Purnama malam ini benar-benar sempurna, menerangi kota Bandung dengan terang benderang. Bintang pun bertabur dengan indah, angin beriak memeluk pohonan, gedung, dan pemukiman. Kini terlihat Gusni bercerita banyak hal kepada Hafitra dan Erina sambil sesekali mengunyah camilan kesukaannya yang barusan Hafitra beli. Lalu ia berjalan terlebih dulu, membiarkan Hafitra dan Erina benar-benar berdua, menikmati malam yang cukup romantis tanpa ocehannya.
Langkah Erina tiba-tiba terhenti, air matanya benar-benar panas, lalu terderai dengan deras. Rasa sepi memenuhi semua ruang di hatinya, begitupun dengan harapan dan keinginannya yang begitu besar. Ia terisak-isak sambil menyeka air mata yang tak mau berhenti. Terlalu menyakitkan sekali, sangat-sangat menyakitkan baginya, hingga air mata terus pecah berjatuhan membasahi pipinya yang amat imut itu walau ia berusaha untuk memendungnya.
“Kenapa menangis Erina?’’ tanya Hafitra ikut menghentikan langkah kakinya.
“Rasanya setiap melihat Fitra sama Gusni pergi seperti ini membuat Erin iri. Andaikan Elia gak menderita celebral palsy, Erin dan Elia akan seperti Fitra sama Gusni. Belanja camilan kesukaannya bersama, berjalan di bawah sinar bulan dan bintang-bintang seperti ini, bermain, dan melakukan banyak hal. Maka, ruang di hati Erin enggak akan memulu diisi dengan kesedihan dan harapan yang menyakitkan, karena tak kunjung dikabulkan. Erin merasa Tuhan itu gak adil, meski bunda sama ayah udah melakukan banyak hal untuk Elia, agar dikeadaan seumur hidupnya ia dapat mandiri dan melakukan hal seperti orang normal.”
“Ssttt... jangan bilang Tuhan gak adil! Tuhan itu adil, hanya saja kita yang tak tahu cara menanggapi kesedihan dan kepedihan. Hanya saja kita bertingkah seolah paling menderita. Bukankah kamu juga tahu? Bahwa setiap manusia memiliki kepedihannya masing-masing dan di luaran sana banyak yang jauh-jauh lebih menyedihkan dari kita. Kita adalah orang-orang tabah, bukan?” Erina menganggukkan kepala. “Jadi, artinya kita gak boleh merasa kerdil! Kita gak boleh bersedih, apalagi sampai iri! Tapi kita harus tersenyum dengan bahagia untuk sebuah rasa syukur kepada Tuhan. Bukan senyuman sandiwara, tapi senyuman karena kita mampu melalui rasa kesepian, keputusasaan, dan kesedihan dengan baik. Jika setelah hujan tak terjamin ada pelangi, maka cerah kembali itu pasti untuk melahirkan lembayung indah di senja hari. Sebab mustahil kan, kalau enggak cerah lagi? Er, jika kamu bersedih akan keadaan Elia, pasti Elia akan jauh lebih sedih dari kamu. Sebab kakaknya yang selalu mengajaknya berbicara, tersenyum dan yang selalu menyemangatinya bersedih hati saat tak bersamanya. Jika kamu putus asa, lalu bagaimana dengan Elia? Bukankah kamu selalu bilang, selama kita masih menggantungkan harapan pada Tuhan, maka apapun keinginan pasti terwujudkan, jikapun tidak, pasti Tuhan telah menyiapkan suatu hal yang jauh lebih indah.’’
“Hanupis.” Erina tersenyum dengan lebar. Rasanya ia beruntung memiliki sahabat sepertinya, dan tentunya seperti Ilmi dan Fauliza yang juga selalu membuatnya kembali tersenyum tanpa duka.
“Gitu dong, bunga matahari kan harus tetap cerah dan ceria!’’ Hafitra mengacak-acak rambutnya.
“Iya.’’ Erina membereskan rambutnya.
“Kamu janji kan, gak akan sedih lagi?’’ Hafitra menyodorkan jari kelingkingnya.
“Ya.’’ Erina menyematkan jari kelingkingnya di jari kelingking Hafitra. “Erin janji.’’
Mereka kemudian melanjutkan langkah kakinya.
“Er?” panggil Hafitra lirih.
“Iya, apa?’’
“Aku boleh jujur sesuatu enggak?’’ tanyanya sambil menatap Erina.
“Ya bolehlah, masa yang mau jujur gak boleh. Yang gak boleh itu korupsi dan hanya memberikan janji-janji! Apalagi hanya orasi,” canda Erina.“Terus yang gak boleh itu melakukan pergaulan bebas dan menyimpang! Nanti Fitra hamil, terus Fitra melakukan aborsi. Terus nyesel seumur hidup.”
“Kamu tuh ya, mana ada laki-laki hamil?”
“Erin kira Fitra perempuan.” Erina cekikikan. Ia sangat suka sekali membercandai Hafitra, sahabat sejak kecilnya itu, tersebab lucu saja melihatnya agak kesal. “Mau jujur apa sih? Mau bilang Fitra sekarang pipis di celana ya?’’