RUANG HAMPA

Fadly Achmad
Chapter #15

BAB XV Tombstone Part II

Duh, hujan tak kunjung berhenti. Rimbunan pepohonan menyisir relung hatiku saat ini. Tak ada juntrungan, rahasia demi rahasia bermunculan. Aku belum siap, aku masih tersandera oleh pikiranku sendiri. Perlahan meluruh, tetapi tidak kuketahui kapan akan berakhir. Mencoba untuk memahami and live like this, sulit memulai hal baru yang bahkan untuk hal yang tidak kau sukai. Untuk apa kau bersenyawa jika kau tak bermakna. Untuk apa kau diberikan waktu, jika waktu saja menyanderamu seperti tawanan.

Perjalananku menuju rumah sakit tidak membutuhkan waktu lama. Karena rumah sakit pemerintah itu tidak jauh dari kediaman Aldo. Sesampainya di rumah sakit, aku langsung berhamburan. Berlari kesana kemari, untuk mencari keberadaan Rayya. Aku masih dihantui oleh rasa kosong dalam relung jiwaku. Ada yang tegak, tetapi bukan tekad. Ada yang semangat, tetapi bukan jiwa.

Lantai tiga, semua dimulai di lantai tiga. Aku menemukan Rayya terduduk menyepi di depan salah satu bangsal rumah sakit. Tak banyak orang yang lalu lalang, memang ini bukan jam membesuk. Aku menghampirinya, melangkah perlahan, mencoba untuk tidak mengganggu dengan keberadaanku. Wangi itu kembali muncul, memang sang pemiliknya tengah berada di hadapanku.

Aku duduk di sampingnya. “Makanlah!” tawarku. Aku sempat membeli roti di perjalanan tadi.

Dia tidak langsung menerima roti yang ku tawarkan. Dia menundukkan kepalanya, mencoba mengumpulkan seluruh ketegaran hati untuk melakukan sesuatu. Tangisnya meleleh di antara wajah putihnya. Menangis dalam diam, sulit bagiku untuk memahaminya.

“Seharusnya kau tak perlu kesini,” ujarnya lirih. Dia tidak berani mengangkat wajahnya.

“Oke, aku pergi!” kataku.

Dia langsung menggapai tanganku, “jangan!”

Aku tersenyum. “Kau bilang aku tidak perlu kesini. Makanlah Ya!” perintahku.

Rayya bersandar di bangkunya. Menarik nafas dalam-dalam, “aku tidak nafsu untuk makan, Go. Kau tahu, aku tidak punya siapa-siapa selain ibuku. Dia membesarkanku seorang diri setelah kepergian ayahku.”

Pikiranku teramat kacau karena dipenuhi oleh perintah demi perintah untuk menyentuh bahunya. Kau tahu, titik lemah seorang wanita berada di bahunya. Itu sepemahamanku. Finally! Ada sebuah kehangatan mengalir di setiap interaksi tanganku dan pundaknya. Rasa itu tak pernah ada di setiap senti memoriku, ini hal baru. Pernah ada, itu juga melibatkan Rayya saat dia berhamburan memelukku di lab bahasa.

“Percayalah, semua akan baik-baik saja.”

“Terimakasih Go, kau sudah menyempatkan datang kesini. Aku, aku—”

“Sudah, tak usah kau akhiri kalimatmu. Istirahatlah sejenak.”

Lihat selengkapnya