RUANG HAMPA

Fadly Achmad
Chapter #12

BAB XII Riverina Part II

Hujan masih saja menggenang di antara awan yang sangat gelap. Hujan memang menjadi cara semesta untuk menurunkan egonya, dan membasahi bumi dari kehampaan. Hujan bagiku adalah sebuah rencana Tuhan saat aku sedang meminta pertolongan. Kala itu, hujan mengguyur kaki Gunung Batu. Aku sudah terkurung dalam gua selama 2 hari. Tidak ada air dan juga tidak ada makanan sama sekali. Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana lagi. Dalam kegelapan aku hanya meminta hujan. Aku berdoa untuk hujan yang turun di antara kehampaan gua ini. Tak lama kemudian, hujan turun dan merembes masuk ke dalam gua. Aku langsung saja menampung air hujan sebagai pertolongan pertama dikala kehausan nantinya.      

Segelintir kenangan itu masih bersemayam di dalam sana. Sulit bagiku untuk melupakan, atau bahkan berdamai dengannya. Sulit sekali!

Aku dan Aldo tiba di kampus. Sudah menjelang siang dan hujan masih saja mengguyur dengan derasnya. Kami keluar dari mobil dan berlari kecil ke arah koridor Gedung Utama. Kelas kami sekarang diadakan di lantai 3 gedung utama. Tidak banyak mahasiswa lalu Lalang karena sebenarnya jam kelas sudah dimulai, menandakan jikalau kami sudah terlambat. Kami langsung saja berlarian menuju kelas Pak Liam, berharap tidak diusir dari kelasnya.

Sesampainya di kelas Pak Liam, aku langsung mengetuk dan meminta izin bergabung di kelasnya. Mungkin hari ini mood Pak Liam lagi baik, dan langsung saja dia mempersilahkan kami untuk bergabung dengan kelasnya. Aku dan Aldo masih diam, tidak berkata sedari meninggalkan rumahnya.

Kelas berjalan begitu cepat, aku sadar pikiranku sedang tidak ada di dalam ruangan ini. Aku menyadari betul itu. Begitupula juga Aldo. Dia hanya menatap jendela luar, menanti sebuah jawaban atas pertanyaan yang bersemayam di dalam benaknya. Aku hanya duduk dan memperhatikan Pak Liam memaparkan persentasinya. Kosong, ruang itu kembali muncul. Ruang hampa itu menggenang dalam jiwa dan batinku. Menyerang disetiap tariakan nafasku. Sungguh memilukan.

Oke, jangan lupa untuk mengirimkan tugas hari ini ke email saya. Jangan sampai telat.” Pak Liam menyudahi kelasnya dengan memberikan tugas mengenai hasil diskusi perdebatan semiotik saat perdebatan antara Keneddy dan Nixon. “Dan untuk kalian, jangan sampai terlambat lagi pekan depan, atau saya akan memberikan kalian nilai C.” Pak Liam menatap aku dan Aldo seraya melewati di hadapannya.

Basiclly, aku bukanlah orang yang suka terlambat ataupun menjadi center of attention dalam sebuah lingkungan. Kalian sudah tahu itu. Untuk hari ini, ada sebuah pengecualian.

Aku mengambil ponsel dari saku jeans dan segera membalas pesan singkat Rayya. Sudah saatnya aku melibatkannya, atau aku harus menunggu waktu yang tepat. Lagi-lagi aku menyalahkan waktu yang tidak sepatutunya disalahkan. Salahkah aku menuntut waktu yang berputar begitu egoisnya, tanpa memberikan sebuah kisi-kisi ke depannya.

Kami menyusuri Lorong lantai 3 dengan tanpa tujuan. Inilah sebuah titik nadir bagiku, karena tidak ada rencana yang sekuens. “Sepertinya akau harus bertemu dengan Rayya terlebih dahulu. Apa kau mau ikut?” ajakku.

Aldo menengok ke arahku. “Sepertinya aku harus bertemu dengan Zara. Aku banyak sekali tidak menceritakan kepadanya. Dan dia sepertinya marah kepadaku.”

“Baiklah Man. Kabari aku saja jika kau sudah selesai. Aku paling berada di sekitar Gedung Utama.”

Aldo berjalan saja dan melambaikan tangannya ke arahku. Aku langsung saja membalikkan badan, berjalan menuju lab bahasa. Aku memberikan pesan singkat kepada Rayya untuk menemuiku di lab bahasa. Mungkin dia sudah berada disana, mengingatdia tidak ada kelas yang bersamaan dengan jam kelasku.

Hujan masih saja mengguyur, tidak berhenti walau hanya sesaat. Langit-langit masih gelap, bahkan setitik cahaya juga enggan masuk menerobos dari sela awan. Aku berjalan pelan menuju lab bahasa yang memang tidak jauh dari kelas Pak Liam. Sesampainya di depan lab bahasa, aku membuka dan Rayya sudah berada di dalam lab bahasa ini.

Aku hendak menutup pintu lab, tiba-tiba Rayya berhamburan memeluk tubuhku.

Deg!

Aku hanya diam mematung. Ada apa ini? Pikirku membuyarkan kehampaan sesaat. Aku dapat mendengar isak tangis Rayya dalam pelukanku. Reflek saja aku memeluknya balik, dia seakan membutuhkan bahu untuk bersandar. “Sudah, sudah.” Aku mencoba untuk menenangkannya, entah dia menerima kata-kataku atau tidak.

Rayya masih terbenam dalam pelukanku. Dia memelukku begitu erat, seakan dia tidak ingin melepaskanku. Tak lama kemudian dia melepaskan pelukannya. “Maaf,” katanya begitu lirih. Isak tangisnya sudah mulai reda. Dia menyeka air matanya yang jatuh di antara pipi merahnya.

Aku membuka tas dan mencari sapu tangan yang biasa aku bawa kemana-mana. Setelah menemukannya, aku langsung saja memberikan kepadannya. “Ini.” Aku mengulurkan tanganku, hendak memberikan sapu tangan ini.

Dia menerima sapu tanganku tanpa berkata-kata. Dia langsung saja mengelap air matanya perlahan-lahan. “Aku minta maaf sekali lagi. Aku benar-benar tidak tahu harus bercerita kepada siapa.”

“Iya tidak apa-apa,” jawabku sambil duduk di salah satu sudut ruangan ini.

Rayya mengikuti langkahku, hari ini dia mengenakan jaket kaus berwarna abu-abu, mungkin ini cukup cozy mengingat hari ini hujan tak kunjung berhenti. Rayya duduk di sampingku. “Apa aku boleh bercerita?” tanyanya kepadaku.

Dia meminta izini untuk bercerita. Sepertinya dia mulai memahamiku. “Silahkan,” jawabku. “Kau mau minum?” tawarku kepadanya.

Lihat selengkapnya