“Ma, pa kapan bisa pergi sama Gusni?” tanya Gusni kepada ibu dan ayahnya yang kini tengah sibuk sarapan. “Kalau misalnya sekarang kita pergi ke taman Balai Kota bisa gak? Sebelum mama dan papa pergi lagi kerja.’’
Terlihat di mata Gusni ada harapan yang begitu besar, bahwa ibu dan ayahnya akan sedia untuk meluangkan waktu bersamanya walau hanya sebentar saja. Dari kecil Gusni, Hafitra, dan Vey kakaknya yang pertama tidak pernah bisa menghabiskan waktu dengan leluasa dengan ibu dan ayahnya. Bertemu pun rasanya jarang, saat sarapan seperti ini juga sangat-sangat jarang. Pekerjaan sebagai seorang pilotlah yang membuat ayahnya jarang pulang dan sangat-sangat jarang memiliki waktu untuk mereka, karena jika pulang ke rumah pasti digunakan untuk istirahat, bukan dihabiskan untuk bersama. Begitupun dengan ibunya yang berprofesi sebagai jurnalis.
“Lima menit juga boleh.”
Terlihat Hafitra menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Sudah ia pastikan, Gusni akan kecewa seperti dirinya dan kakaknya ketika kecil hingga sekarang.
“Maaf sayang, Mama tidak bisa, nanti bisa terlambat pergi ke Bendara untuk meliput berita di Amerika.”
Terlihat Gusni menundukkan kepala dengan mata yang berkaca-kaca. “Kalau papa bisa?’’
“Maaf sayang, papa banyak penerbangan, jadi enggak bisa. Pergilah bersama kakakmu!” ucapnya yang kemudian meminum segelas air, lalu beranjak. Begitupun dengan istrinya.
“Kalau pas ulang tahun Gusni, mama dan papa bisa ada di rumah?’’ tanyanya penuh harap bahwa mereka akan ada di rumah dan merayakannya.
“Kapan ulang tahunmu?’’ tanya ayahnya menghentikan langkah kakinya.
Hafitra mendengus kasar, lalu menatap ayahnya tajam-tajam dengan geram. “Coba tanyakan sama mama!’’
“Mama juga lupa,’’ tutur ibunya tanpa rasa bersalah.
Bahkan hari lahir anaknya saja mereka tak tahu, ibu dan ayah macam apa? pikir Hafitra benci.
“Tanggal berapa Gus, Fitra?’’ tanya ibunya.
“Ya, tanggal berapa? Mungkin kita bisa ambil cuti dan kalau misalnya gak bisa, papa dan mama akan beliin apa yang Gusni mau.’’
“Jangan beri harapan yang kosong ke Gusni ma, pa, seperti ke aku dan ke kak Vey. Nyatanya mama dan papa selalu bohong, karena sejak dulu mama dan papa selalu gak bisa. Mama dan papa itu udah membuat batas antara orang tua dan anak. Cobalah pahami kami, bahwa kami butuh mama dan papa! Bahwa kami gak mau mama dan papa sibuk terus dengan pekerjaan. Setidaknya kalian ada waktu saat ulang tahun kami. Setidaknya ma, jika mama gak bisa jadi ibu pada umumnya, ” tukas Hafitra geram. “Sejak dulu mama dan papa enggak pernah tahu hadiah apa yang kami inginkan. Bahkan saat kami sakit, mama tetap mementingkan pekerjaan, malah menyuruh bi Hindun yang jagain kita. Mama kita siapa, ma? Mama atau bi Hindun? Tapi Alhamdulillah sekarang kak Vey, sudah menemukan kebahagiaan lain, dinikahi laki-laki yang selalu mengistimewakannya.”
“Mama dan papa bekerja untuk kalian, untuk kebutuhan kalian. Jika kami harus memahami kalian, kalian juga harus memahami kami! Semakin kalian besar, maka semakin besar pula kebutuhan kalian. Belum kamu Fitra, nanti harus kuliah dan mama mau kamu kuliah di luar negeri, di universitas terbaik. Semuanya membutuhkan uang.”
“Bohong!’’ teriak Hafitra dengan nada yang begitu tinggi, lalu ia tertunduk sedalam-dalamnya. “ Aku tahu, mama dan papa lebih mencintai pekerjaan dari pada anak-anaknya, jika enggak sesibuk apapun pasti mama dan papa akan luangkan waktu untuk kita. Tapi nyata enggak,” lirihnya sambil meneteskan air mata, lalu dengan segera ia menyekanya. Sungguh ia tak bisa lagi menahan perasaannya. Ia sudah muak dengan rasa sepi. Ia sudah terlalu benci keadaan di mana anak tak menjadi prioritas orang tuanya. Ia tak butuh harta yang berlimpah, sederhana pun tak apa, asalkan cukup. Sebab yang dibutuhkannya adalah kedua orang tuanya. “Bahkan mama inginkan aku jauh. Tolong jangan gila kerja lagi dan selalu tak puas dengan pencapaian-pencapaian!’’
