kue, enak. Belum sarapan, kan? Makanya marah-marah kaya cacing di perut kamu.” Radel menyodorkan kue ke hadapan mulutnya, berniat menyuapi.

 Medina menepisnya hingga jatuh ke lantai sambil menatap Radel geram.

“Kue aing.” Radel menatapnya tak rela, lalu ia mengambilnya dengan cepat dan mengusap-usapnya sambil ditiup-tiup. “Kamu tuh ya, jangan buang-buang makanan! Sayang. Di luaran sana banyak orang yang kelaparan tahu,” bentak Radel yang kemudian memakannya.

Sebagian teman-temannya merasa jijik melihat Radel yang memakan kue yang sudah jatuh. Padahal dia kaya, tetapi sebegitunya, pikir sebagian temannya. Ilmi tidak menyangka Radel seperti itu dan itu cukup manis, karena ia mampu menghargai, meski hanya sekedar makanan. Sebab, betul yang dikatakan Radel bahwa di luaran sana banyak yang kelaparan, dan di sini kita mau membuangnya? Yang betul saja?

“Jangan bilang kamu hamil di luar nikah Na! Terus pacar kamu gak mau tanggung jawab dan kamu lampiasin amarah kamu ke Kinar,” teriak Lala kesal.

“Woy, jangan aneh dong! Cukup Ihfa aja yang aneh,” teriak Dodon.

Terlihat Ihfa menatapnya dengan tatapan yang begitu tajam dan dingin, membuatnya kembali beku untuk kesekian kalinya.

“Diam kalian semua! Jika enggak tahu apa-apa, gak usah melemparkan banyak pernyataan,” ucap Medina geram, segeram-geramnya hingga membuat teman-temannya diam membeku. Lalu ia kembali duduk dan mendengus-dengus.

“Medina kenapa ya?’’ tanya Erina heran, seheran-herannya.

“Entahlah, semoga aja gak kenapa-kenapa,” harap Ilmi sambil beranjak ke mejanya dengan disusul sahabat-sahabatnya.

Terlihat pula teman-teman kelasnya kembali kepada kegiatannya masing-masing. Begitupun dengan Radel dan teman-temannya kembali duduk di teras dan memakan kue.

Ketika Ilmi duduk di kursinya ia menyadari suatu hal, ada yang hilang. Iya, kue pesanan Bintu untuk ulang tahun ibunya tidak ada di meja. Ke mana? Kan, Bintu akan mengambilnya nanti pas jam istirahat? Dan mana mungkin ia berani mengambilnya tanpa konfirmasi dulu. Jangan-jangan yang dimakan Radel dan teman-temannya itu, pikir Ilmi sambil tertegun diam.

“Kenapa, Il?” tanya Fauliza.

“Kue pesanan Bintu gak ada,” ucapnya sambil beranjak menghampiri Radel.

Ilmi menghela napas berusaha untuk tetap tenang ketika melihat kuenya habis, raib, dan hanya tersisa satu potong kecil di tangan Radel.

“Mau Il? Enak, kamu rupanya jago buat kue ya. Berapa harganya? Aku mau pesan lagi dong.” Radel tersenyum dengan lebar, lalu ia melahap kembali kue tersebut hingga habis tak tersisa.

Kenapa sih Radel kok nyebelin banget? Apa dia menganggap kue tersebut untuknya karena percakapan kemarin di supermarket, atau apa? Sedangkan Bintu nanti saat jam istirahat pertama akan mengambilnya, itu artinya tak menepati janji dong. Baiklah, Ilmi akan meminta maaf pada Bintu dan akan mengganti kuenya lagi.

“Radel, itu pesanan Bintu untuk ulang tahun ibunya nanti malam.’’ Rasanya Ilmi kesal, tetapi ia berusaha menahannya, agar tidak marah kepada Radel dan teman-temannya itu.

“Wah keterlaluan kamu Radel, otak kamu di dengkul ya? Bener-bener tolol,” hardik Fauliza geram.

“Radel, lain kali tanya dulu, jangan asal makan!” Erina tersenyum masam, berusaha mengingatkannya.  

“Ya ampun Del, tolong dong jangan buat orang lain kesel sama kesusahan.” Hafitra geleng-geleng kepala, tak habis pikir dengan kelakuannya.

“Niatnya sih cuman nyicipin, mau tahu rasanya. Ternyata enak banget, jadi aku makan sama temen-temen,” tukasnya santai, kemudian ia nyengir tanpa wajah berdosa seperti biasa. Bahkan ia juga tidak menghiraukan apa yang dikatakan sahabat-sahabat Ilmi.

“Kalau gitu, kamu harus tanggung jawab!’’  

“Tanggung jawab?’’ Radel mengerutkan dahi, berpura-pura tak mengerti. “Tanggup jawab apa, Il?’’ Ia menaik-naikkan alisnya sambil tersenyum menggoda.

Terlihat Ilmi menatapnya jengah, lalu ia menghela napas dan beranjak, kemudian duduk di kursinya dan menempelkan dahinya ke meja, berusaha untuk benar-benar tenang. Sementara itu Fauliza habis-habisan memarahi Radel, hingga mereka cekcok satu sama lain. Sedangkan Erina berusaha mati-matian melerai mereka, dan Hafitra menghampiri Ilmi.

“Il, gini aja, nanti sepulang sekolah kita beli lagi bahan-bahannya dan buat lagi kuenya di rumah aku atau di rumah Erin, dan kamu gak usah khawatirin untuk bahan-bahannya, biar aku yang beli.’’

“Gak perlu Fit, ini tanggung jawab Radel. Aku mau dia yang ganti.’’

“Kalau enggak?’’

“Aku yakin kok dia bakal ganti, jadi gak usah khawatir ya!’’ Ilmi menyemburatkan senyuman.

Lihat selengkapnya