Setelah salat duhur berja’maah, Ilmi dan sahabat-sahabatnya makan siang gratis di restoran ibunya Fauliza, sebagai tanda terima kasih karena telah membuat ibunya memberitahukan perihal ayahnya. Ia tahu, mentraktir sahabat-sahabatnya makan tidak sebanding dengan apa yang telah dilakukan mereka, namun bagaimana lagi? Ia tak mampu memberikan lebih dari ini. Namun bagi sahabat-sahabatnya ini lebih dari cukup. Mereka juga tidak pernah mengharapkannya, namun sudah sepatutnya mereka menghargai sebuah tanda terima kasih dari sahabatnya dan itu cukup membahagiakan, bukan? Oh iya, Radel juga ikut lho, padahal tidak diajak. Dia itu suka berinisiatif sendiri ya. Mengesalkan memang, tetapi bikin kangen, wkwkwk.
Terlihat Radel yang duduk di samping Ilmi dan Hafitra tengah menabuh-nabuh meja, menanti makanan tiba. Sebagian tamu yang tertarik perhatiannya menatap Radel heran, seperti tengah berkata melalui tatapan. “Tuh anak siapa sih? kok kelakuannya begitu amat, tengil pisan euy.” Akan tetapi ada juga yang tersenyum geli, merasa lucu melihatnya. Tentu saja ada juga yang merasa terganggu karena tingkahnya itu. Sementara itu Fauliza semakin kesal padanya.
“Bisa gak sih diam tuh tangan? Mau aku usir, heuh?’’ ketus Fauliza.
“Oh, ok,” ucapnya sambil menghentikan tabuhannya. “Gampang kok, tangan aku bisa diatur, yang enggak bisa diatur itu perasaan. Iya kan, Il?” Radel meminta persetujuan.
Ilmi hanya menganggukan kepala tanpa mengeluarkan sepatah kata pun untuk menanggapinya. Iyakan sajalah, kalau tidak, bisa panjang lebar dia berkata.
“Kaya aku yang jatuh cinta sama kamu,’’ suaranya nyaris berbisik dan tidak terdengar oleh teman-temannya.
Sekali lagi Ilmi menganggapnya seperti bualan Pinokio dan wajahnya ia buat sedatar-datarnya, pura-pura tak mendengar dan itu membuat Radel semakin gemas padanya.
“Eh, Fau, Ihfa hari ini kerja shift pagi kan? Kok enggak keliatan sih? Lagi istirahat ya?’’ tanya Erina yang sedari tadi tak mendapati Ihfa.
“Iya,” jawab Fauliza.
“Ihfa kerja di sini?’’ tanya Radel memastikan.
“Iya,” jawab Erina sambil menganggukkan kepala.
Radel mengangguk-anggukan kepala sambil menyuguhkan senyuman. Senyuman yang menyiratkan makna.
“Ajak makan bareng dong, Fau!” usul Erina.
“Takut enggak mau.”
“Coba aja dulu!’’
“Ok.” tanggap Fauliza yang kemudian menyuruh salah satu karyawannya untuk memanggil Ihfa ke meja mereka.
“Baik.” Rais mengamini sambil beranjak.
Rais memasuki tempat peristirahatan dan dilihatnya Ihfa tengah mengeluarkan tempat makan dan buku paket geografi. Setelah makan, rencananya ia akan membaca buku tersebut dan mempelajarinya seperti biasa.
“Fa, kamu harus ke meja nomer 17 sekarang!” suruh Rais.
“Oh baik, terima kasih Kang,” ucapnya sambil merengkuhkan kepala tanpa bertanya siapa yang menyuruhnya ke meja tersebut? Ia tak perlu bertanya, sebab ia akan tahu ketika sampai di sana. Iya, itu pemikirannya.
Ihfa beranjak keluar dan pergi ke meja nomer 17. Sesampainya di sana, ia merasa heran melihat Radel yang tumben-tumbenan bersama Fauliza dan sahabat-sahabatnya.
“Ada apa?’’ tanya Ihfa.
“Ayo duduk, kita makan bersama!” ajak Fauliza.
“Makasih Fau, tapi gak bisa.”
“Kenapa?’’
“Gak enak aja sama karyawan yang lain, lagi pula aku juga bawa bekal.”
