Malam terasa dingin hari ini. Kota Bogor berangsur menyepi ditelan oleh waktu yang mulai intens. Lalu lintas di jalan utama sudah mulai lengang, hanya diselimuti oleh kabut yang sudah turun sedari tadi. Pekatnya malam ini menandakan bahwa Kota Bogor akan turun hujan. Itulah sebutannya, Kota Bogor dijuluki kota hujan. Tetapi perjalananku kali ini tidak ditemani oleh hujan. Aku bersyukur untuk hari ini karena tidak hujan. Melewati jalanan menuju rumah Paman sungguh memberikanku terpaan memori. Aku cukup sensitif akan hal ini, seperti langit yang berjanji untuk menerangi isi bumi.
Perjalanan menuju rumah Paman terasa jauh, mungkin dikarenakan pekatnya malam dan kabut yang mulai turun. Lampu-lampu jalanan tidak cukup untuk memecah rimbunan pohonyang rapat. Aku hanya mengandalkan lampu motorku dan lampu mobil yang searah dengan jalurku. Teramat sepi jalanan ini, hingga masih saja terdengar suara-suara mahluk Tuhan lainnya di antar rapatnya pepohonan di sisi jalan. Aku melihat kaca spion dan tidak ada sumber pencahayaan dari kendaraan lain,menandakan sepinya jalanan ini. Pikiranku berkecamuk, antara mulai dihempaskanmemori masa lalu dan pekatnya malam yang mulai menakutkan.
Tidak lama kemudian, aku melihat sebuah cahaya muncul di antara rimbunan pepohonan. Cahaya berwarna putih tersebut seperti mengikutiku. Aku langsung menambah laju kecepatan motorku. Berharap tidak akan terjadi sesuatu pada diriku saat itu. Cahaya itu seperti sebuah kamuflase bentuk rusa dengan tanduk yang sangat kokoh. Kecepatan larinya sungguh dapat mengimbangi lajur kecepatan motorku. Apa yang harus kulakukan saat ini?, pikirku cepat.
Tidak ada seorangpun, tidak ada tanda kehidupan, tidak ada siapapun yang dapat membantuku saat ini dan yang pastinya aku hanya sendiri melawan rasa ketakutan ini. Deru angin semakin kencang seakan menampar setiap senti wajahku. Aku masih memacu motorku di kecepatan tinggi dan cahaya itu juga masih mengimbangi laju motorku. Tiba-tiba, cahaya berbentuk rusa jantan tersebut berbelok menuju kearahku. Aku dapat melihat dari sudut mataku, berbelok cepat seolah ingin menghantamku.
Semakin dekat, semakin mendekat dan—
Ciiittttttttt.
Aku langsung mengambil keputusan untuk mengerem motorku. Suara karet ban yang bergesekan dengan aspal memecah kerumunan angin. Suara tersebut menggema hingga malam tidak lagi sepekat dalam benakku. Aku langsung membawa motorku ke pinggir jalanan yang masih saja sesepi itu. Tidak ada cahaya putih, tidak lagi ada cahaya yang menyerupai rusa jantan tersebut. Seperti menghilang ditelan kabut, atau menghilang setelah mendengar suara itu. Entahlah, apapun yang terjadi, aku bersyukur tidak terjadi apa-apa padaku.
Cahaya itu masuk. Cahaya itu masuk ke dalam tubuhku. Cahaya itu mengalir, mengalir seperti air di Sungai Kuantan. Merasuki tubuhku, aku dapat melihat itu. Aku juga dapat merasakan cahaya putih menjalar disetiap guratan nadiku. Memenjarakan nafas di antara relung jantungku. Tertelan oleh malam yang masih pekat, aku menghempaskan tubuhku ke atas tanah. Tubuhku terasa panas, seperti di bakar dari dalam. Deru angin semakin kencang. Aku dapat mendengar suara jangkrik sangat kencang mengalun memecah malam. Suara semut sedang berjalan beriringan mencari makanan. Suara daun Pinus saling bergesekan karena diterpa oleh angin yang semakin kencang. Suara langit, suara langit, betul suara langit yang saling bergesekan. Entah aku mendapatkan diksi dari mana, tetapi hanya itu yang dapat aku gambarkan.
Aku masih terkapar di atas tanah. Semua terasa gelap. Cahaya tersebut berangsur sirna ditelan oleh waktu. Rasa panas tersebut berangsur menghilang. Aku hanya tergeletak di atas tanah. Gelap, semua terasa gelap!
Aku tidak sadarkan diri.
***
Where all the wild ones are born,
And heaven stretches on and on
We run free we run strong,