RUANG HAMPA

Fadly Achmad
Chapter #9

BAB IX Alive

Yeah, feels so good

So good to be alive

Senja menyisir rerumputan yang bergoyang di atas tanah lembab. Hati yang sudah terpenjara oleh masa lalu, berharap waktu yang dapat menyembuhkan. Mereka tidak bisa menyalahkan waktu yang terus berputar. Hanya saja, waktu, waktu yang terkadang egois untuk tidak berhenti. Berharap berhenti untuk mengenang memori yang sudah lewat. Atau bahkan mencoba mempercepat waktu untuk melupakan memori buruk, yang dapat memenjarakanmu dalam masa lalu. Banyak dari manusia tengah berjuang untuk berdamai dengan masa lalu, termasuk aku.

Angin berhembus dari berbagai arah, perjalananku kali ini cukup membuatku tersenyum. Setelah bertemu dengan anak-anak, semacam memberikan aura positif terhadap hidupku. Semacam pemikiran baru untuk kembali tersenyum. Aku mengendarai motor Rayya, dan dia duduk tepat di belakangku. Sedangkan Aldo mengendarai motorku. Kami sudah menetapkan tujuan untuk menghabiskan sore ini. Lebih tepatnya ide dari Aldo, dia memiliki referensi tempat yang katanya cukup menyenangkan.

Aldo memimpin perjalanan. Kami membelah jalanan Kota Bogor yang mulai padat. Angin cukup kencang sore ini, bahkan menerbangkan sebagian jaket yang ku kenakan. “Kita akan berbelok ke arah sini. Ikuti aku!” Perintah Aldo dengan nada suara tinggi, mungkin untuk mengimbangi bisingnya jalanan ini.

Aku hanya mengangguk sebagai penanda menerima ajakannya. Rayya hanya terdiam di belakangku. Wangi itu sekarang melekat di jaket yang ku kenakan sekarang. Entah itu merupakan keuntungan, atau hanya pertanda saja. Yasudahlah!

Aldo berbelok ke sebuah jalan menuju pinggir kota. Memang pinggir Kota Bogor memiliki spot yang indah untuk berkumpul, hanya untuk sekedar berbagi kehidupan. Aku jarang sekali hangout dengan orang-orang, kecuali ada eksistensi Aldo di tengahnya. Terkadang, kata satir dari Aldo ada benarnya juga. Tetapi itulah aku, itulah ruang yang aku ciptakan.

Pepohonan mulai rimbun, jalanan juga mulai menanjak dan juga rerumputan yang cukup padat menghiasi perjalanan ini. Kemudian, Aldo berbelok ke jalan setapak. Jalanan ini membelah pepohonan Pinus. Darimana datangnya ide tempat ini? Pikirku sambil mengerutkan dahi. Tidak lama kemudian, aku melihat sebuah rumah kayu yang begitu antik. Rumah kayu yang berdiri di tenah pepohonan Pinus. Tidak jauh dari itu juga ada sebuah tebing yang membelah antara satu ke lainnya. Rumah ini berdiri kokoh di samping tebing. Aku dan Aldo berhenti di sebuah lahan parkir dan memarkirkan motor tepat di bawah pohon Pinus yang masih kecil.

“Ayo, kita disini saja.” Aldo mengajak kami seraya melepaskan helm yang dikenakannya.

Aku dan Rayya juga turun dari motor, menanggalkan helm dan meletakannya di tempat helm yang disediakan rumah ini. Rumah kayu di depanku ini sungguh menarik, memberikan kesan magis. Berdiri kokoh di antah berantah di tengah rimbunan pohon Pinus. Tidak banyak lampu dalam penerangan, hanya sebagian sudut rumah saja yang digantungi lampu pijar.

Malam sudah tidak sabar untuk menggantikan tugasnya senja. Kami melangkah masuk ke dalam rumah kayu tersebut. Tidak banyak orang yang duduk disini, hanya segelintir orang saja yang bersanda gurau di salah satu sudut rumah ini. Kami menyusuri rumah kayu ini, sungguh banyak sekali kenangan yang ditinggalkan oleh sang pemilik. Banyak barang-barang yang sudah berumur di atas meja-meja tua, rak-rak buku juga mulai berdebu, pigura-pigura foto kenangan yang mulai pudar, serta lampu gantung berukirkan kayu.

“Tempat apa ini?” tanya Rayya.

“Nanti aku akan menceritakannya. Kalian duduk saja di beranda belakang. Disitu spot favoritku dahulu saat masih ada Diron.”

Aku dan Rayya berjalan menyusuri lorong. Aku cukup tertegun Aldo menyebutkan nama saudara kembarnya. Sejak lama aku tidak pernah mendengan Aldo menyebutnya, baru kali ini semenjak lama waktu itu. Aku dan Rayya duduk di salah satu duduk beranda, hanya diterangi oleh lampu pijar seadanya. Aku suka betul suasana ini. Seperti meredam pikiranku dan menghempaskan kegelapan sejenak.

Suasana di ambang malam memang begitu indah. Angin saja tidak malu untuk menghembuskan dari berbagai arah. Menyiratkan wangi harum semerbak dari arah Rayya. Wangi ini kembali muncul. Seakan menyita memoriku saat ini.

“Jadi, apa kau mau membicarakan apa yang terjadi di kaki Gunung Pancar?” Suaranya tipis terbawa oleh angin.

Aku menengok perlaha ke arahnya. Mungkin ini waktu yang tepat untuk membicarakannya. “Jadi apa yang kau rasakan waktu itu?” Aku bertanya seraya menyalakan sebatang rokok.

“Semua terasa begitu cepat. Entah apa yang merasukiku saat itu. Saat kau menangkapku, aku melihat sebuah kilat berwarna putih muncul tiba-tiba. Aku tidak dapat melihatnya begitu jelas, tetapi cahaya itu datang dari arah belakangmu. Cahaya putih yang menyilaukan, dan hanya bertahan beberapa detik.”

Aku tertegun dengan penjelasan. Semua terasa benar, sama seperti apa yang ku rasakan saat itu. Namun, ada bagian kecil yang tidak diceritakan olehnya.

“Dan, aku merasakan waktu berhenti,” sambung Rayya.

Lihat selengkapnya