So what’s the point in starting
Something that will crash and end
I could never tell
Gunung Batu, 10 Agustus 2017
Senja masuk di ufuk semesta, menuangkan janji dan membelah aksara. Matahari tidak hanya sebagai sumber energi bagi mahluk di bumi, juga sebagai tanda bahwa aku masih hidup. Merasakan ciuman cahaya yang sudah melewatkan jutaan tahun untuk tiba dikulitku. Cahaya matahari selalu menepati janjinya, tentu saja sebagai asmaraloka di ujung hari. Aku selalu menyukai senja, bukan berarti mengkhianati pagi dan malam. Aku juga selalu menyukai wangi rumput yang dibenturkan dengan hujan. Selalu saja benar dan tidak berbohong. Kali ini aku benar-benar hanyut dalam deru angin yang meniupkan dari ujung barat. Udara bergerak dengan kecepatan indah, seakan mengalun dan memecahkan keheningan di hamparan hutan kaki Gunung Batu.
Kala itu, aku sudah sadar dalam berumur. Aku dan kedua orang tuaku tengah menikmati senja untuk beraksara. Aku sibuk memandangi sekitar untuk mencari kejutan yang diberikan oleh hutan. Sedangkan kedua orang tuaku tengah sibuk untuk mendirikan tenda. Aku baru saja berumur 17 tahun 2 hari lalu, dan permintaan kepada ke dua orang tuaku adalah camping bersama. Entah apa yang mendasari aku berfikir atas permintaan tersebut, tetapi ke dua orang tuaku langsung menyetujuinya.
Waktu mulai tergesa-gesa, kedua orang tuaku baru saja menyelesaikan mendirikan tenda. Tendanya cukup besar, untukku sendiri dan kedua orang tuaku. “Hey, apa kau lapar?” tanya ibuku.
“Aku selalu lapar,” sahut ayahku tiba-tiba.
“Kau memang selalu lapar,” ejek ibuku.
“Aku masih belum lapar, Mom,” jawabku.
Kami semua masih beberes, memasukkan barang-barang ke tenda masing-masing. Tidak terkecuali ialah perlengkapan makanan yang harus diselamatkan pertama. Karena pada dasarnya di tengah hutan kaki Gunung Batu, ada saja hewan yang mencuri makanan. Itu fakta.
“Sebentar lagi ibu akan membuatkan makan malam. Sederhana saja, bukan masakan rumit.”
“Baiklah,” kataku singkat.
Tidak ada yang aneh di sore hari ini. Matahari sudah memancarkan sinar terakhirnya sebelum digantikan oleh bulan. Langit begitu cerah, sampai dapat terlihat bintang-bintang tanpa perlu alat bantuan. Aku menghirup udara malam dalam-dalam, dan menghembuskan perlahan. Menanti ketenangan setelah bergulat dengan hiruk-pikuk kota metropolitan. Semua terasa on point, sampai aku sempat lupa bahwa hutan sudah bersuara memecahkan keheningan pekatnya malam.
“Makan malam siap,” seru ibuku.
Aku sedang termenung di salah satu sudut tenda sambil melihat ke atas. Kali ini, perutku benar-benar kelaparan. Aku melihat ayahku sudah lebih dulu duduk di pinggir perapian.
“Mari segera, Go,” kata ayahku.