Jam enam senja hari kiranya, Ilmi dan teman-temannya sampai di rumah Radel yang besar dan bergaya minimilas modern di salah satu kawasan elit di Bandung, setelah dari rumah sakit Hasan Sadikin. Iya, mereka memutuskan untuk mengerjakan tugas kelompok membuat artikel dalam bahasa Inggrisnya hari ini juga. Sebab, besok-besoknya lagi Ihfa tak memiliki waktu.
Tik...tik...tik...tangisan awan pecah berhamburan jatuh ke bumi, memandikan jalanan, rumah-rumah besar dan mewah, pepohonan dan tanaman hias yang tertanam sempurna di atas rerumputan yang hijau di samping tangga yang terhubung dengan teras utama rumah Radel.
Radel, Radit, Ilmi dan sahabat-sahabatnya berlarian menaiki tangga untuk memasuki rumah. Sementara itu Ihfa tertegun diam, membiarkan tubuhnya dimandikan hujan. Seketika teman-temannya menghentikan langkah, mereka terheran-heran dalam tanda tanya. Mengapa Ihfa tidak ikut masuk dan malah tertegun diam penuh keengganan? Hanya Radel yang tidak heran, seolah-olah ia tahu mengapa Ihfa seperti itu. Radel tertegun menatap Ihfa penuh arti, lalu menghela napas dan berjalan ke arahnya.
“Fa, ayo masuk!’’ ajaknya canggung.
Ihfa masih tertegun diam, tidak menghiraukan ajakan Radel. Menambah keheran teman-temannya.
Ilmi merasa bahwa Ihfa dan Radel memiliki ketegangan sebelumnya, terlebih bukankah mereka dulu satu smp? Mungkinkah ada hal yang besar terjadi antara mereka? Hingga menjadikan mereka canggung dan enggan satu sama lain, atau karena memang Ihfa benar-benar enggan karena tak terbiasa berkelompok seperti ini? Pikir Ilmi yang kini lekat-lekat memandang mereka berdua.
“Fa, hujan nih, ayo masuk!” teriak Radit di depan pintu utama.
“Fa, ayo!’’ ajak Fauliza.
Ihfa menghela napas sambil menatap Radel penuh arti.
“Ayo!” ajak Radel sambil menepuk pundaknya, terlihat ia juga menyuguhkan senyuman dan matanya menyorotkan sorot kesenduan serta penuh makna .“Ayolah!’’ ajaknya lagi sambil menarik tangannya.
Ihfa mengangguk, lalu berjalan beriringan di sampingnya. Sesampai di anak tangga Radel melepaskan genggaman tangannya. Terlihat langkah Ihfa kembali terhenti dan matanya berkaca-kaca, kemudian ia melanjutkan langkahnya dengan segera. Ketika mereka memasuki rumah, mereka disambut dengan ramah dan hangat oleh asisten rumah tangganya Radel.
“Bi, camilan sama minumannya langsung aja anter ke ruangan samping, ya!’’ pinta Radel sambil berjalan menelusuri beranda dengan diikuti oleh teman-temannya, memasuki sebuah ruangan yang lumayan besar. Ketika mereka memasuki ruangan tersebut, mereka langsung di suguhi pemandangan pegunungan nun, jauh dan pepohonan, melalui dinding kaca yang langsung terhubung ke sisi kiri yang menampakan sebuah kolam berukuran sedang yang tengah menelan rinai-rinai hujan.
Ilmi merasa kroco, karena berada di tengah-tengah perumahan kapitalis, jauh berbeda dengan kelasnya yang berada di kelas ekonomi rendah. Ya, meski ini bukan kali pertamanya memasuki perumahan elit, karena ia sering memasuki perumahan elit tempat tinggal Hafitra ketika mengerjakan tugas atau belajar bersama, namun tetap saja selalu membuatnya merasa rendah diri. Sebab ia tahu betul siapa dirinya dalam kelas sosial.
“Anggap aja rumah orang lain ya!’’ seru Radel.
“Bukannya anggap aja rumah sendiri, ya?’’ Radit membaringkan tubuhnya di sofa berwarna abu, satu-satunya yang ada di ruangan tersebut.
