Drrrtttt...ponsel Erina bergetar, tanda sebuah pesan masuk. Segeralah ia merogoh saku roknya dan mengeluarkan ponselnya, dibuka dan dilihatnya dari Ebil yang ingin bertemu dengannya saat ini juga di sebuah kafe.
“Kalian pulang duluan aja, Erin harus pergi ke tempat lain,’’ kata Erina kepada sahabat-sahabatnya.
“Aku temenin kamu ya, setelah nganterin Ilmi pulang.’’
“Gak usah Fit, Erin sendiri aja, takutnya Kak Ebil nungguin Erinnya lama.’’
“Ya udah, aku naek angkot aja biar Fitra anterin kamu, kan kalau aku mah udah biasa pulang sendiri sedangkan kamu gak pernah pergi sendirian.’’
“Tapi Il...’’
“Udah gak pa-pa.’’ Ilmi beranjak dan pamit pulang kepada kedua sahabatnya itu.
“Fit bener, Erin sendiri aja deh. Erin takut kak Ebil malah tambah cemburu ke Fitra, kan Fitra tahu sendiri kalau Kak Ebil itu cemburu banget ke Fitra.’’
“Aku enggak mau kamu pergi sendirian, aku cuman anterin kamu doang kok, terus pulang.’’
“Baik kalau gitu.’’ Erina menganggukkan kepala, kemudian mereka pergi ke kafe yang tertulis di dalam pesan.
Setelah beberapa lama perjalanan, akhirnya mereka pun sampai dan terlihat Ebil nampak resah, menanti Erina tiba. Ia terombang-ambing di dalam kebimbangan, berpikir-pikir agar keputusannya benar-benar matang. Ia tak tahu ketika keputusannya kalau diutarakan akan benar atau salah? Yang ia tahu, keputusannya akan menyakiti, entah itu Erina atau dirinya sendiri?
“Kalau Kak Ebil enggak anterin kamu, kamu hubungi aku ya Er, jangan pulang sendirian!’’
“Iya, makasih. Fitra selalu baik deh,’’ seru Erina sambil tersenyum.
“Kan, kamu sahabat aku.’’
“Iya, iya.’’
“Udah sana masuk!’’
“Dah.’’ Erina melambaikan tangan sambil tersenyum kepada Hafitra, lalu ia memasuki kafe dan menghampiri Ebil yang kini menatapnya tajam-tajam dengan sorot mata penuh kecemburuan, terlebih Erina ke mari dengan Hafitra, dan itu membuat hatinya tambah panas terbakar.
Erina menyapa Ebil sambil tersenyum dengan hangat, namun Ebil tak menanggapinya, ia malah nampak marah kepadanya. “Kenapa meski sama Hafitra?’’ tanyanya dengan nada tak bersahabat.
“Maaf Kak!’’ Erina yang baru saja duduk itu tertunduk dengan mata yang berkaca-kaca.
“Aku capek Er sama hubungan kita.’’
“Maksudnya?’’ tanya Erina lirih.
“Aku capek, karena kamu cuman memproitaskan sahabat-sahabat kamu dan menomer sekiankan aku, terutama Hafitra. Aku tuh dianggap apa sih sama kamu? Aku ngerasa kalau aku tuh enggak pernah berarti bagi kamu.’’
“Mau kak Ebil apa sekarang?’’ tanya Erina lirih dengan mata yang berkaca-kaca. Erina juga sama capeknya dengan Ebil akan hubungan ini, karena Ebil selalu merasa tak memiliki arti apa-apa baginya, padahal sudah berulangkali dijelaskan bahwa Ebil sangat berarti dan sangat dicintai. Erina juga capek, karena hati Ebil hanya dipenuhi rasa cemburu pada Hafitra, termasuk pada Ilmi dan Fauliza. Bukankah dari awal Ebil sudah komitmen tak akan bermasalah dengan sahabat-sahabatnya, terutama sama Hafitra, tetapi kenapa? Demikianlah yang selalu dipikirkan Erina.
“Aku mau kamu memilih antara aku atau sahabat-sahabat kamu!?’’
“Kenapa harus memilih, ketika kita bisa memiliki keduanya?’’ tanyanya sendu, sebab ia tak mau harus memilih. Ia menyayangi Ebil dan juga menyayangi sahabat-sahabatnya.
“Empat tahun Er kita pacaran, empat tahun juga aku selalu dinomersekiankan sama kamu, terlebih setelah hadir Ilmi dan Fauliza. Empat tahun Er, aku nahan sakitnya.’’
