RUANG HAMPA

Fadly Achmad
Chapter #1

BAB I Thick as Thieves

Strike a light and throw it, Making noise is shouting

Making noise is shouting, Who can you believe

Brothers thick as thieves, Theyre all thick as thieves

Pagi datang dengan cepat. Sinar matahari sudah menembus di sela-sela dedaunan dan mendarat sempurna di antara rerumputan. Pagi ini sangat indah untuk dilewatkan, bahkan terlalu indah untuk dikenang. Betul, kenangan akan tiba di waktu yang sulit ditentukan. Bahkan aku benci dengan mimpi yang barusan terjadi kepadaku. Pakar psikology menyebutkan bahwa seseorang hanya dapat mengingat mimpinya tidak lebih dari 50%. Akan tetapi, buatku mimpi barusan begitu nyata. Sulit untuk dihindari, atau memang mimpi itu bersemayam di relung jiwaku?

Tidak.

Pagi ini harus menjadi semangat baru bagiku. Tepat hari ini, aku memulai kembali aktifitasku sebagai salah satu mahasiswa di universitas yang dijalankan oleh pemerintah setempat. Mengambil jurusan sosial politik, tidak hanya memaksaku untuk aktif dalam beberapa kegiatan kampus, melainkan kegiatan di luar kampus untuk menunjang pembelajaranku. Berkuliah dengan kehidupan yang baru tidak hanya memberikan dampak positif terhadap jiwa psikisku, akan tetapi memaksaku untuk menyibukkan diri dan sejenak melupakan masa lalu. Atau lari dari mimpi buruk itu yang terus saja menghantui.

Seperti biasa, aku memulai pagi ini untuk menyelesaikan beberapa tugas yang belum terselesaikan semalam tadi. Aku tengah menyiapkan beberapa materi untuk dipersentasikan di hadapan kelas dan juga proyek kegiatan sosial, yaitu berbagi pengalaman bersama anak-anak di kolong jembatan nanti. Kesibukan tersebut lah yang sengaja kulakukan. Jelas untuk menghilangkan overthiking atas masa lalu ini. Kehampaan terkadang menyelimuti tanpa basa-basi. Bahkan menggerogoti setiap hari. Yasudahlah!

“Go, dimana kau?” Tiba-tiba suara muncul dan memecahkan lamunanku. Suara itu muncul dari dalam rumah. Yup, dialah pamanku.

Tanpa berfikir panjang, dan juga tanpa membalas jawabannya, aku langsung bergegas masuk ke rumah. Aku langsung menghampiri sumber suara tersebut berada. “Ada apa paman?” jawabku ringan.

Tatapan tajamnya seakan menusukku begitu dalam. Dia tengah duduk di kursi malasnya dan mengenggam segelas kopi panas. Entah dari mana dia mendapatkan kopi panas itu, biasanya aku yang membuatkannya. “Kau tidak melihat apa yang aku pegang?”.

Aku langsung memicingkan mata dan menatap apa yang tengah digenggam oleh pamanku. Tidak ada, kecuali segelas kopi panas. “Segelas kopi?” jawabku.

Dia tidak langsung menjawab. Dia tengah berusaha berdiri dari kursi malasnya dan tetap berusaha menjaga keseimbangan agar kopinya tidak tumpah ke karpet. “Kau benar-benar tidak dapat melihatnya apa yang ada di tanganku?” tanyanya dengan tegas.

Aku menyadari jikalau dia menaikkan nada suaranya. “Benar Paman, aku tidak melihat apapun selain segelas kopi itu.” Aku menunjuk ke arah segelas kopi yang dipegangnnya.

“Berapa usiamu sekarang?” tanyanya langsung dan tetap mempertahankan nada tingginya.

“Aku 20 tahun.”

“Di usiamu yang ke 20 tahun, seharusnya kau sudah bisa melihat apa yang ada di tanganku.”

“Aku sungguh tidak dapat melihat apa-apa selain segelas kopi itu.”

Pamanku hanya diam dan mematung beberapa saat. “Buatkan aku sarapan!” perintahnya langsung.

