Terdengar siswa-siswi yang lapar riuh memesan makanan di kantin. Ada yang memesan soto Bandung, mie kocok Bandung, cuanki, bakso, dan sebagainya. Selain itu para siswa-siswi riuh bergosip ria atau bercanda, atau mengobrol hangat bersama sahabat-sahabat karibnya, sebagaimana Ilmi dan sahabat-sahabatnya yang kini tengah menanti es jeruk, jus alpukat, milk shake, dan jus mangga yang mereka pesan.
“Fau sama Ilmi, mau tahu gak rahasia Fitra?” tanya Erina kepada Ilmi dan Fauliza yang duduk di hadapannya sambil melirik Hafitra. Terlihat ia juga menyuguhkan senyuman yang tak ubahnya seperti bocah nakal yang hendak mengusili sahabatnya. Sementara itu Hafitra menatapnya dengan tatapan memohon, agar Erina tidak memberitahukan perihal perasaannya kepada Fauliza. “Jadi Fitra semalaman, sepulang dari supermarket beli camilan kesukaan Gusni, Fitra bilang ke Erin bahwa Fitra...” ucapnya menggantung.
“Omongan kamu menggantung kaya jemuran,” protes Fauliza. Memang dia selalu tidak sabaran untuk mendapatkan informasi, apalagi mengenai rahasia. “Dia suka seseorang?’’ tanyanya antusias.
“Serius Fit? Siapa? Jangan-jangan!” Ilmi menggantungkan kalimatnya sambil melirikkan mata ke arah Fauliza. Terlihat ia juga tersenyum seperti Erina.
“Enggak ada suka-suka,’’ sanggah Hafitra sambil mengalihkan pandangan ke arah lain.
Senang sekali rasanya menjahili Hafitra, pikir Erina sambil menatapnya bersama senyuman nakalnya.
“Gini, tadi malam Fitra...”
Terlihat wajah Hafitra tegang bukan main, ia tak mau Fauliza tahu akan perasaannya. Sebab, ia takut persahabatan yang sudah terbangun dengan kukuh retak, karena ia tahu siapa yang dicintai Fauliza dan itu bukan dirinya, melainkan Ihfa. Hafitra memasang wajah memelas kepada Erina, agar ia tak memberitahukannya. Ah, ia patut sekali dikasihani.
“Apaan?’’ tanya Fauliza penasaran setengah mati. Uh, Erina mengesalkan, bicara saja harus digantung-gantung seperti itu, pikirnya jengkel.
“Jadi semalam, Fitra pipis di celana.” Erina menggelak tawa.
Terlihat Hafitra menghela napas lega karena Erina tidak memberitahukan mengenai perasaannya. Namun ia kesal, masa dibilang pipis di celana? Jahat sekali Erina pada sahabat sejak kecilnya, pikir Hafitra gemas dan kesal.
“Serius?’’ tanya Ilmi sambil tergelak.
“Ish, ish, Fitra jorok,” ledek Fauliza sambil tergelak pula.
“Bohong, masa iya aku pipis di celana.’’
“Eh, iya betul.”
“Awas kamu, gak akan jadi aku traktir es krim sama dibeliin boneka.”
“Jangan!’’ katanya manja. “Erin, kan pengen banget es krim sama mau boneka buat Elia.’’
“Ya udah, makanya jangan resek!’’
“Ya, Erin gak akan resek lagi.’’ Erina menekuk wajahnya sambil tertunduk, dan itu membuatnya tambah imut dan manis, membuat Ilmi dan Fauliza tertawa, merasa lucu melihatnya seperti itu.
“Ini minumannya,” ucap mang Entis sambil meletakkannya satu persatu di meja mereka sesuai yang dipesan. Hafitra jus alpukat, Ilmi es jeruk, Fauliza jus mangga, dan Erina milk shake.
“Hanupis mang,” tukas mereka dengan serempak sambil merengkuhkan kepala, lalu mereka tertawa karena mengatakan hal tersebut secara bersamaan. Sementara itu terlihat mang Entis kebingungan, tak mengerti apa yang mereka katakan.
“Hatur nuhun pisan mang.” Hafitra menjelaskan, terlihat mang Entis tersenyum sambil menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal.
“Oh, sama-sama,” ucapnya sambil beranjak.
“Awas ya kalau pipis di sini!” ledek Fauliza sambil tertawa kembali.
“Ledek aja terus!’’
“Udah ah, kita makan sekarang!’’ timpal Ilmi sambil membuka kotak makan dari Hafitra.
Jadi, Hafitra tuh hampir setiap hari memasakkan mereka makanan dan ia selalu senang melakukan hal tersebut untuk ketiga sahabatnya yang paling ia sayangi.
“Kok masaknya sayur terus sih Fit? Bosen tahu,’’ protes Erina, sebab sejak Hafitra bisa memasak ia selalu memasak sayuran untuknya, makanan lain hanya sesekali kalau Erina yang memaksa.
“Gak pa-pa, biar sehat. Fitra sengaja masak ini untuk kita, harusnya terima kasih bukan protes!’’ ucap Ilmi sambil tersenyum dengan indah dan rekah, menyejukkannya.
“Ya, biar kamu enggak kurus kerempeng,’’ seru Fauliza sambil cekikikan.
“Udah, makan!’’ suruh Hafitra.
“Ya,’’ ucap Erina malas.
Tiba-tiba saja kotak makan Fauliza diambil Radel dengan seiring ia duduk di samping Ilmi dengan jarak yang lumayan dekat. Dan Ilmi tidak bisa menggeser bokongnya, karena ada Fauliza yang duduk paling ujung, yang kini tengah berteriak mengatakan, “Radel tolol, itu makanan aku.’’ Membuat Ilmi meringis sambil mengusap-usap telinganya.
“Enggak kuat lapar banget, nanti diganti ya sama bakso,’’ ucapnya sambil mengunyah.
“Udah, nih kamu makan yang punya aku.’’ Hafitra memberikan kotak makannya kepada Fauliza.
“Kamu gimana?’’
“Udah, aku mah gampang.’’
“Geseran duduknya dong, Del!’’ pinta Ilmi dengan sangat.
“Enggak mau, gimana dong?’’ Radel mengacungkan tangan sambil memanggil nama mang Entis, memesan bakso tiga porsi.
“Kalau kata orang geser ya geser! Ngerti enggak sih bahasa manusia? Atau cuma ngerti bahasa alien?’’ Fauliza kesal, karena tingkahnya itu selalu benar-benar menyebalkan.
Radel tak menanggapinya, ia terus makan dengan lahapnya.
“Geser Radel!’’ suruh Ilmi.
“Del, ngerti bahasa manusia?’’ Hafitra menatapnya tajam-tajam.
“Ngertilah.’’
“Ya udah geser!”
“Radel enggak tahu ya gimana kalau Ilmi marah?’’ tanya Erina sambil cengengesan.
“Enggak, emangnya gimana sih?’’ Radel pura-pura tak pernah tahu marahnya Ilmi bagaimana dan seperti apa?
“Bisa makan orang.’’
“Serius Il, kalau kamu marah bisa makan orang? Wah kanibal imut nih,’’ serunya heboh sama seperti Erina. “Terus, suka gimana lagi?’’ tanyanya sambil melirikkan mata kepada Ilmi dengan genitnya.
“Ya, kalau enggak makan orang, ngamuk kaya macan yang lagi tidur diganggu.’’