RUANG HAMPA

Fadly Achmad
Chapter #13

BAB XIII Summer's Almost Gone

Summer’s almost gone, and you’re not coming home

You’re not coming home, but I’m still left alone

I’m still left alone

Gunung Batu, 13 Agustus 2017

Semua terasa gelap. Sudah tiga hari aku tidak melihat matahari. Cahaya matahari juga enggan masuk di sela-sela bebatuan ini. Aku masih terperangkap di dalam gua ini. Titik nadir dan terendah mencuat ke dalam pikiranku saat ini. Ada satu harapan yang muncul disini. Harapan untuk meninggalakan semua kenangan, dan tidak mau menjalankan dalam angan-angan semu. Sudah tiga hari lamanya aku terperangkap di dalam gua ini. Tidak ada makanan, dan hanya mengandalkan air minum yang di masukkan ke dalam tas pemberian ayahku. Aku masih disini, gelap terasa, hampa terasa. Aku ingin menyudahi saja siksaan ini.

Tiga hari seperti selamanya. Terperangkap, dengan mata tertutup atau terbuka juga sama saja. Aku hanya menangis, dan terus menangis, sampai air mataku mengering. Aku berteriak, sekencang-kencangnya, dan sama sekali tidak ada balasan dari luar sana. Kelam. Ruang ini begitu hampa. Memori yang mencuat tiada hentinya. Senyuman kedua orang tuaku, masa kecilku saat di belakang rumah, kisah jahilku bersama Aldo dan Diron. Semuanya keluar, seperti kaset di putar mundur.

Hujan turun. Doaku sepertinya dikabulkan oleh Tuhan. Aku sekonyong-konyongnya meminum air hujan yang merembes dari sela-sela batu. Tidak lupa aku mengeluarkan botol minum dari tas dan menampungnya. Tidak ada makanan, tidak ada kedua orang tuaku. Sirna.

Tepat tiga hari, ada sebuah suara memecah keheninganku di dalam ruang hampa ini. “Halo, apa ada orang disini?” Sebuah suara yang tak ku kenal berteriak. Terdengar jauh, tetapi alam sadarku menangkap frekuensi suara itu.

“Ago!, dimana kau Ago?” Suara itu meneriakkan namaku.

“Aku disini, aku disini!” teriakku sekuat tenaga. Paru-paruku terasa terbakar. Aku tidak ada tenaga sedikitpun.

“Ago, dimana kau?”

Aku mendengar sebuah tebasan benda tajam menghantam semak-semak. Mereka semakin dekat.

“Tolong, aku disini. Aku…”

“Sepertinya aku mendengar suara.” Sebuah suara menyadari teriakanku.

“Aku disini, di dalam gua,” teriakku teramat pelan. Aku berusaha menendang-nendang bebatuan di sekitarku. Membunyikan botol minum dengan kedua tanganku. Seluruh tenaga ku kerahkan, untuk keselamatanku.

“Hey, aku mendengarnya dari arah sini.”

Mereka semakin mendekat. Ada sebuah bayangan menutupi datangnya cahaya matahari. Aku terus berteriak agar diketahui keberadaanku. “Tolong, aku disini.”

“Ago, Ago kau tenang disitu. Hey, aku menemukannya. Dia berada di balik batu ini,” teriak salah satu dari mereka.

“Tolong…”

Suara tubrukan menghantam, memecahkan bebatuan disekitarku. Seperti ada sebuah palu besar untuk memecahkannya agar aku dapat keluar dari gua ini. Penyelamatanku tidak berjalan cepat, karena pasca kebakaran itu juga menimbulkan longsor dari atas gunung, yang pada akhirnya menutup akses dari bibir gua ini.

“Tolong ambilkan aku palu besar itu.”

“Ago, apa kau bisa mundur?”

“Aku tidak bisa bergerak sama sekali,” jawabku seadanya.

Setengah jam rasanya seperti setengah abad. Aku tidak sadar dengan waktu, aku menyalahkan waktu seutuhnya. Ini salah waktu, ini salah semesta yang memberikan cobaan seperti ini. Aku tidak meminta ini, bahkan berharap saja aku sama sekali tidak pernah.

Perlahan-lahan cahaya matahari masuk dari sela-sela bebatuan. Perlahan-lahan juga bebatuan itu terkikis oleh tumbukan benda tumpul. Tak lama kemudian bebatuan itu terbongkar, cahaya masuk begitu megahnya. Aku merasakan kehangatan dari cahaya matahari.

“Ulurkan tanganmu Go.” Sebuah tangan menjulur ke arahku.

Aku tidak sanggup untuk meraih tangan itu. Aku benar-benar di luar batas kemampuanku untuk menggapainya. Sekuat tenaga aku ingin menggapainya, tetapi itu hal yang sia-sia.

“Tolong ambilkan tali.”

Akhirnya seseorang menjulurkan tali ke arahku, aku dapat menggapainya. “Ikatkan tali itu ke pinggangmu.”

Aku berusaha untuk menarik tali itu dan mencoba untuk melilitkan ke pinggangku. Semua seperti bekerja secara simultan, aku menari tali itu sebagai tanda jika tali itu sudah terlilit di pinggangku. Mereka berteriak untuk menarik tali itu secara bersamaan. Sebuah misi penyelamatan yang sangat menyita perhatian kalangan pendaki gunung. Semua saling bahu-membahu untuk menolongku, aku dapat merasakannya. Tidak hanya satu atau dua orang, tetapi banyak dari mereka membantu misi penyelamatan ini.

Akhirnya. Cahaya matahari sempurna bersandar di setiap senti kulitku. Aku memegang batu untuk mengangkat tubuhku seraya tangan-tangan lainnya menarik tubuhku keluar dari gua ini. Tubuhku pucat pasi, tenagaku sudah terbakar habis selama 3 hari di dalam gua ini. Angin berhembus dari arah barat, menghempas memori kelam di dasar jiwaku.

Lihat selengkapnya