Sementara itu teman-temannya yang lain duduk di atas karpet lembut berwarna senada dengan sofa. Terlihat Ilmi mendongakkan kepala, merasa tertarik untuk melihat sebuah lukisan anak kecil yang tengah dipeluk oleh seorang perempuan berambut panjang nan cantik, dan oleh seorang laki-laki berwajah manis, yang tertempel di dinding berwarna putih. Mungkin lukisan berukuran besar dan epik itu lukisan Radel dan kedua orang tuanya, terka Ilmi.
Di bawah lukisan tersebut, tepatnya di atas nakas minimalis terdapat beberapa piagam dan piala. Mereka tak percaya, bahwa dahulu Radel dari kelas satu sekolah dasar hingga kelas tujuh mendapat peringkat kedua. Ia pernah menjuarai lomba membaca saat sekolah dasar, menjuarai olimpiade literasi tingkat nasional yaitu cipta puisi, menjuarai lomba pidato bahasa Inggris, dan olimpiade matematika tingkat nasional saat kelas tujuh.
“Del, itu piala sama piagam hasil nyabutase, ya?’’ celetuk Radit, karena ia tak percaya bahwa Radel pernah berprestasi.
“Bangke, hasil prestasilah.’’
“Kok sekarang bego sih, 20 besar aja enggak masuk. Malahan dapet ranking kelima terakhir.’’
“Mau aku usir atau mau aku sekap di gudang, heuh? Dan enggak akan aku kasih makan tujuh hari tujuh malam,”
“Modar atuh aing.”-Artinya, mati kalau gitu aku.
Ilmi dan sahabat-sahabatnya terkekeh, hanya Ihfa yang tidak, seperti biasa. Selain itu terlihat di ruangan tersebut terdapat lemari buku berwarna putih yang isinya terdapat buku-buku fiksi dan non fiksi yang entah tentang apa, serta buku antalogi puisi, seperti karya Goenawan Muhammad, Bode Riswandi, Sapardji Djoko Damono, Chairil Anwar, Aan Mansyur, Kahlil Gibran, dan entah karya siapa lagi? Iya, Radel sangat mencintai puisi. Katanya puisi itu sebuah melodi yang indah dan mewakili hati, sebuah kata yang sarat akan makna, dan dengan puisi pengungkapan rasa menjadi sangat luar biasa. Katanya dengan puisi ia merasa kebebasan rasa. Entah berapa perempuan yang telah dituliskan puisi hasil karyanya atau dibacakan puisi-puisi indah karya penyair yang disukainya? Di ruangan itu juga terdapat meja kerja yang lengkap dengan kursinya, serta hal-hal yang harus ada di meja kerja, menghadap pegunungan. Di meja tersebut juga terdapat sebuah foto ayahnya yang tengah menggendong Radel ketika bayi dan di sampingnya, ibunya yang cantik jelita tengah mencium pipi Radel.
Ini ruangan kerja, kan? Terus ini ruang siapa? Ayahnya Radel atau punya Radel sendiri? Jadi, dia sudah bekerja? Ikut andil mengelola perusahaan? Tetapi mana iya sih ia sudah bekerja? Karena seperti yang diketahui Ilmi dan teman-temannya, dia itu kebanyakan nongkrong dan main. Jadi ini ruang apa? Ruang kerja ayahnya, ya? Jika iya, apa tidak masalah digunakan seperti ini? Pikir teman-temannya, sedangkan Ihfa sama sekali tak memikirkan apa-apa.
Tak lama asisten rumah tangga Radel memasuki ruangan, meletakkan satu persatu minuman hangat di atas meja berwarna abu juga. “Nanti camilannya nyusul ya, den.”
“Baik, terima kasih banyak bi,” ucap Radel dengan santun, membuat Ilmi dan teman-temannya melongo tak percaya, kecuali Ihfa. Bahkan Radit terperanjak duduk sambil menilik-nilik wajah Radel. Mereka kira, Radel tetap tak punya sopan santun. Terlebih kepada asisten rumah tangganya. Kalau Ihfa, tidak usah ditanya! Dia tetap seperti biasa bersikap datar-datar saja. Apatis memang.
“Woy, ekspresi kalian bikin aku enek tahu, kecuali Ilmi,” teriak Radel sambil memonyongkan bibirnya. Kemudian ia beranjak dari ruangan tersebut. Ruangan yang selalu menjadi tempat pavoritnya jikalau ada di rumah.
Sungguh Radit ingin sekali menjitak kepala Radel. Jika saja ini bukan rumahnya, maka ia akan seenak hati menjitak kepalanya.
