Tak membutuhkan waktu lama, karena Aldo yang membawa mobil ini. Dia membawa mobil seperti orang kesetanan. Kali ini, Diron menuntun kami ke tempat favorit mereka, berenda belakang. Selama perjalanan, kami disibukkan dengan pikiran masing-masing. Sedangkan Rayya hanya duduk di sebelahku, menggenggam pergelangan tangannya. Entah apa yang dipikirkan olehnya, tetapi aku tidak masalah dengan hal itu.
“Nanti aku akan membawakan minuman favorit kalian,” ujar Aldo. “Green tea latte dan hot capuchino, am I right?” katanya kepadaku dan Rayya.
Aku hanya mengangguk tawarannya karena memang aku menyukai green tea latte. Dan Rayya, benarkah dia menyukai hot capuchino? Bagaimana aku tidak mengetahui hal itu. Yasudahlah! Tidak, aku harus mengetahui hal-hal seperti itu.
“Aku akan membantu Doran,” kata Diron.
“Baiklah, aku dan Rayya akan tunggu disini.” Aku tersenyum ke arah mereka. Aku suka situasi seperti ini, dimana Aldo dan saudara kembarnya sudah kembali. Banyak hal yang berubah, mulai dari situasi Aldo yang semakin membaik, keberadaan Diron sungguh menjadi obat bagi saudara kembarnya sendiri.
Aku menatap Rayya, senja mulai temaram di ufuk khatulistiwa. Cahaya matahari memantul kesana-kemari, dan jelas saja berlabuh di atas kulitnya. Senja bagiku bukan lagi sebuah pengkhianatan, melainkan kesempurnaan ketika hadirnya seseorangan di hadapanku saat ini. Aku suka senyumnya, wanginya, rambutnya yang terurai, gaya pakaiannya, pemikirannya yang sangat luas, aku suka Rayya seutuhnya. Terdengar aneh, tetapi aku mensyukuri itu.
“Jadi, bagaimana menurutmu?” kata Rayya memecah keheningan sesaat.
Aku terdiam, memandang wajahnya begitu lekat. Kenapa, Tuhan membiarkan bidadari bermukim di bumi.
“Hey, apa yang sedang kau pikirkan?” sentak Rayya sambil memukul bahuku.
Lamunanku terbuyarkan dengan suaranya yang begitu indah. “Eh, maaf. Aku sedang berpikir,” kataku singkat.
“Apa yang sedang kau pikirkan?” tanyanya.
“Rayya.” Jawabanku yang teramat singkat itu, membuat matanya berbinar-binar.
“Kenapa kau memikirkan tentangku?”
“Iya, aku hanya berpikir, kenapa kau begitu cantik dan dipertemukan di akhir cerita.”
Dia menyeringai, bahkan memamerkan giginya yang putih. Angin menghembuskan rambut cokelatnya kesana-kemari. Aku menangkap, hembusan angin itu membantuku untuk selalu mengingat wanginya.
“Bisakah kita fokus ke agenda ini?” tanyanya membuyarkan pikiranku lagi dan lagi.
Betul, agenda pertemuan ini adalah membahas proyek sosialku. Bukan, ini sudah menjadi proyek sosial bersama. Melibatkan banyak orang, bahkan bukan orang-orang yang dekat denganku saja. Ada satu visi yang ingin ku capai, dan benar saja aku tidak bisa mengerjakannya sendirian. Bahkan dengan bantuan Aldo pun tidak akan selesai.
Tak lama kemudian, Aldo dan Diron bergabung dengan kami. Dia membawa beberapa gelas di atas nampan. “Ini, aku letakan di atas meja. Bagaimana? Ada perkembangan? Aku dan Diron sepakat untuk mengikuti kalian saja, karena aku sangat yakin pemikiran kalian luar biasa.”
Diron hanya tersenyum yang merupakan reaksi atas saudara kembarnya.