“Gak usah dipikirin! Toh, kamu teman kami. Mereka juga tahu, kamu satu sekolah dan satu kelas sama aku. Untuk masalah bekal, bawa pulang lagi aja.”
“Udah, duduk aja! Kapan lagi kita makan bersama lagi?’’ ucap Hafitra.
Ihfa berpikir-pikir, iya betul apa yang dikatakan Hafitra, kapan lagi makan bersama lagi? Setidaknya, sekali lagi saja memiliki ruang dan waktu bersama mereka untuk dicintai secara sukarela.
“Iya Fa, kapan lagi? Ayo makan bersama kita,” ajak Ilmi.
“Baik,” balas Ihfa sambil mengambil kursi di meja lain yang kosong, kemudian ia duduk di samping Fauliza.
Terlihat di atas meja tersebut sudah ada tujuh porsi nasi tutug oncom dan delapan gelas minuman yang berbeda. Ada empat gelas jus jeruk, satu gelas jus mangga, satu gelas jus alpukat, dan satu gelas jus jambu.
Terlihat Erina tertunduk, ia kan bersama Elia. Mungkin Radel dan Ihfa jijik melihat air liurnya yang terus keluar, kalau sahabat-sahabatnya dari awal tidak ada masalah dan tak pernah jijik. Erina beranjak dan meminta tolong pada Hafitra untuk membawa makanannya dan makanan khusus untuk Elia yang ia bawa dari rumah.
“Gak perlu pindah Er! Kalau kamu kira aku sama Ihfa akan jijik, itu salah besar,’’ tutur Radel yang kemudian tersenyum. “Iya kan, Fa?’’ tanyanya canggung.
Ihfa menganggukkan kepala dengan canggung pula dan kikuk.
“Bener?’’
“Iya,’’ jawab Radel.
Mata Erina berbinar, ia pun tersenyum dan kembali duduk. Kemudian mereka makan bersama dan sesekali Erina menyuapi Elia. Terlihat Radel mengambil sesuap nasi dan secuil daging ayam dari alas Ilmi. “Sepiring berdua itu indah, Il,” katanya yang kemudian memasukkan nasi dan lauk pauk ke mulutnya.
Lagi-lagi Ilmi hanya bisa menatapnya jengah yang diakhiri geleng-geleng kepala. Apanya yang indah? Pikirnya.
“Mau enggak aku suapin?’’ tanya Radel pada Ilmi.
“Gak,’’ jawab Ilmi sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Ihfa menatap Radel dan Ilmi secara bergantian, lalu ia menundukkan pandangannya. Dari awal mengaguminya, Ihfa hanya bisa diam-diam memerhatikan. Bukannya ia tak berani mendekati Ilmi, hanya saja ia merasa tak pantas untuknya. Mengingat siapa dirinya dan dari keluarga macam apa ia. Lagi pula, ia sadar bahwa ini bukanlah masa untuknya menggenggamkan cinta dan menarik hatinya, serta memeluknya dalam dekapan cinta itu sendiri. Bukankah tulang rusuk tidak akan pernah tertukar?
Sementara itu terlihat Fauliza menatapnya lekat-lekat dengan mata yang berkaca-kaca, lalu ia menatap Ilmi dengan rasa cemburunya. Hah, meski berulang kali ia mencoba untuk tak cemburu kepada sahabatnya itu, tetap saja ia selalu cemburu. Terlebih dari kelas sepuluh hingga sekarang Ihfa tak pernah luput memerhatikan Ilmi diam-diam, dan itu sangat menyakitkan. Fauliza ingin sekali, bahwa yang diperhatikan oleh Ihfa itu bukan Ilmi, melainkan dirinya, meski harus diam-diam juga, itu akan terasa sangat membahagiakan. Ia juga adalah orang yang senang dan sedih, bahwa Ilmi mencintai Hasdi, dan itu membuatnya merasa menjadi sahabat yang buruk. Sungguh ia juga tak mau cemburu seperti itu kepada Ilmi, namun bagaimana lagi? Perasaan memang pelik.
Lalu Fauliza menundukkan kepala, ia berharap bahwa Ilmi dan sahabatnya yang lain tak akan pernah tahu, bahwa dirinya selalu cemburu. Namun harapannya tak sesuai, karena Ilmi, Erina, dan Hafitra yang kini juga tengah cemburu, tahu. Akan tetapi mereka selalu pura-pura tak tahu. Ya, karena seperti ini adalah yang terbaik.