RUANG HAMPA

Fadly Achmad
Chapter #8

BAB VIII Fall Together Part II

Kami berkendara dalam diam. Hanya membiarkan sudut angin menghempas setiap senti tubuhku. Minggu pagi ini sungguh cerah, seakan semesta tengah mendukung kegiatan kami hari ini. Aku tersadar bahwa perlahan-lahan rasa itu mulai mendominasi. Tidak untuk mengencangkan urat dan nadi, tetapi cukup melelahkan untuk menyadarinya. Aku tidak hanya terperosok dalam kegelapan, tetapi juga terjebak dalam ruang hampa. Ruang yang kuciptakan sendiri setelah rasa kehilangan itu mendominasi. Aku terjebak bertahun-tahun, mungkin hingga detik ini.

Jalanan Kota Bogor di minggu hari ini cukup ramai. Tidak menutup kemungkinan para masyarakat sini sedang berolah raga. Pemerintah setempat memberlakukan wilayah bebas kendaraan, dimana tidak ada kendaraan bermotor di wilayah tertentu. Sehingga kami mengambil jalan cukup memutar untuk menuju lokasi kolong jembatan tersebut. Aku berbelok ke salah satu gang yang cukup sempit, bahkan hanya satu motor saja yang dapat melintas. Tidak lama kemudian, kami sampai di kolong jembatan. Lokasi sangat terpencil dan masuk, bahkan sedikit orang menyadari disini hidup mahluk Tuhan yang memiliki masa depan.

“Kak AGOOOOO.” Sebuah teriakan memecah kerumunan yang mulai ramai. Aku dan Aldo memarkirkan motor kami di salah satu tempat parkir balai warga. Atau lebih cocok disebut dengan sebuah lapangan dengan gedung berdindingkan triplek yang mulai reot dimakan oleh waktu dan hujan.

Anak-anak sudah berkumpul di lapangan dengan kegiatannya masing-masing. Meminjam lirik Lagu Perjalanan oleh Sisir Tanah, ada bahagia, tetapi tidak bahagia. Aku paham betul bahwa kebahagian itu hanya masalah persepsi, disinilah aku menemukan kebahagian itu. Persepsiku berubah ketika bertemu dengan anak-anak disini. Aku percaya, salah satu dari mereka akan menjadi pemimpin dan pemimpi yang indah.

Aku menebarkan senyuman seraya anak-anak berlari ke arahku. Ada yang memeluk kakiku, ada yang menggenggam tanganku dan ada juga yang berteriak-teriak karena antusiasnya yang tinggi. Aku selalu senang dengan momen seperti ini. “Hey, apa kabar kalian?” tanyaku secara menyeluruh.

“Kak Ago kemana saja?”

“Aku kemarin baca buku ini Kak Ago.”

“Kak Ago kita main itu yuk.”

“Kak Ago, datang sama siapa?” kata salah satu anak sambil menunjuk ke arah Rayya dan Aldo.

“Kenalkan, ini teman Kak Ago. Namanya Kak Rayya dan Kak Aldo,” jawabku.

“Halo, nama kakak, Kak Rayya,” ucap Rayya seraya tersenyum dan melambaikan tangan ke arah kerumunan.

“Kalau aku, Kak Aldo.” Aldo memperkenalkan diri. Dia menjongkok dan dihampiri salah satu anak. Aldo tiba-tiba mengusap rambutnya seperti memberikan kasih sayang. Padahal ini kali pertama mereka berada disini.

Aku mempersilahkan mereka untuk berada di sampingku. “Kak Aldo dan Kak Rayya akan membantu Kak Ago hari ini. Boleh tidak?” tanyaku kepada anak-anak. Aku sudah menganggap mereka seperti adikku sendiri.

“Boleh, Kak Ago.” Mereka berseru secara bersaman.

Aku menatap Aldo, dia terheran-heran. “Kau seperti orang yang berbeda disini.” Aldo mengucap seperti membisik.

Aku hanya tersenyum simpul.

Lihat selengkapnya