“Mama dan papa gak mau berdebat, ok! Pergilah ke taman Balai kota dengan adikmu, biasanya juga begitu, kenapa sekarang ngeyel sih?” keluh ibunya yang kemudian pergi bersama suaminya tanpa memedulikan mereka lagi.
Terlihat Gusni menderaikan air mata, selalu saja tak bisa setiap diajak pergi dan menghabiskan waktu bersama. Iya, ini sebuah ajakan untuk menghabiskan waktu yang sia-sia dan tak akan menghasilkan uang, jelas saja mereka tak mau, pikir Hafitra merasa sangat kecewa.
Gusni mengambil piring lalu memecahkannya, setelah itu beranjak dari tempat duduk, berlarian menaiki anak tangga, dan terlihat Hafitra meneteskan air mata kembali. Entah kapan ibu dan ayahnya akan meluangkan waktu untuk anak-anaknya? Mengapa mereka begitu mementingkan harta daripada anak-anaknya? Mengapa mereka tidak pernah mau mengerti bahwa yang Hafitra dan Gusni butuhkan adalah kedua orang tuanya dan kasih sayangnya? Mereka ingin sesekali menghabiskan waktu bersama, walau hanya setahun sekali ketika ulang tahun saja atau ketika perayaan idul fitri, tetapi nyatanya tak pernah. Menyedihkan, pikir Hafitra sambil menyeka air matanya. Lalu ia beranjak dan menaiki anak tangga menyusul Gusni.
Hafitra membukakan pintu kamarnya, lalu ia memasukinya dan dilihatnya Gusni tengah menangis terisak. Hafitra pun duduk di sampingnya, lalu memeluknya sambil menyeka air mata Gusni. Tak ada hal yang dapat ia lakukan selain hal tersebut. Usahanya sama sekali tidak pernah menuaikan hasil, walau berulang kali ia meminta ibu dan ayahnya untuk meluangkan waktu untuk mereka. Rasanya Hafitra putus asa, merasa tak akan pernah bisa menyadarkan kedua orang tuanya. Perasaan tidak dipedulikan dan perasaan tak disayangi serta dicintai, selalu membuat hati mereka terluka separah-parahnya dan sepi, sesepi-sepinya.
Mereka ingin mempunyai ibu pada umumnya yang selalu ada, untuk sekedar menanyakan bagaimana sekolahmu? Bagaimana mengajimu? Sudah bisa sampai mana? Bagaimana salatmu? Kamu ikut kegiatan apa saja di sekolah? Mereka ingin diperhatikan oleh kedua orang tuanya. Mereka ingin pulang sekolah disambut seorang ibu bersama senyumannya yang indah. Mereka ingin berbicara banyak hal, setidaknya kepada ibunya kalau ayahnya harus berjuang menafkahi. Mereka ingin berbagi perasaan suka atau duka, tetapi sampai sekarang pun mereka tidak pernah bisa membagi perasaan dengan ibu dan ayahnya. Bahkan saat mereka menyampaikan perasaannya, ibu dan ayahnya tidak memedulikannya.
“Sudahlah, jangan bersedih lagi! Lebih baik kita main sekarang ke taman Balai Kota atau mau ke taman Jomblo? Ke taman Vanda?’’
“Gusni maunya sama mama dan papa.”
“Gus, sabar dulu aja! Suatu saat mereka gak akan sibuk, kok.”
“Kakak janji kalau mereka enggak akan sibuk lagi?’’
“Janji.”
Gusni menyemburatkan senyuman sambil mengaitkan kelingkingnya di kelingking Hafitra.
“Mending sekarang ayo main, sama Elia, kak Erina, kak Fau, dan kak Ilmi. ”
“Iya.”
~*~
“Neng saya mau pesan kue ulang tahun untuk anak saya yang ke- 17, mau yang paling spesial ya!” pesan seorang perempuan paruh baya.
“Baik, bu, namanya siapa?” tanya Ilmi santun.
“Namanya Fadia Munaziah Bunga.”
Ilmi mencatat namanya.
“Berapa kalau yang paling spesial?”
“500.000 bu, mau diantar atau diambil ke sini? Kalau diantar ada ongkirnya.”