RUANG HAMPA

Fadly Achmad
Chapter #11

BAB XI Riverina

Oh, Riverina, I was calling to ya

from the end of my road

when they played you on the radio, the radio



Ada sebuah pertanda, dimana manusia sensitif untuk melihat tanda kebesarannya atau tutup mata karena terlalu egois akan harkatnya. Tanda-tanda bahwa kita manusia adalah unit paling kecil, seperti sebuah debu di tengah padang pasir. Atau, seperti sebuah daun yang gugur di tengah hutan Amazon. Manusia perlu mewaspadai, semesta ingin berkehendak, dan kau hanya mampu menerimanya. Tidak dapat di tolak, itulah pentingnya sebuah makna kedewasaan ketika kita tidak mampu lagi menerima sebuah kenyataan. Aku, mengerang di dalam lamunanku ketika semesta begitu egois. Se-egois itu hingga merenggut kedua orang tuaku.

Aku secepat mungkin mengendarai motor ini menuju rumah Aldo. Pagi yang cukup menyontak pikiran dan batinku. Angin begitu kencang, awan hitam menggantung di langit. Deru kilat sudah menyambar dari berbagai penjuru. Aku masih fokus untuk sesegara mungkin untuk sampai di rumah Aldo. Jarak dari rumahku ke rumah Aldo memang cukup jauh, mengingat rumah Aldo berada di kota.

Tak lama kemudian, aku berbelok di jalan terakhir menuju rumah Aldo. Hujan juga mulai turun perlahan, membasahkan tanah-tanah yang kering dipapar oleh matahari beberapa hari terakhir. Aku memacu motorku secepat mungkin, untuk menghindar dari hujan ini. Aku langsung saja memarkirkan motorku di halaman rumah Aldo, dan tepat sekali hujan turun sekonyong-konyongnya.

Pintu rumahnya terbuka sedikit, aku langsung saja mengetuk pintu.

“Masuk Go.” Aku mendengar suara Aldo memecah sebuah keheningan sejenak, selain suara hujan yang cukup deras.

Aku langsung membuka pintu rumah. Tidak jauh dari pintu rumah, Aldo beserta kedua orang tuanya sedang duduk di sebuah sofa berwarna krem. Dan seseorang yang aku kenal betul. Dia mengenakan baju hitam lengan panjang dan celana jeans. Dia adalah Aldiron, saudara kembar Aldo. Aku sangat terkejut, karena dia sudah dinyatakan meninggal akibat kecelakaan tiga tahun lalu.

Aldo melambaikan tangannya, memberikan kode kepadaku untuk segera duduk. Aku menatap lekat wajah pria itu, untuk memastikan bahwa itu Aldiron sebenarnya. Ada sebuah luka di pelipisnya, semacam luka tersayat yang mengering dan meninggalkan bekas. Tidak hanya aku, Aldo dan kedua orang tuanya juga sama kagetnya. Mereka masih terhanyut menatap sesosok pria di hadapannya. Duduk santai dan sedang menyeruput sebuah teh hangat buatan Tante Renata.

“Jadi, sudah berapa lama?” tanya Om Fadel.

Diron meletakan gelas tehnya. “Aku juga lupa sudah berapa lama. Itu terjadi begitu saja dan sangat cepat. Aku bahkan tidak sadar itu terjadi.”

Tante Renata sudah meneteskan air matanya. Dia mulai terisak-isak. Aldo mengelus punggung ibunya untuk meredam tangisnya yang sudah pecah. “Jadi kamu ingat siapa dirimu, Diron?”

“Tentu saja Bun. Ini aku Diron.”

Tangis Tante Renata semakin menjadi-jadi. Dia langsung berdiri dan memeluk Diron.

Lihat selengkapnya