Where all the wild ones are born,
And heaven stretches on and on
We run free we run strong,
So much sky
ANEH.
Jalan menuju The Full Book sangat menyimpan kenangan masa lalu. Dimana aku pertama kali diajarkan mengendarai motor bersama ayahku, berbelanja kebutuhan di pagi hari bersama ibuku dan juga pertama kali aku melihat seseorang yang benar-benar mengalihkan pandanganku. Semua tersimpan dalam memori ini, sangat perlu untuk berdiskusi dengan masa lalu. Berdamai dengan masa lalu juga sangat penting. Hari ini semuanya bertemakan sangat, karena ada seseorang yang tiba-tiba saja naik ke jok motor belakangku. Sudah hampir setengah perjalanan dan dia tidak mengeluarkan sepatah katapun untuk menjelaskannya. Itu yang sedari tadi aku tunggu. Aku tidak mengerti, apakah harus menuju The Full Book atau menuju tempat lain yang ingin dia tuju.
Aku menarik nafas dalam-dalam dan memelankan laju motorku. “Apa anda sudah bisa berbicara sekarang?” tanyaku mengimbangi suara deru angin.
Hening.
Tiba-tiba, dia hanya membentangkan tangannya seolah dia sedang terbang melayang. Dia-pun berdiri dari jok belakang dan berteriak sekeras-kerasnya. “ARRGGHHHH,” teriaknya hingga menggema.
“Hey, apa yang kau lakukan? Hentikan,” tukasku cepat. Entah dia mendengarkan atau tidak.
Aku melihat sekitar memang jalur menuju The Full Book harus melewati jalanan lintas kota, yang notabanenya cukup sepi dibandingkan dengan lalu lintas perkotaan. Karena pada dasarnya kampusku terletak di pinggir kota. Mungkin pemerintah kota setempat memikirkan untuk ekspansi kampus yang membutuhkan lahan. Sehingga tidak membangun kampus tepat di tengah kota sebagai dasar pertimbangan akan datang.
Aku langsung menepi, menurunkan standar motor dan menaggalkan helm. “Mari kita bicara,” kataku dengan menatap matanya lekat. Seperti adegan chicklit dalam romansa anak muda, tetapi itulah kenyataan yang terjadi saat ini. Dia kemudian menanggalkan helmnya juga, dari mana dia mendapatkan helm itu? Pikirku sambil memicingkan mata kepadanya sepersekian detik.
“Maaf jika aku merepotkanmu atas kejadian tadi,” katanya seperti membisik.
“Betul, kau sudah sangat merepotkanku. Karena aku mau menuju kota untuk singgah di The Full Book. Seharusnya tiba beberapa menit lalu, dan voila kau ada di hadapanku sekarang tanpa juntrungan.” Mungkin ini adalah kalimat cukup panjang yang ku lontarkan di beberapa minggu terakhir.
Dia tidak langsung merespon kalimatku. “Sebenarnya, aku ingin keluar dari masalah tadi. Ada seseorang yang mengejarku dari pagi. Itulah kenapa kita bertemu di lab bahasa. Aku sedang mengumpat dari seseorang,” jelasnya.
Aku mengeluarkan sebungkus rokok dari tasku, kemudian mengambilnya sebatang dan langsung membakarnya. “Pada dasarnya itu bukan urusanku sama sekali. Tetapi terima kasih atas penjelasannya. Aku akan meninggalkamu disini,” kataku sambil menghembuskan asap rokok ke atas.
“Apa kau tega meninggalkanku di tempat ini? Kita masih jauh perjalanan sampai ke kota,” katanya meringis, lebih ke kaget. “Bisakah kau mengantakanku ke Sabintang Coffee mungkin aku bisa meminta temanku menjemput?”
Aku hanya memasang raut wajah datar. Sepertinya memang dia butuh bantuan itu, dan aku tidak tega juga untuk meninggalkannya disini. “Baiklah. Tetapi kau harus berjanji untuk tidak menggangguku, mulai besok dan seterusnya,” kataku seraya mematikan rokokku.
“Aku janji.” Dia mengulurkan kelingking tangannya.
“Untuk apa itu?” tanyaku heran.