RUANG HAMPA

Fadly Achmad
Chapter #14

BAB XIV Tombstone

Unmarked are the tombstones

But the family still cares

There were so many words

I should have never kept

Tidak untuk sebuah kata yang hilang dalam serangkaian kalimat, tetapi makna yang tekandunglah sebagai kunci. Untuk apa mengedepankan sebuah ego jika engkau kalah dengan sebuah mimpi. Semenjak mimpi itu tidak dikenakan biaya, mimpi menjadi kunci orang untuk bertahan hidup. Beritahu atau merelakan begitu saja, memang hidup adalah serangakaian pillihan, atau takdir? Takdir adalah rangkaian pilihan yang sudah kau tetapkan. Kembali kepada manusia, mau menerima konsekuensinya atau bertanggung jawab sepenuhnya. Itulah hidup, nikmatilah kawan.

Awal musim hujan di Kota Bogor dan sekitarnya benar-benar memberikan sebuah makna hidup bagiku. Hujan yang menemaniku dan juga menyambung hidupku dikala terhimpit oleh ruang hampa. Ruang itu masih menggantung disini, tidak terlepas dan tak lekang oleh waktu. Hujan tidak dapat membuyarkan memori buruk, tetapi membantuku dalam mengingatnya, bukan untuk melupakannya. Nyanyian hujan menemaniku dikala gelap menyerang, atau memang menempatkanku pada fase memori itu. Yasudahlah!

Setibanya aku dan Aldo di halaman rumah, kami segera berlarian kecil ke arah pintu karena hujan masih turun. Aldo membuka pintu rumah, membiarkan udara masuk ke dalam rumah. Keheningan dan kehampaan situasi ini memang tidak enak untuk dilalui. But, kita harus melewati ini. Aku tidak keras kepala untuk memaknai masa depan, tetapi keganjalan datang bertubi-tubi. Melibatkanku disetiap drama kehidupan orang lain, yang sebenarnya ingin aku hindari.

“Kalian sudah pulang?” ujar Tante Renata.

“Iya Bun. Aku dan Ago pulang cepat karena ingin cepat bertemu dengan Diron. Mungkin kami akan bertanya langsung kepadanya,” jawab Aldo.

Aku hanya tersenyum kepada Tante Renata. Aku tahu di balik tatapannya, ada ribuan pertanyaan yang belum terjawab. Ada sebuah kekhawatiran seorang ibu terhadap anaknya. Sejak kecelakaan itu, Aldo sekeluarga memang terpukul. Karena mereka tidak menemukan jasad Diron, dan mereka sudah menyepakati jika Diron sudah wafat. Kala itu, Aldo benar-benar out of control.

“Diron berada di kamarnya.” Tante Renata kembali tersenyum kecil. Dia mencoba untuk menjadi sesosok hangat dikehampaan situasi ini.

Kami segera menuju kamar Diron yang berada di lantai satu. Tepat di samping pintu kamar Diron, foto itu terpajang sangat besar. Disoroti oleh lampu khusus, menandakan jika rumah ini harus dipenuhi oleh memori, walaupun itu adalah memori pahit. Mereka tidak memilih untuk menelan pil pahit atas kejadian itu, tetapi ini lah konsekuensi dari takdir yang sudah digariskan. Itu sebuah pilihan, tapi tidak untuk maut. Mungkin seperti ini lah cara semesta bercanda dengan mahluknya.

Aldo berhenti tepat di depan pintu. Dia hendak menggeser pintu, tetapi nafasnya terhenti sejenak. Dia cukup kalut untuk memulai ini. Aku dapat merasakannya. Tak lama kemudian, Aldo menggeser pintu dan mendapati Diron tengah menatap keluar jendela. Dia menolehkan wajahnya ke arah kami, tersenyum. Dia benar-benar Diron.

“Hey,” sahut Diron.

Aldo menghampirinya, dan langsung memeluk erat saudara kembarnya. Aku menyadari, ini sebuah kenangan baru yang terukir dalam ingatan. Sebuah momen atas jawaban semesta ketika engkau meminta. Ucapan selamat tinggal bukan menjadi dasar kita tak berhubungan, melainkan menaruh harapan jika waktu dapat mempertemukan. Aldo sudah merelakan saudara kembarnya, tetapi dia hadir di antara kami. Aku sadar betul, hujan mengirimkan sebuah harapan kepada mahluk yang percaya kepada sebuah keajaiban.

Diron juga memeluk erat saudara kembarnya. Begitu hangat, terkadang berkata tidak perlu menggunakan bahasa. Terkadang berkhianat kepada waktu, itu hal yang wajar ketika kehangatan hadir. Jangan takut untuk berangan, apalagi jatuh kepadanya. Itulah manusia, berdiri ketika jatuh dan kembali mencoba dengan sejarah yang telah terukir. Aku berdiri di ambang pintu, melihat mereka masih berdansa dalam rasa rindu. Kehilangan memang sulit, aku tahu betul makna kata kehilangan. Cukup mengajarkanku untuk tidak berhenti berharap.

Aldo melepaskan pelukannya. Tanpa disadari, air matanya mengalir di antara kehangatan situasi saat ini. “I miss you Brother.” Aldo memegang wajah saudara kembarnya itu. Technically, Aldo adalah kakak dari Diron. Hanya selang 3 menit saat kelahirannya. Aldo memegang luka di pelipis Diron, “aku tidak tahu harus mulai dari mana untuk bertanya,” suara tersenyum keluar seraya air mata masih mengalir.

Diron menarik kembali Aldo dalam pelukannya. Mereka sadar betul makna kata kehilangan, dan diketemukan lagi oleh waktu. “I miss you too, Brother. Sebaiknya kita duduk dan—” katanya terhenti. Dia melepaskan pelukan dan seperti mencari-cari sesuatu, “Apa kalian punya rokok?” sambungnya.

Aku terkekeh, “hey, of course we’ve got that.” Aku masih terhanyut dengan kehangatan ini. “Kau yakin mau mengubah kamarmu menjadi smoking area?” tanyaku.

“Tidak, di kamarku saja,” Aldo-lah yang menjawab. Dia melindungi kembarannya dari bahaya rokok pasif. “Ayo, kita pindah ke kamarku!” seru Aldo.

Kami segera berhamburan, berlari secepat mungkin menuju lantai dua. Sepersekian detik kemudian, kami sudah berada di kamar Aldo dan langsung saja membuka jendela kamarnya. Hujan masih turun tiada henti, angin berhamburan masuk ke dalam kamar. Mengubah sirkulasi udara, ada yang masuk dan menggantikannya.

Secara bersamaan, kami membakar rokok dan menghembuskan ke langit-langit. “Man, aku senang kau kembali, Diron.” Aku menggenggam bahunya.

Diron tersenyum kepadaku, “tentu, sebuah keajaiban terjadi kepadaku. Sepertinya itu berkat dirimu.”

“Mungkin kau bisa bercerita,” tanya Aldo penasaran.

Lihat selengkapnya