Air mata Erina menetes, sekali lagi ia merenung-renung, mengingat-ingat semua perlakuannya terhadap Ebil selama menjalin hubungan pacaran ini. Betulkah dirinya menomersekiankan Ebil dan lebih memproitaskan sahabat-sahabatnya? Dari kesekian kalinya ia kembali mendapati jawaban yang sama, yaitu dirinya merasa tak pernah menomersekiankan Ebil, tetapi kenapa ia merasa seperti itu? Jika betul tanpa disadari menomersekiankan Ebil, maka sungguh Erina tak pernah bermaksud melakukan hal tersebut, sebab ia selalu berusaha menyamaratakan keduanya. Oh, mungkin Ebil inginkan lebih, bukan disamaratakan.Ya, sepertinya.
“Erin enggak mau memilih, Erin cinta Kak Ebil, tapi Erin juga sangat menyayangi mereka,’’ isaknya sambil terus menyeka air matanya.
“Ok, kalau kamu enggak mau memilih, biar aku aja yang milih, kita putus.’’ Ebil sudah sangat muak, karena hubungan pacaran seperti ini bukanlah yang didambakannya. Erina benar-benar tak menyadari bahwa hubungannya dengan Hafitra itu seperti lebih dari sahabat. Ke mana-mana selalu dengan Hafitra, waktunya juga sering dihabiskan dengannya dan kedua sahabat perempuannya itu. Sadar dong Erin, ungkapnya dalam hati sambil menatap Erina lekat-lekat yang kini tengah terisak.
“Kak, Erin enggak mau putus.’’
“Tapi aku gak bisa lagi bertahan, karena udah terlalu sakit Er. Kalau kamu emang gak mau putus sama aku, maka kamu harus memilih antara aku atau sahabat-sahabat kamu?!’’
Erina menatap Ebil penuh harap agar ia tak membuatnya berada disebuah pilihan, sebab bagaimana pun ia tak bisa meninggalkan sahabat-sahabatnya, dan ia juga tak bisa berpisah dengan Ebil. “Erin mohon, jangan suruh memilih!’’ isaknya semakin menjadi.
“Ok, kalau kamu gak mau milih antara aku dan ketiga sahabat kamu, gimana kalau kamu pilih aku atau Hafitra? Duri pertama dalam hubungan kita. Dan kamu akan tetap bersama Ilmi dan Fauliza.’’
Tubuh Erina rasanya lemas karena Hafitra dianggap duri utama dalam hubungan mereka, dan itu rasanya menyakitkan baginya. Sebab bagaimana mungkin malaikatnya dikatakan duri? Dan Erina benar-benar tak bisa pisah dengan Hafitra, karena dengannya waktu yang dilalui terasa indah, dengannya ia tahu siapa dirinya? Dengannya ia selalu bahagia, dan dengannya ia selalu merasakan kenyamanan yang begitu hebat.
“Erin mohon, jangan suruh memilih!’’
Ebil mendengus dengan kasar, lalu ia beranjak tanpa menghiraukan Erina kembali dan saat ia keluar kafe, ia melihat Hafitra tengah menyandarkan tubuhnya ke mobil sambil bermain game online. Bahkan ia bukan sekedar mengantarkan Erina ke sini, melainkan juga menantinya seperti seorang sopir yang menanti majikannya, pikir Ebil sambil mendengus kesal dan menatapnya tajam-tajam, lalu ia menunggangi motornya dan pulang, membuat Hafitra keheranan.
Sementara itu di dalam kafe, terlihat air mata Erina semakin deras membanjiri wajah manis dan imutnya. Sungguh ia tak ingin putus dengan Ebil, laki-laki yang sangat dicintainya, tetapi ia juga tak bisa meninggalkan Hafitra. Seseorang yang jauh telah hadir dalam hidupnya sebagai malaikat, yang telah menjadikannya seperti bunga matahari disaat dirinya layu dan sendu. Kenapa meski memilih? Ini sangat menyakitkan, pikirnya.
Terlihat sebagian pengunjung kafe menatapnya dengan tatapan penuh arti, lalu dengan segera Erina menyeka air matanya sambil beranjak, namun air matanya terus saja mengalir dengan deras.
“Kenapa nangis Er?’’ tanya Hafitra merasa khawatir dan iba.
Erina kembali menyeka air matanya, ia kira Hafitra sudah pulang, ternyata dia masih setia di depan kafe.