“Silahkan dek, dimakan dan diminum,’’ tutur asisten rumah tangga Radel sambil meletakan beberapa camilan.
“Terima kasih banyak, maaf jadi merepotkan, ’’ tutur Ilmi santun sambil merengkuhkan kepala dengan diikuti teman-temannya.
“Tidak merepotkan sama sekali,’’ ucapnya yang kemudian undur diri dengan seiring Radel kembali memasuki ruangan sambil membawa satu setel pakaian dan handuk untuk Ihfa, karena pakaiannya basah.
“Del, ini kok agak mirip ruangan kerja sih?’’ tanya Radit penasaran setengah mati.
“Kenapa emangnya?’’ tanya Radel nyolot seperti biasa.
“Heuh, apa susah sih ngejawab?’’ eluh Radit. “Il, kamu dong yang tanyain!’’
Ilmi menggelengkan kepala.
“Ayo dong, penasaran nih!’’
“Kalau Ilmi enggak mau, ya gak mau tolol,’’ seru Fauliza kepada Radit.
“Il, ayolah!’’
“Ok.’’ Ilmi mengamini “Del, kok ruangan ini agak mirip ruang kerja sih?’’
Radel tersenyum. “Dulunya iya ruang kerja papa, tapi sekarang beda fungsi, jadi ruangan tempat aku baca buku atau manga, tempat aku nyantai, main game sama Gena, Eza, Fida, dan Irus,’’ ucapnya sendu saat menyebut nama Irus karena sahabatnya itu sudah tak lagi di sampingnya. “ Dan tempat sebagainya, termasuk dijadiin tempat kerja kelompok seperti sekarang.’’
“Euh, ditanya sama Ilmi ngejawab, giliran ditanya sama aing nyebelin.’’
Radel tak menghiraukan Radit, lalu ia berucap dengan manisnya kepada Ilmi. “Ilmi, ayo kalau mau salat! Sebentar lagi maghrib.” Radel menyuguhkan senyuman yang indah dan rekah.
Terlihat mata sahabat-sahabatnya dan Radit membulat sempurna, mereka terkesiap melihat tingkah manisnya Radel terhadap Ilmi. Sementara itu Ihfa hanya menatap Radel penuh arti, menerjemahkan sebuah sikap. Kenapa harus bereaksi seperti itu? Ini bukan suatu hal yang besar atau mengejutkan. Apa ada yang salah dengan ucapan Radel, tidak kan? Pikir Ilmi sambil menatap satu persatu wajah teman-temannya itu.
Mendadak Radit batuk-batuk seperti tersedak. “Butuh air nih,’’ ucap Radit. “Del, inget kamu tuh pacarnya Naumi, masa mau deketin cewek lain, Ilmi pula,’’ celetuknya, membuat Ilmi menatapnya jengah dan risih. Apaan sih? Pikirnya.
Radel melemparkan handuk dan pakaian ke wajah Radit dengan kesal.
“Woy, apaan sih? Gak sopan banget,” geram Radit yang kemudian hendak melemparkannya kembali.
“Kasih sama Ihfa, bajunya basah,” suruh Radel, membuat Radit urung untuk membalas melemparnya.
Mereka tidak menyangka, Radel yang nampak bengal dan acuh terhadap orang lain ternyata memiliki kepedulian juga. Ah, tentu saja semua orang memiliki rasa peduli, bukan? Radit memberikannya kepada Ihfa dan terlihat Ihfa nampak enggan menerimanya.
“Pake Fa, dingin,’’ ucap Radel dingin hati.
Ihfa kemudian mengambilnya.
“Ganti di toilet, sekalian aja wudu.”
Ihfa menganggukkan kepala, kemudian pergi menuju toilet tanpa Radel memberitahukan letaknya, seolah-olah ia sudah tahu semua isi rumahnya.
“Mukenanya hanya satu untuk tamu, jadi salatnya ngantri dan Ilmi harus yang pertama.’’
“Memangnya kenapa harus Ilmi yang pertama?’’ tanya Fauliza menelisik matanya, mencari tahu kemungkinan bahwa Radel menyukai Ilmi, sebab akhir-akhir ini sikapnya jadi manis kepada Ilmi. Biasanya juga sangat acuh dan suka mengusilinya.
“Ini rumah siapa?’’