Lovers in an ordinary
Hidup memang penuh dengan misteri. Terkadang kita memikirkan hal yang sederhana, namun semesta memberikan hal yang luar biasa. Tak perlu berpangku tangan untuk menunggu keinginanmu tercapai. Serahkan lah, ada sebuah rencana besar yang akan datang. Menunggumu di ujung jalan, bahkan tidak sempat terpikirkan olehmu. Misteri itu sudah tertuliskan di atas awan sana. Melayang, dan hanya menunggu waktu yang tepat, dia akan turun. Tugasmu? Berharaplah dan bermimpilah. Selama itu tidak menyakitkan banyak pihak, jangan takut untuk berharap.
Aku, adalah sebuah harapan yang sepertinya terjawab detik ini. Harapanku untuk keluar dari ruang hampa, terjawab sudah. Sejenak aku berfikir, apakah kesempatan kedua ini untuk menemukan dia? Seseorang yang sejiwa denganku, yang sempat saling berharap untuk diberikan kesempatan kedua, dan diberikan begitu saja. Dunia ini penuh dengan harapan, begitulah cara gendang dibunyikan dan menciptakan melodi indah dari harapan manusia yang saling berinteraksi.
Aku masih ingin waktu berhenti, berharap detik ini untuk selamanya. Dia, dia yang menghentikan waktuku. Bukan aku yang mencoba untuk menghentikannya, walaupun ada upayaku untuk melakukan itu. Detik demi detik terlewati tanpa mengetahui kapan akan berakhir. Dia masih terbenam dalam dekapanku. Angin berhenti berhembus dari berbagai arah, interaksi alam pun juga berhenti. Kali ini aku bersyukur menemukannya terlebih dahulu tanpa menerima konsekuensi yang tak ku inginkan.
Ada sesuatu yang dalam mengalir dalam setiap mili darahku. Memompa ke seluruh tubuhku, menghayati setiap alirannya. Seperti sebuah keinginan konkret agar semua tidak akan berjalan sebagaimana semestinya. Degup jantungku mulai tidak terasa, ada kehangatan yang menjadi-jadi. Kehangatan itu terbenam dalam dekapan mahluk bumi lainnya. Kenapa semua terjadi di waktu yang tidak tepat? Atau ini waktu yang tepat dan aku tidak menyadarinya? Inikah rencana semesta?
Waktu kembali berjalan. Dedaunan yang sempat menggantung mulai berguguran, terhempas terbawa angin. Wangi itu mulai memancar kembali, seraya dekapanku mulai melonggar. “Sudah-sudah,” kataku seraya menyeka air matanya yang masih mengalir.
“Kenapa hidup terasa berat?” isaknya.
“Hidup tidak akan terasa berat jika kau menjalaninya dengan bersyukur. Apa kau tahu? Aku sangat ketakutan untuk menginjakkan kakiku lagi ke hutan ini,” kataku sambil tersenyum tipis.
Rayya membalas senyumanku, “aku tahu. Bahkan Pak Arya pasti kaget melihat keberadaanmu disini.”
“Kau sudah menolongku, Rayya.”
“Aku tidak melakukan apa-apa, Go. Kau lah yang menolong dirimu sendiri. Berat, memang berat. Aku tidak ingin rasa itu hilang, aku membutuhkannya sebagai pengingat.”
“Kenapa kau tidak menceritakannya kepadaku?”
“Kau tidak bertanya,” katanya ringan.
Aku tahu dia akan menjawab itu. “Memang betul aku tidak menanyakan. Setidaknya aku mengetahui latar belakangmu mulai menggangguku.”
Dia memukul pergelangan tanganku, “aku sama sekali tidak ada niatan untuk mengganggumu sedari awal. Hanya saja itu benar, jika aku diganggu oleh seseorang dan hanya ada dirimu saat itu. Apa memang semesta sudah mentakdirkan seperti itu?”
“Entahlah, apapun itu, aku mulai bersyukur dengan kejadian itu,” kataku sambil tersenyum tipis.
Dia pun ikut tersenyum.
“Aku suka senyumanmu Rayya.”
Dia kembali tersenyum, kali ini senyumannya terlihat tulus. “Aku boleh mengatakan sesuatu?”
“Silahkan.”
“Aku minta maaf sebelumnya. Aku yang menempelkan poster itu, mengenai proyek sosialmu,” katanya hampir berbisik.
Aku tersenyum kepadanya, entah apa yang terjadi, tidak ada rasa marah atau membeci terhadapnya. “Tidak apa-apa, lain kali setidaknya kau memberitahuku.”
Dia mengangguk, “mengenai anak-anak itu? Katamu mereka sama sepertimu.”
“Kau cukup penasaran dengan kehidupan orang,” kataku tersenyum lagi. Sudah berapa kali aku tersenyum menatapnya. “Betul, mereka sama sepertiku. Mungkin sama sepertimu juga Rayya. Mereka paham betul makna kehilangan. Ada yang ditelantarkan oleh orang tuanya, ada yang yatim piatu karena kedua orang tuanya meninggal, ada yang tengah berjuang untuk bertahan hidup karena alasan ekonomi dan masih banyak lagi alasan mereka hadir di kehidupanku.”
Rayya menatapku begitu lekat. Aku suka sekali matanya, menyiratkan ribuan cerita yang siap ku tampung dalam benak ini.
“Aku hadir di antara mereka, selain menyibukkanku dalam proses melupakan memori buruk itu, aku juga senang berada disana. Mereka mencerminkan diriku ketika aku kehilangan arah, dan ada cahaya yang menuntutnku. Aku mau menjadi cahaya bagi mereka, itu mengapa aku tidak menemukan cahaya untukku sendiri. Dan—“ Aku menyeka beberapa helai rambutnya yang jatuh di antara wajahnya, “kau hadir. Cahaya itu muncul dihadapanku saat ini. Kau menarikku dari ruang hampa, Rayya.”
Dia tertegun, mungkin terkaget karena kalimat yang kulontarkan teramat panjang. Aku memang jarang sekali menjelaskan kehidupanku kepada orang lain, bahkan ke Aldo dan Paman sekalipun. Namun kali ini, tembok itu sudah roboh. Gading putih itu tidak lagi retak.