Ruang dan Batas

Sri Winarti
Chapter #15

Bab 14

Erina dan Hafitra benar-benar butuh ruang untuk bertafakur pada hatinya masing-masing. Erina merenung-renung di ruang kesenian, tempatnya dan teman-teman eskul tarinya latihan, untuk mencari dan mengingat-ingat kesalahannya kepada Hafitra. Sedangkan Hafitra duduk menyandar ke tembok belakang kelasnya yang jarang sekali dilalui, merenungkan banyak hal. Tentang kesakitannya dan Erina, tentang apakah harus bercerita atau tidak kepada Fauliza dan Ilmi? Tentang siapa yang akan menghibur Erina dikala merasa putus asa akan keadaan Elia, disaat Ilmi dan Fauliza tak bersamanya?

Karena sahabatnya sibuk masing-masing, maka Ilmi pun memilih menghabiskan waktu di perpustakaan untuk kembali meminjam novel, karena ia sudah menyelesaikan membaca novel Atheis. Pilihan Ilmi kini jatuh pada novel Fiersa Besari yang berjudul  Garis Waktu. Selain itu ia juga meminjam novel Cinta laki-laki biasa karya Asma Nadia. Dalam satu minggu itu ia bisa membaca dua novel lho, karena ia benar-benar telah jatuh cinta pada sastra.

“Kenapa harus sendirian?’’ tanya Ilmi kepada Ihfa yang baru saja tiba di perpustakaan dan tengah memilah-milah buku yang akan ia pinjam. “Kenapa enggak memberikan kesempatan untuk orang lain jadi teman kamu, Fa?’’ Ilmi menatap wajahnya lekat-lekat.

“Dengan sendiri aku bisa bekerja dan belajar dengan efektif. Dengan sendiri aku enggak akan pernah terluka dan waktuku enggak akan terbuang sia-sia dengan masuk ke dalam kehidupan orang lain. Kenapa harus merampas waktu kita sendiri dengan menghabiskan waktu dengan orang lain? Berbicara hal yang enggak penting dan menertawakan hal bodoh,’’ tuturnya dingin sekali.

Jelas saja apa yang dikatakannya bertolak belakang sekali dengan apa yang diinginkan hatinya, yang sangat-sangat ingin memiliki banyak teman, menghabiskan waktu bersama untuk membicarakan suatu hal walau tak penting dan mentertawakan hal bodoh, terutama bersama Ilmi, karena sesungguhnya ia tersiksa oleh kesepian, tetapi ia takut terluka kembali jikalau menjalin sebuah pertemanan.

“Semua kalimat kamu bohong Fa, karena enggak mungkin ada manusia yang benar-benar ingin sendiri, cuman bekerja sama belajar, karena kesepian adalah hal yang ditakutkan manusia. Hidup cuman dihibahkan untuk bekerja dan belajar itu membosankan, monoton. Kamu perlu warna, agar hati kamu enggak kelabu.’’ Ihfa tertegun diam menatapnya lekat-lekat, ia ingin sekali menderaikan air mata dan berteriak bahwa ia sangat-sangat kesepian dan membutuhkan orang lain untuk menutup lubang di hatinya. “Bisa kan, kamu beri kesempatan untuk kita jadi teman kamu?’’

“Maaf!’’ Ihfa kemudian beranjak menuju rak buku yang lain, sementara itu Ilmi menghela napas. Ia tak tahu harus dengan cara apalagi untuk menjadikannya teman?

Kenapa sulit banget sih menjalin pertemanan dengannya? Eluh Ilmi dalam hati.

“Wlee.’’ Radel memeletkan lidah tepat di hadapan wajah Ilmi dengan jarak yang lumayan dekat, kemudian ia tersenyum lebar sambil menegakkan kepalanya yang ia miringkan, membuat Ilmi lebih pendek darinya.

Ilmi merasa tak habis pikir, kenapa tiba-tiba Radel sudah berada di sini, di hadapan wajahnya? Apa-apaan coba itu? Biasanya juga mana mau dia ke perpustakaan, kecuali terpaksa saat pelajaran bahasa Indonesia atau pelajaran lainnya yang mengharuskannya ke perpustakaan.

Ihfa mengalihkan pandangan pada mereka berdua, lalu ia tertunduk dalam-dalam. Sekali lagi, ia melepaskan begitu saja kesempatan bersama Ilmi, padahal bersama dengannya adalah hal yang sangat diimpi-impikan. Semuanya terasa begitu mustahil, Il dan aku berusaha sadar diri, sesadar-sadarnya siapa aku, lirih Ihfa dalam hati.

“Kamu suka puisi gak?’’ tanya Radel sambil mengambil buku antologi puisi karya Bode Riswandi yang berjudul Mendaki kantung matamu.  Ditilik-tilik buku tersebut sambil mengingat, apakah ia sudah punya atau belum? Ternyata sudah, jika belum ia akan mencarinya untuk dibeli atau jika tak ada akan meminjam yang ini saja.

“Suka.’’                                                             

“Kalau sama aku, suka gak?’’ tanyanya lagi sambil tersenyum dengan lebar dan mengedip-edipkan matanya genit.

Ilmi memilih tak menghiraukannya, sebab rasanya kalau bilang tidak suka nantinya tidak enak hati, kalau bilang suka, Radel pasti akan geer. Diam emang paling ampuh deh, mungkin.