Aku sunggu tidak mendapatkan apa yang dimaksud oleh pamanku. Benar bahwa aku tinggal bersamanya setelah kedua orang tuaku menghilang secara misterius ketika kami sedang camping di Gunung Batu. Pada kenyataannya betul bahwa mereka hilang secara misterius dikala aku sedang berusaha untuk mencari jati diriku sebenarnya. Hilangnya kedua orang tuaku sudah terjadi tiga tahun lalu, dan sampai sekarang keberadaan mereka masih misterius. Polisi setempat hingga saat ini masih berhubungan denganku dan pamanku untuk mencari bukti-bukti atas hilangnya mereka.

Berita terakhir bahwa polisi setempat melaporkan telah menemukan salah satu tas yang digunakan ayahku. Di luar tas tersebut tertera kedua nama orang tuaku. Pihak polisi masih memegang tas tersebut sebagai alat bukti dalam pencarian. Hingga tahun ketiga ini, pihak kepolisian mencoba untuk memaksimalkan pencarian, akan tetapi apabila alat bukti dan jalan tidak ditemukan, polisi setempat terpaksa untuk menghentikan pencarian. Pada dasarnya, aku benar-benar tidak ingin usaha tersebut terhenti. Ini, adalah kedua orang tuaku. Aku harus mencari dan menemukannya.

Pagi ini belum berakhir. Setelah kubuatkan sarapan untuk Paman, aku segera bergegas untuk berangkat ke kampus. Kampusku tidak jauh dari kediaman Paman, itulah mengapa aku tinggal bersamanya. Alasan lain juga karena memang dia Paman satu-satunya dari sisi ayahku. Lupakan! Aku menggunakan sepeda motor peninggalan ayahku untuk segera ke kampus. Tentu saja untuk hadir dalam jadwal kelas Pak Reynold.

Sesampainya aku di parkiran motor kampus, tiba-tiba ada seseorang memanggil namaku. “Archipelago,” teriaknya dari sisi sebelah sana.

Aku langsung memutar badanku untuk mencari dimana sumber suara itu. Aku bergegas untuk menghampiri karena aku sudah meyadari yang memanggil adalah salah dosen yang mengisi pagi ini. Aku berlari kecil menghampirinya, “ada yang bisa saya bantu bapak?” tanyaku ringan.

“Saya suka materi yang kamu sampaikan minggu lalu. Pendekatan yang kamu kembangkan sangat relate dengan isu regional saat ini. Mungkin kamu bisa lebih mengelaborasi lagi--,” jelasnya terpotong sambil membongkar sesuatu dari tasnya, “dengan buku ini. Di dalamnya menjelaskan secara komprehensif terkait dengan isu regional saat ini,” sambungnya seraya memberikan sebuah buku.

Aku langsung menerimanya, “baik bapak, saya akan mencoba membacanya terlebih dahulu. Terimakasih Pak Freddy,” lanjutku.

“Saya melihat potensi dalam dirimu, Go.”

“Terima kasih atas kepercayaannya Pak.”

“Baiklah, lanjutkan.”

“Siap Bapak, saya lanjut ke kelas Pak Reynold.”

Pak Freddy memutar badannya dan hanya melambaikan tangan sebagai tanda untuk melanjutkan kegiatanku. Aku langsung bergegas menuju kelas tanpa memperdulikan lingkungan sekitar. Pagi ini Kampus sangat ramai, karena di hari senin hampir seluruh kelas terpakai. Aku hanya berjalan dan memikirkan kata-kata yang tepat untuk memulai persentasi di kelas Pak Reynold. Seperti tengah kalut dalam pikiran, dan hanya fokus untuk menyempurnakannya. Aku selalu memikirkan banyak hal, bahkan terhadap hal kecil. Bahkan semut yang barusan lewat di sebelahku saja, aku menyadari itu.

“Go, kenapa kau berjalan sangat cepat?” Tiba-tiba suara entah dari mana muncul kembali.

Kenapa pagi ini banyak sekali pengganggu? Pikirku sambil menambah laju kecepatan langkahku.

“Bisakah kau memelankan langkamu, Go?” serunya lagi.

Aku tahu sumber suara itu berasal, dan aku mengetahui siapa dia. “Aku sedang buru-buru,” jawabku teramat ringan.

C’mon Man, kita tidak perlu membuat dunia ini semakin tegang,” sahutnya lagi.

Aku benar-benar tidak memperdulikan dia. Aku tidak menjawabnya dan hanya fokus pada langkahku saja. Perlahan, aku merasakan tidak lagi ada kehadirannya di sekitarku. Finally, pikirku.

Lihat selengkapnya