Aku ada karena aku berfikir jika aku ada. Sebuah pepatah lama yang mengisyaratkan bahwa manusia adalah mahluk sempurna. Namun kesempurnaan itu juga pasti memiliki kelemahan. Kelemahan demi kelemahan yang bermunculan pasca pikiran ini mulai menggerogoti dan dipenuhi oleh kepentingan ego manusia. Tetapi, bagiku, aku ada karena Tuhan memberikanku waktu tambahan ketika aku enggan untuk memintanya kembali. Ada sebuah rahasia yang harus terpecahkan dengan adanya kehadiranku kembali di muka bumi. Aku pun tidak menahu rahasia apa yang perlu ku hadirkan.
Aku, masih menggenggam hati dan pikiranku seraya tamparan angin semakin kencang. Awan menggelap, angin begitu kencang, debu-debu berterbangan dan rintik hujan mulai turun. Aku mengendarai motorku tanpa tujuan. Aku mencoba untuk menghubungi Rayya, tidak ada jawaban. Aku menghubungi rumah sakit dan pihak rumah sakit memberitahukan jika mereka sudah keluar kemarin. Usahaku semakin menjadi ketika bayangan wajah Rayya bermunculan dalam benakku.
Aldo adalah orang pertama yang muncul dalam benakku untuk menanyakan keberadaan Rayya. Entah dia akan mengetahuinya, paling tidak dia bisa menghubungi Zara untuk bertanya. Itupun jika dia berkenan untuk menghubunginya. Namun, Aku tahu betul Aldo. Dia akan berusaha semampunya jika aku yang meminta, karena dia tahu aku jarang sekali meminta. Bahkan menabrak egonya sendiri, itu bukan jadi masalah baginya. Ponselku bergetar dalam saku jeansku. Aku langsung menepi untuk mengangkatnya.
“Ada kabar?” tanyaku langsung.
“Aku sudah menghubungi Zara, dia berhasil mengubungi Rayya. Dari suaranya, Rayya sangat ketakutan. Entah apa yang terjadi, Zara pun tidak mengetahuinya,” jelas Aldo dari ujung sana. “Dan setelah Zara menanyakan keberadaannya, dia mengatakan di salah satu kaki gunung di sekitaran Kota Bogor. Ketika Zara meminta penjelasan lebih, Rayya langsung mematikan ponselnya.”
“Apa aku harus menghubungi Rayya lagi?” tanyaku begitu kalut.
“Aku sudah menghubunginya beberapa kali dan hasilnya nihil. Ponselnya mati. Coba kau pikirkan tentang kaki gunung, itu mungkin bisa menjadi clue mu untuk mengetahui keberadaan Rayya.”
Aku berfikir keras. Kaki gunung mana yang menjadi sejarah bagi Rayya. “Aku sungguh tidak mengetahuinya.”
“Atau mungkin—“
Ide dari perkataannya muncul, “beritahu aku?” tanyaku menyambar.
“ini hanya spekulasiku, sempat Zara pernah bercerita mengenai Rayya. Aku tidak ingat betul apa yang diceritakannya, namun dia menyinggung tentang kaki Gunung Batu.”
Deg! Aku diam beribu bahasa. Tempat itu, terlalu banyak memori buruk.
“Apa kau tidak apa-apa, Man? Aku tahu kau tidak akan kesana, karena.. aku tidak mau mengungkit sejarahmu. Aku hanya spekulasi mengenai—“
“Tidak, aku akan kesana sekarang,” selaku.
“Apa kau yakin? Mau aku temani?”
“Tidak perlu.” Aku langsung memutuskan telpon dan bergegas menuju Gunung Batu.
Perjalanan menuju Gunung Batu memang memakan waktu. Mengingat jaraknya dari lokasi rumahku tidak dekat, dan bukan masalah bagiku. Aku menggunakan motor dan setidaknya dapat memangkas waktu perjalanan. Cukup bahaya sekali jika berkegiatan di kaki Gunung Batu ketika memasuki musim hujan. Karena sering sekali longsor batu dan juga jalan yang sangat licin.
Sudah 30 menit aku mengendarai motor dengan sangat cepat. Awan hitam masih menggantung di langit, tidak ada tanda-tanda akan menumpahkan hujan. Aku masih berusaha dan berharap bahwa tidak turun hujan untuk kali ini. Karena akan cukup menghambat perjakanannku menuju Gunung Batu. Sesekali aku mampir untuk mencoba kembali menghubungi Rayya, dan hasilnya tetapi nihil. Aku berbelok ke satu jalan pintas menuju kaki Gunung Batu. Suasana sudah cukup sepi karena ini musim hujan dan tidak ada kegiatan hiking dikala musim ini.
Ada sebuah bayangan semu mengikutiku sedari tadi. Bayangan itu adalah manifest pikiran ku yang begitu ketakutan. Aku begitu ketakutan tentang apa yang akan terjadi. Aku sudah memasuki kawasan kaki Gunung Batu. Mencari kesana kemari mengenai keberadaan Rayya. Apa yang dipikirkan olehnya untuk berada di daerah sini? Gerutuku kepadanya. Tidak ada tanda-tanda keberadaannya di sekitaran sini. Aku langsung saja menuju pusat informasi Gunung Batu.
Aku memarkirkan motorku, dan langsung menuju sebuah rumah tua yang dijalari oleh tumbuhan merambat. Hanya ada seorang penjaga hutan ini sedang duduk disalah satu bangku depan rumah tua itu.
“Permisi,” kataku dengan sopan.
Dia menoleh ke arahku. Seperti terusik dengan keberadaanku. “Apa yang kau lakukan disini? Kau kan harusnya mengetahui, tidak boleh ada orang disini di masa penghujan ini,” katanya ketus.