RUANG HAMPA

Fadly Achmad
Chapter #10

BAB X Alive Part II

Malam semakin pekat. Perlahan-lahan, kabut mulai menggeliat dalam sepersekian detik. Menarilah-menarilah denganku, lagu Fourtwnty tiba-tiba saja muncul dalam benakku. Aku merasa hidup. Ada sebuah kesepakatan gencatan senjata di dalam relung jiwaku. Tidak untuk didebatkan, hanya mendiskusikan bahwa hari ini adalah benar adanya. Kenyataan perlu ditenangkan tanpa perlu diminta. Mahluk Tuhan lainnya juga seakan mendukung atas pikiranku. Mereka merundung dihempaskan rimbunan hutan Pinus yang terus saja memainkan melodinya.

Aku kembali tersadar, bahwa wujud nyata dari kehilangan adalah tersurat dalam pikiranku. Aku yang menciptakan ruang tersebut, aku juga yang terjerat oleh perangkap yang aku ciptakan sendiri. Aku terlalu nyaman dengan zona ini. Aku terdiam, kembali terpaku dalam ribuan aksara.

Minggu malam, terasa menyenangkan. Sepertinya aku harus mengucapkan terima kasih kepada Aldo atas bantuannya. Bukan hanya membantu dalam kegiatan proyek sosialku, juga membuat memori baru dalam benakku. Aku duduk di ambang jendela, sudah masuk tengah malam. Aku menatap keluar, mencari jawaban dan terus mencari.

Aku menengok ke atas meja belajarku. Buku itu kembali memanggilku berkali-kali. Mungkin sudah saatnya, batinku bergumam. Langsung saja aku mengambil buku itu dan membawanya ke ambang jendela. Aku mengusap punggung buku ini, ada beberapa bagiannya yang terbakar. Aku menatap lekat sampul buku, tertulis kedua nama orang tuaku. Ada bagian yang mulai pudar di makan oleh api dan juga waktu. Bukan jadi masalah.

Perlahan aku membuka buku. Sebuah daya tarik magis, kasat mata menarikku ke dalam buku. Aku menatap lekat setiap halaman, membalikkan halaman demi halaman. Mencoba memahami apa isi dari buku ini, kenapa Paman memberitahuku jika aku baru saja dapat melihat buku ini. Ada sesuatu yang di rahasiakan oleh buku ini, yang mungkin tidak boleh di ketahui khalayak umum.

Aku memicingkan mata, terjerat masuk ke dalam buku ini. Seperti sebuah lubang hitam terbentuk dalam bayangan imajinasi. Aku tersedot, terhempas kesana-kemari, entah sampai kapan ini akan berhenti. Aku diam terpaku, terperangkap dalam lubang hitam ini. Tercipta saja seketika. Semua barang-barang di kamarku terbang melayang, seperti ada yang memerintahkannya untuk melayang. Buku-buku, kertas-kertas dan juga pigura foto yang tergantung melayang di antara ruang kosong.

Seketika, aku langsung menutup buku ini dan melemparkannya ke bawah kasur. Aku menatap kesekeliling, seperti tidak terjadi apa-apa. Angin masih memenuhi kamarku dan suara hutan juga deras menerjang sangat indah. Tidak ada buku-buku yang melayang. Tidak ada kertas-kertas yang berhamburan. Tidak ada yang terjadi. Apa yang terjadi? Apa yang terjadi? Batinku berteriak karena ketakutan. Apa yang barusan saja terjadi disini? Aku langsung berhambur ke atas tempat tidurku. Menarik selimut dan bersembunyi di dalamnya. Mom, Pops, apa yang kau lakukan dengan buku ini?

***

Pagi datang dengan begitu cepatnya, aku langsung saja bangkit dari tempat tidurku. Mencoba untuk mengumpulkan sisa nyawa dan memutar kembali rekaman dalam pikiranku tentang apa yang terjadi tadi malam. Aku mencoba kabur dalam pikiranku, dan memulai kembali di pagi hariku yang seperti biasa. Aku masih berjuang untuk menjadi biasa, aku tidak mau menjadi yang luar biasa. Aku tidak memahami apa maksud dari semesta. Terkadang, aku hanya lelah untuk selalu mempertanyakan, tetapi aku tidak akan tinggal diam untuk mencari jawaban yang sulit untuk ku jawab.

Pagi, iya aku juga menyukai pagi. Tidak terasa, jika pagi sudah memecah angkasa dan pepohonan di luar sana. Menyibukkan mahluk Tuhan lainnya untuk mulai melakukan kegiatannya. Sedangkan aku? Aku masih tersungkur dalam selimut. Aku memutar pikiranku, untuk mencerna secara empiris mengenai apa yang terjadi tadi malam. Rimbunan nirwana memecahkan reruntuhan dalam relung jiwaku. Tidak terjawab, maupun tidak terjadi dalam angan saja.

Selasa, ada pepatah bahwa jangan memulai atau memutuskan di hari selasa. Entah ide itu datang dari mana, tetapi aku sepemahaman. Karena 8 Agustus 2017 adalah hari selasa. Dimana ide itu datang, ide untuk berkemah di kaki Gunung Batu. Dimana aku juga berulang tahun. Yasudahlah!

Aku bangkit dari tempat tidurku, bukan untuk berdebat dalam pikiran tetapi pengalihan dan distraksi yang sengaja ku buat. Tak lama kemudian, ponselku berdering. Nomer yang tidak ku kenal.

“Hey.” Sebuah suara sapaan di pagi hari. Aku kebingungan untuk menjawab sapaan tersebut. Mengingat ini adalah pagi hari, dan cukup jarang ada orang yang menelponku pagi hari, bahkan Aldo sekalipun. Dia juga tidak akan bangun sepagi ini, mahluk nocturnal.

“Ya.”

“Apa kau baik-baik saja?”

Suaranya seorang wanita, begitu indah untuk mengawali pagi ini. Aku tersenyum tipis, darimana datangnya senyuman ini. “Maaf, dengan siapa? Apa salah sambung?” tanyaku lirih.

Lihat selengkapnya