Here I am, give me something I could follow
So I can find my way out from the shadows
Raise your voice 'cause the time is now or never
And if we have to fall, we'll fall together
Aku memeluk tubuhku yang besar ini, menjatuhkannya kembali hingga ditelan oleh nirwana. Tak ada sehelai memori pun yang datang menyerang, terasa tenang, hanya dalam pikiran. Sepenggal kenangan buruk, sudah biasa mampir tanpa diminta, masuk dan melayang-layang seperti debu di tengah padang pasir. Aku tidak menjumpai bayangan semu yang selalu saja mengikutiku sedari waktu itu. Waktu itu, iya, waktu dimana aku terkubur, terperosok dan juga terdiam seribu aksara dalam sebuah gua yang teramat gelap. Aku hanya butuh cahaya, butuh keyakinan jika aku masih hidup. Aku mampu bernafas, aku mampu bermimpi dan aku juga mampu untuk merasa.
“Lempar bolanya ke arahku!” Aldo berteriak ke arah Bara.
Bara mengenggam bola basket, dan langsung melemparkan ke arah Aldo. Sebelum ditangkap oleh Aldo, bola basket tersebut di curi oleh Geo.
“Boleh, boleh juga permainanmu Mahluk Bumi.” Aldo nyengir sambil memberikan jari telunjuknya ke arah Geo.
“Masih mau bertanding?” tawar Bara.
Aldo terengah-engah mengumpulkan nafasnya melalui hidung, langsung dikeluarkan dari mulutnya. “Sepertinya aku harus, duduk dan menarik nafas dahulu.” ‘Menarik nafas’ itu sebuah kiasan yang digunakan ku dan Aldo untuk merokok.
Aldo berjalan terseok-seok ke arah pinggir lapangan.
Aku hanya duduk terdiam sambil memperhatikan mereka sedang merebutkan bola basket.
“Kau tidak ikut bermain? Atau masih sibuk memikirkan apa yang terjadi tempo hari itu?”
“Tidak Do. Aku hanya ingin memperhaikan kalian sibuk saja di tengah lapangan. Oh iya, aku masih memikirkan apa yang terjadi di Gunung Pancar dua hari lalu.”
“Sejujurnya, aku tidak mengerti maksud perkataanmu mengenai cahaya putih atau apalah itu,” katanya sambil meneguk air dari botolnya. Dia kemudian mengambil sebungkus rokok dan membakarnya sebatang. “Tapi kau bisa saja bercerita apa yang terjadi kepada ku. Itu pun kalau kau mau menceritakannya.”
“Sepertinya aku harus berbicara dengan Rayya. Dia mengatakan dapat meraskan apa yang terjadi waktu itu. Kau harus tahu Do, kau mungkin menganggap aku gila, waktu itu seperti bom cahaya keluar dari tubuhku. Begitu panas.”
“Pffftttt...” Suara tawa Aldo yang tertahan, mengingat menghargai ku yang sedang bercerita. “Sebelumnya aku minta maaf Go. Apa kau sadar hari ini?” tanyanya terkekeh.
“Itulah kenapa aku tidak mau menceritakannya kepadamu.”
“Sorry Geng. Selanjutnya bagaimana?” tanyanya penasaran sekarang.
Aku mencoba untuk menahan diriku untuk tidak bercerita. Tetapi aku harus bercerita kepadanya. Seperti semacam prinsip, aku dan Aldo sudah bersahabat lebih dari 5 tahun. Basicly, sedikit banyak dia mengetahui rahasiaku, demikian juga aku mengetahui rahasianya. Semacam kepercayaan persahabatan yang tidak dapat didefinisikan.
Aku membakar rokok, “waktu berhenti beberapa detik.”
Kali ini tawanya tidak dapat tertahankan. “Sepertinya betul kau harus bicara dengan Rayya. Kau mau memulai sendiri bertemu Rayya? Sepertinya keberanianmu sudah muncul.”
“Itulah mengapa aku bicara denganmu terlebih dahulu”
Aldo sejenak menatapku terpaku. “Sudah aku duga.”
Aku jarang sekali minta tolong kepada orang lain, kecuali dengan mahluk satu ini. “Oke?” tanyaku untuk memastikan maksudku tersampaikan.
“Ya,” jawabnya ketus.
“Bagaimana kabar Zara?” Tiba-tiba saja aku ingin menanyakannya.
“Lagi rumit. Itu lah kenapa beberapa hari terakhir aku menyibukkan diri dengan kalian-kalian. Untung saja, kau bisa diculik sesekali. Walaupun aku cukup terpaksa ketika Reno tak bisa diajak keluar,” ejeknya.