“Kok, enggak dijawab sih? Berarti iya, ya?’’

Ilmi menghela napas, lalu ia menyemburatkan senyuman. “Enggak suka bukan berarti membenci, suka bukan berarti mencintai.’’

“Jadi?’’

“Jadi, sebetulnya kamu ke perpus cuman mau nanya itu ke aku atau mau pinjam buku? Atau cuman maen aja ke perpus?’’

“Nanya sama nyampein kalau kamu dipanggil tuh sama Pak Ginanjar ke ruang BK.’’

“Makasih udah beritahu.’’ Ilmi mengembalikan novelnya ke dalam rak, lalu ia beranjak ke ruang BK. Ia akan kembali nanti untuk meminjamnya, semoga saja tidak ada orang lain yang meminjamnya. Kalau harus dicatat dulu, tidak enak saja memperlambat memenuhi panggilan seorang guru.

Terlihat Radel mengambil novel yang hendak dipinjam Ilmi, membolak-balikkannya dan membaca judulnya. Setelah itu ia menyimpannya kembali dan tak lama dari itu seseorang mengambilnya dan meminjamnya. Sementara itu Ilmi mengetuk pintu ruang BK sambil mengucapkan salam. Bu Rika, pak Lufty, dan pak Ginanjar yang tengah asyik mengobrol itu menjawab, lalu menyuruhnya masuk dan menanyakan apa keperluannya?

“Kata Radel, Pak Ginanjar panggil saya.’’

“Saya enggak manggil kamu atau siapapun.’’

Pipi Ilmi memerah karena malu, jadi Radel mengusili dia? Emang keterlaluan Radel tuh.

Euh, belegug budak teh (Kurang ajar anak tuh), ” seru bu Rika. “Ngerjain kamu berarti.’’

“Kalau begitu mohon maaf Pak, Bu sudah mengganggu waktunya,’’ ucapnya Ilmi santun, kemudian ia mencium tangan ketiga gurunya itu dan pamit undur diri.

Saat ia kembali ke perpustakaan, ia mendapati Radel tengah berdiri menyandar di samping pintu masuk sambil menatap Ilmi lekat-lekat dan penuh arti. Ilmi menatapnya sejenak, lalu ia tertunduk dan wajahnya tetap tenang-tenang saja, meski Radel yakini ia sedang kesal.

“Kok bisa sih kamu percaya sama aku?’’ tanya Radel sambil menatapnya lekat-lekat, karena teman-temannya tak pernah ada yang percaya padanya walau ia berkata jujur, bahkan ibunya sendiri dan pacarnya.

“Aku cuman berusaha untuk selalu percaya.’’ Ilmi kemudian memasuki perpustakaan, sedangkan Radel tertegun diam merenungi kalimatnya yang seolah-olah mengandung makna yang begitu dalam, berusaha untuk selalu percaya? Apa itu usaha mempercayai dalam artian keseluruhan? Mempercayai seseorang, takdir, dan semacamnya? Pikir Radel berusaha menafsirkan.

Sesampainya di dalam perpustakaan dan di rak ia menyimpan novel Garis Waktu, novelnya sudah raib, tak ada, sudah dipinjam siswa lain. Radel ya ampun bikin kesal, untung saja novel cinta laki-laki biasa tak ada yang meminjamnya.

“Tapi Ilmi, ada beberapa hal yang enggak harus selalu dipercaya.’’

Ilmi berbalik pada Radel dengan seiring Ihfa menatap mereka berdua dengan kilatan cemburu, lalu ia keluar.

“Misalnya orang yang udah mengkhianati kita dan pada kata akan indah pada waktunya.’’

“Tapi orang yang berkhianat harus diberi kesempatan untuk kembali dipercaya, karena boleh jadi dia akan menjadi seseorang yang sangat terpercaya, jika ia belajar dari kesalahannya. Dan tentang akan indah pada waktunya, aku percaya pada hal tersebut jika kita menciptakannya, bukan menantinya.’’

“Seorang pengkhianat akan dapat dipercaya lagi jika ia benar-benar belajar, kalau enggak?’’

“Pasti, karena enggak ada manusia yang enggak belajar dari kesalahan.’’

Radel juga mengharapkan itu dari seseorang yang telah mengkhianatinya. “Oh, iya.’’ Radel menghadap Ilmi, begitupun dengan Ilmi hingga mereka saling berhadapan. “Makasih udah percaya sama aku.’’

Ilmi menyeringai. “Maksud kamu karena aku udah percaya sama apa yang kamu katakan, bahwa Pak Ginanjar manggil aku?’’

“Ya, karena aku ingin tahu apakah di dalam ruang semesta ini masih ada yang mempercayaiku atau gak? Dan aku ingin tahu arti dari mempercayai, baik itu pada seseorang dan pada takdir,’’ ucapnya sendu. Terlihat Ilmi menatap matanya lekat-lekat, menafsirkan kalimat-kalimatnya. “Ilmi, apakah kamu percaya bahwa semua kenakalanku ada alasan-alasan tertentu?’’

“Aku percaya, tapi apapun alasannya aku rasa itu tetap salah.’’

“Kalau gitu, berarti kamu juga percaya dong kalau aku jatuh cinta sama kamu?’’

Lihat selengkapnya