RUANG HAMPA

Fadly Achmad
Chapter #5

BAB V Burn Part II

Coba dengarkan, semesta bicara tanpa bersuara, semesta juga kadang buta aksara. Meminjam lirik dari Banda Neira, sangat mengajarkanku bahwa kadang semesta memberikan kejutan dengan caranya sendiri. Manusia tidak perlu menerka akan rencananya, hanya perlu berserah diri atas semua kejutan yang diberikan. Semesta tidak akan berbohong.

Aku bersandar di salah satu sudut kamarku, memilah dan memilih buku mana yang tepat untuk menjadi bahan kajianku esok. Pak Freddy menugaskanku untuk mengerjakan salah satu bagian kecil risetnya, sebagai pengganti beberapa tugas yang terlewatkan pasca kejadian itu. Siang di sabtu ini cukup cerah, hanya ada awan cumulonimbus menggantung dan terkadang menutupi matahari. Alhasil menimbulkan bayangan besar dan redup menyelimuti sebagian pepohonan. Buatku, percakapan semesta tidak akan usai, hingga mendapatkan jawaban atas kejadian aneh itu.

“Go, kemari!” Suara Pamanku memecahkan keheningan sejenak. Aku belum berbicara dengan Pamanku pasca kejadian itu, karena disibukkan dengan beberapa tugas kampus yang sangat menumpuk. Aku harus membagi waktu dengan baik dan benar, serta menekan memori buruk yang terkadang masih saja muncul tiba-tiba.

Aku tidak langsung menyahut seruan Pamanku. Pada dasarnya, Pamanku adalah orang baik dengan caranya yang cukup unik. Hingga saat ini aku masih berusaha untuk memahami cara uniknya itu. “Iya,” sahutku singkat sambil menuruni tangga.

“Cepat,” teriaknya lagi.

Sepersekain detik kemudian, aku muncul di hadapannya yang tengah bersender di kursi malasnya dan menggenggam kopi panasnya. “Ada apa Paman?” tanyaku.

“Duduk!” perintahnya lagi. “Kita harus bicara,” lanjutnya sambil meneguk kopi panasnya.

“Apa yang ada di atas meja itu?” dia menunjuk tepat di atas meja depan televisi.

Aku menoleh ke arah yang ditunjuk olehnya, “sebuah buku,” jawabku singkat.

“Kau benar dapat melihat itu?”

“Apa sebenarnya arah pembicaraan kita Paman?” tanyaku balik.

“Coba ambilkan buku itu dan berikan kepadaku!”

“Apa Paman memanggilku hanya untuk menyuruhku mengambil buku itu yang sebenarnya bisa Paman kerjakan sendiri,” jelasku.

“Ambilkan!”

Aku hanya diam terpaku, berusaha menegarkan diri untuk mengambil langkah menuju letak buku itu berada. Aku mengambilnya dan langsung ku berikan ke Paman.

Dia langsung mengambil buku itu dengan tangan kirinya. “Apa kau ingat pagi itu ketika Paman menanyakan ada sesuatu digenggamanku?”

Aku memutar kedua bola mataku, berusaha untuk mengingat pagi itu yang dimaksud oleh Paman. Memoriku tidak akan melupakan sesuatu yang cukup aneh, termasuk pagi itu. “Tentu aku ingat,” jawabku.

“Ini adalah benda yang Paman pegang di pagi itu. Waktu itu kau belum dapat melihatnya, dan sekarang kau bisa melihatnya bahkan mengambilkannya untuk Paman.”

Aku cukup tertegun. Aneh, pikirku. Sepersekian detik kemudian aku memicingkan mata berusaha untuk memahami maksud Pamanku.

“Ini buku milik kedua orang tuamu, ambillah!” perintahnya seraya menjulurkan buku itu ke arahku. Suaranya teramat parau. Seperti menahan untuk mengatakan sesuatu.

Aku langsung mengambil buku itu dan menimangnya. “Baiklah, aku nanti coba lihat isinya. Aku harus kembali ke kamarku, ada beberapa tugas yang harus aku selesaikan hari ini.”

“Lanjutkan, Go. Apa yang dikatakan ibumu, kau harus percaya itu,” katanya sangat percaya diri.

“Memang Paman mengetahui apa yang dikatakan ibuku?”

“Paman selalu tahu.”

Aku tidak membalas ucapan Paman dan langsung saja berbalik badan, kembali ke kamarku yang berada di lantai 2. Aku memegang erat buku peninggalan orang tuaku, cukup berat dan teramat lusuh. Aku tidak mencoba langsung membukanya, karena ada tanggung jawab yang perlu ku selesaikan.

Sore ini sudah menggantikan siang yang cepat tergantikan. Tidak merusak tatanan waktu, hanya saja perlu menyesuaikan kapan dan dimana kita harus bertindak. Disini, diam tanpa berkata atau berkata dalam keheningan. Ruang itu selalu saja muncul. Ruang yang selalu saja memenjarakan hati dan pikiran. Sebuah memori berhembus keluar dari pikiran dan membuat merana jadinya. Aku hanya duduk di jendela, memandang ke luar sana. Mencoba untuk menemukan sebuah distraksi pikiran agar keluar dari ruangan itu. Ruangan yang jauh dari kata menyenangkan, ruangan yang memenjarakan hidupku dan ruangan yang selalu saja datang begitu saja.

Lihat selengkapnya