Buku-buku bertengger dengan rapi di rak-rak kayu, seolah tengah bercakap-cakap menyampaikan keinginannya agar tidak pernah terlupakan dan tergantikan. Sebab, setiap kata yang terangkai di dalamnya ingin dilafalkan dengan indah oleh bibir-bibir yang senantiasa bersimphoni, agar cerdas otaknya, agar jendela dunia terbuka selebar-lebarnya. Bukan hanya itu, buku-buku keagamaan yang isinya sajak-sajak indah dari Tuhan, ingin pula setiap larik dan baitnya dilafalkan dengan indah, agar cantik hati dan budi pekerti. Agar selamat jiwa dan merdeka dari peradaban-peradaban setan.
Selama mata ini menatap, terlihat Ihfa sangat khusyuk sekali membaca buku, tenggelam dalam setiap kata, dunianya.
“Boleh kami duduk sama kamu?’’ tanya Fauliza sambil duduk di hadapannya bersama Ilmi, Erina, sedangkan Hafitra duduk di sampingnya.
“Kamu gak keberatan kan, kami duduk di sini?” tanya Hafitra sambil menyuguhkan senyuman yang begitu ramah.
“Boleh kan, Fa? Sendiri itu enggak enak lho. Kan, kalau banyak orang itu menyenangkan, apalagi punya teman yang akan senantiasa ada. Hidup Ihfa akan lebih berwarna, indah seperti pelangi dan enggak akan lagi sepi,’’ ungkap Erina sambil menyuguhkan senyuman yang hangat dan ceria.
Terlihat Ilmi diam penuh harap, bahwa Ihfa akan memperbolehkannya dan ia tidak akan lagi menghindari mereka untuk kesekian kalinya. Mereka sungguh tidak ingin Ihfa sendirian lagi, sebab mereka tahu betapa menyedihkannya sendiri dan kesepian.
“Silahkan saja!” ucap Ihfa dingin sambil beranjak menuju penjaga perpustakaan untuk meminjam buku tersebut.
Ilmi, Fauliza, Erina, dan Hafitra menghela napas. Selalu saja seperti itu setiap dihampiri untuk ditemani, kenapa sih?
“Kami ingin berteman sama kamu, bagaimana?’’ tawar Ilmi kepadanya.
Terlihat Ihfa menghentikan langkah kakinya, lalu sejenak melirik mereka yang menatapnya penuh harap. Sebetulnya ia ingin sekali punya waktu dan ruang bersama mereka dan berteman dengan mereka, terutama dengan Ilmi perempuan yang dicintainya. Tetapi, ia takut mereka akan pergi dan menjadikannya sendiri dan sepi kembali setelah mereka tahu siapa dirinya. Ya, kalau cuman pergi, bagaimana kalau setelah pergi lalu membully? Ihfa tak ingin itu terjadi kembali, sebab itu sangat menyakitkan.
Ihfa menghela napas, lalu melanjutkan langkahnya dan meminta kepada penjaga perpustakaan untuk mencatat buku yang ia pinjam, kemudian pergi tanpa menghiraukan apa-apa lagi.
“Fau, kali ini bisa kan cerita!?” desak Ilmi dengan wajah yang memelas.
“Iya, Fau,” desak Erina pula dengan wajah yang memelas.
Sementara itu Hafitra diam menanti Fauliza mengamini, lalu menceritakannya.
Fauliza menghela napas dalam-dalam. “Maaf! gak bisa.”
“Baiklah,” ucap Ilmi sambil menyuguhkan senyuman.
“Maaf!”
“Enggak apa-apa, kami paham kok.” Ilmi meyakinkannya agar Fauliza tak merasa tidak enak hati.
Kemudian ia beranjak mencari novel untuk dipinjam. Sedangkan Hafitra bermain game online, dan Fauliza mengobrol bersama Erina. Namun mata Erina tergoda oleh sebuah buku tentang narkoba yang berada di meja tersebut, yang tersimpan begitu saja, tak dikembalikan lagi ke tempat asalnya. Tiba-tiba rasa curiga menguak di hatinya terhadap Medina, bahwa ia mengkonsumsi narkoba. Untuk memastikannya, Erinapun mengambil buku tersebut dan membacanya dengan seksama.
“Kalian ngerasa kan, kalau Medina jadi aneh?” tanya Erina mengagetkan sahabat-sahabatnya, termasuk Ilmi yang baru saja duduk kembali.
“Bisa gak, enggak ngagetin begitu!” protes Fauliza.
“Maaf!’’ tukas Erina merasa bersalah.
“Iya, dia jadi aneh. Dia itu lemah lembut, anak baik-baik, rajin, pintar pula sejak SMP,” ucap Fauliza yang memang dari kelas delapan satu kelas dengannya hingga sekarang. “Tapi kenapa ia jadi pemarah begitu, kasar pula? Terus ia sering bolos, padahal pihak sekolah udah memberikannya surat peringatan, ” tutur sambil berpikir.
“Mungkin dia lagi banyak masalah, jadinya begitu,” terka Ilmi.
“Medina juga mendengus-dengus kaya orang pilek, padahal gak ada ingusnya, terus nilainya turun juga, jadi individualis, emosinya gak stabil, sering bolos lagi sekarang ini. Medina juga kayak enggak ngurus diri, kurus, kucel, matanya juga merah.”
“Sampai sedetail itu memerhatikannya,” ucap Hafitra.
“Apa mungkin, Medina pecandu narkoba?’’ terka Erina.
“Jangan suudzon!”
“Serius Fit, coba nih baca ciri-ciri pecandu narkoba!” tunjuk Erina ke dalam buku.
Terlihat Ilmi, Hafitra, dan Fauliza membaca apa yang ditunjukkan oleh Erina. Di sana ada beberapa hal merujuk pada tingkah Medina, namun apakah mungkin Medina pecandu narkoba? Ah, entahlah.
“Erina, apa enggak terlalu cepat menyimpulkan suatu hal? Bukankah dia bilang jangan melemparkan banyak pernyataan jika gak tahu apa-apa?!”
“Betul apa yang dikatakan Fitra, apakah gak terlalu cepat menyimpulkan suatu hal?” Ilmi, mengamini kalimat Hafitra.
Terlihat Erina tertegun, lalu ia menganggukkan kepala sambil berkata, “Iya, Erin terlalu cepat menyimpulkan suatu hal, mungkin.”
“Sudahlah, jangan menggosip! Lebih baik kita ke kelas, sebentar lagi masuk,” ajak Hafitra sambil beranjak.
Lalu sahabat-sahabatnya menyusul. Dan terlihat langkah Ilmi terhenti, lalu berbalik memerhatikan buku tentang narkoba yang telah dibaca oleh Erina. Entahlah mengapa, rasanya ia jadi terpikir dengan kesimpulan Erina yang berupa terkaan itu. Apakah mungkin Medina pecandu narkoba?
“Ilmi ayo!” ajak Fauliza di ambang pintu.
“Iya,” sahut Ilmi sambil melanjutkan langkah kakinya.
Mereka pun pergi ke kelasnya dan sesampainya mereka di ambang pintu kelas, Medina menabrak pundak Ilmi.“Hai goblok, jalannya hati-hati!” bentak Medina. Terlihat Ilmi memerhatikan seluruh tubuhnya dari bawah hingga atas, membandingkan fisiknya dengan fisik pengguna narkoba berdasarkan buku yang dibacanya barusan. “Ngapain liat-liat?’’