Seperti biasa Ilmi selalu betah berada di Gramedia, sampai-sampai ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam, dan terlihat ia begitu asyik memilah-milah novel, menilik-nilik covernya dan membaca blurnya. Hari ini ia akan membeli dua sampai tiga novel, jika uangnya cukup, karena tergantung harga dari novel yang akan ia beli.
Sudah menjadi kaidah, bahwa kita tidak bisa menyalahkan cinta
Ketika teori dan logika hanya sebuah percakapan tanpa makna
Karena cinta adalah rumusan-rumusan Tuhan
Dan salah satu unsurnya adalah aku dan kamu
Jangan marah!
Cukup cinta saja yang marah
Agar ia tak lagi ramah pada jarak
Hingga cinta kita meruang tanpa sekat
Agar tak ada percakapan yang usai antara kita
Meski bibir tak lagi fasih berkata-kata
Jangan khawatir pula!
Kamu akan tetap cantik
Walau gigimu sudah tanggal semua
Karena cintaku tak akan pernah kemarau
Dan sebagai jaminannya adalah syair yang gaib
di antara kumandang hujan dan langit
Semoga saja semesta dan Tuhan mengaminkan
Mendengar indahnya suara Radel yang mensimphonikan puisi, membuat Ilmi tertawan dalam afsun. Ah, Ilmi tak tahu kenapa Radel yang kini berdiri di sampingnya dengan jarak beberapa puluh senti itu membacakan puisi dan untuk siapa? Yang ia tahu, jika itu dari laki-laki yang dicintainya, maka ia yakini akan terasa seperti Laila yang disihir kata-kata oleh Qais, bahagia dan sangat tersanjung, hingga akhirnya ia tak ingin berhenti melahirkan syair-syair permohonan untuk menembus langit. Namun sayang, itu puisi bukan terlahir dari laki-laki yang dicintainya, sebab laki-laki yang dicintainya mencintai bunga yang lain, maka itu akan sangat mustahil.
“Itu puisi untuk Nahla Ilmi Nazwa, baru saja aku buat,’’ kata Radel sambil tersenyum dengan lebar dan indah.
Ilmi menyeringai dan menatapnya penuh arti, ini apa maksudnya? Hingga Ilmi sampai tak habis pikir, bercanda lagi? Atau apa? Duh, tak seharusnya punya pacar berpuisi seperti itu pada bunga yang lain.
Ilmi tertawa, berhaha...hihi untuk menanggapinya, sebab ia tak punya kata-kata yang tepat, pura-pura tak peka dengan berkata, “Del, Del, humor kamu emang beda, pake puisi, tapi keren sih.’’ Mengubah tawanya menjadi senyuman yang amat manis.
“Kok dianggap bercanda sih?’’
“Kamu mau beli buku antologi puisi ya? Atau sastra jenis lainnya? Novel? Prosa?’’ Ilmi mengalihkan topik pembicaraan.
“Kok ngalihin pembicaraan?’’ Radel nyolot, kesal rasanya karena Ilmi menganggap puisinya hanya sekedar humoritas dan karena ia juga mengalihkan topik pembicaraan.
“Aku nanya lho, siapa tahu aja bisa nyaranin ke kamu.’’ Ilmi beranjak menuju rak yang lain dan kembali mencari-cari novel yang akan dibelinya, dan ia baru saja mendapatkan dua novel dengan judul Orang-orang biasa karya Andrea Hirata dan Komet Minor Tereliye.
“Ya udah, ayo saranin!’’ ucap Radel sambil tersenyum bahagia, walau sebetulnya ia sudah berniat akan membeli buku karya Sujiwo Tejo yang berjudul Senandung Talijiwo dan buku antologi puisi yang berjudul Tigris karya Goenawan Mohammad. Ya, karena merasa diberi kesempatan untuk terus bersamanya, maka Radel merasa ini tak boleh disia-siakan.
“Baik,’’ timpal Ilmi berusaha melaksanakan kata-katanya, walau sedikit terpaksa. Ya, sekalian mencari novel satunya lagi. “Ini gimana, kira-kira suka gak?’’Dengan percaya dirinya Ilmi menunjukkan buku antalogi puisi kepada Radel.
Terlihat Radel malah senyum-senyum tidak jelas, karena rasanya bahagia saja ditemaninya mencari buku. “Gak, ah.'’ Radel menggelengkan kepala, rasanya itu ia ingin lebih lama memilah-milah buku bersama Ilmi.
Akhirnya setelah menyarankan lima buku Ilmi menyerah, karena tak ada satupun yang menarik untuk Radel. “Kayanya gak bisa nyaranin deh,’’ ucap Ilmi kecewa, hingga tertampak pada wajahnya yang tenang, membuat Radel semakin gemas dibuatnya.
“Gak pa-pa.’’ Radel tersenyum, rasanya ia ingin setiap saat memiliki waktu dan ruang bersamanya untuk dicintai seperti ini.
“Maaf ya!’’
“Gak usah minta maaf kali.’’
“Ya.’’ Kemudian Ilmi mendapati buku antologi puisi yang berjudul Tigris, hingga membuat matanya berbinar-binar. Ia yakin Radel akan menyukainya, lalu ia mengambilnya dan menyodorkannya kepada Radel sambil tersenyum. “Ini gimana?’’
“Ya, yang ini aku suka.’’ Radel mengambilnya sambil tersenyum dengan indah.
Ilmi pun melanjutkan memilah-milah novel yang akan dibelinya lagi.
“Il!’’ panggil Radel sambil mengambil dua buah buku yang berjudul Senandung Talijiwo. Ya, satunya lagi untuk Ilmi, sebab ia merasa Ilmi harus membacanya, karena ini buku yang sangat bagus.
“Hmm,’’ jawab Ilmi sambil mengambil novel yang berjudul Kekasih Impian karya Wardah Maulina.