“Gue nggak ngerti harus gimana, El,” kata Salsa lesu. Sepulang latihan, ia berkunjung ke rumah Elisa untuk menuangkan keluh kesahnya.
“Hmm, masalah hati susah, sih!” jawab Elisa yang menyisir rambutnya.
“Sumpah ya, kalau boleh jujur, gue pengen banget bilang langsung sama orangnya.” Salsa membuka jilbab instannya karena gerah.
“Sayang, Sal, nyali lo kecil!” kata Elisa menohok. Tapi memang itu kenyataannya. Perempuan memiliki nyali kecil jika berhadapan dengan perasaan seperti ini.
“Sedih banget, ya, jadi gue,” lirih Salsa.
“Udah, jangan lemes gitu. Sana mandi, bau lo!” ucap Elisa. Salsa hanya bergeming. Ia mengambil handuk yang tadi diberikan oleh Elisa dan segera pergi ke kamar mandi.
Sementara itu, Elisa yang sudah memakai piyama segera memapankan tubuhnya di kasur. Tiba-tiba, seseorang mengetuk pintu kamarnya dan membukanya langsung.
“El,” kata seseorang itu. Elisa menatap tajam laki-laki yang berdiri di pintu kamar yang terbuka itu. Ia melempar bantal birunya ke arah wajah datar itu.
Buk!
“Shit! Sakit tahu!” pekik laki-laki itu saat bantal itu mengenai wajah gantengnya.
“SIAPA SURUH MASUK KAMAR GUA, HAH?!” teriak Elisa kesal. Dia bangkit dari tidurnya dan memakai jilbab instan yang tergantung di lemarinya.
“Dih, gitu aja marah! Lagian udah biasanya juga!”
“Biasa dari Hongkong! Sekarang udah beda, lo udah gede gue juga udah gede! Untung lo sepupu gua!” Elisa mencak-mencak tak karuan. Dulu, Raihan sering masuk kamarnya tanpa permisi. Namun, berbeda dengan sekarang yang mereka sama-sama sudah remaja. Elisa sudah memilik privasi sendiri, sama dengan Raihan.
“Lo ngapain, sih, malam-malam datang rumah orang!” tanya Elisa yang masih kesal
“Males aja di rumah!” balas Raihan sambil masuk ke dalam kamar dan merebahkan tubuhnya pada kasur bergambar frozen itu.
“WOY BAMBANG! NGAPAIN SIH!” teriak Elisa sambil menarik lengan Raihan untuk bangun dari tidurnya.
“Bentar aja, Ca, gue lagi capek ini!” kata Raihan pelan. Elisa menghela napas pelan, ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia dibuat bingung dengan sepupunya ini.
“Ca, ini jilbab siapa? Kayanya lo nggak punya yang kaya gini,” tanya Raihan saat melihat jilbab instan berwarna putih di sebelahnya.
Mata Elisa melebar, ia lupa jika Salsa sedang mandi dan jilbab itu masih di sana. “It-itu punya Salsa,” jawab Elisa lirih.
“Salsa? Dia di sini?” tanya Raihan yang langsung duduk.
Elisa mengangguk. “Dia lagi mandi,”
“Bagus, deh, nggak perlu nyamperin ke indekos gue.” Raihan membalikkan tubuhnya dan kembali berbaring. Elisa mengerutkan kening bingung, ada apa dengan sepupunya ini.
“Astagfirullah!” jerit Salsa saat membuka pintu kamar mandi. Sontak hal itu membuat Raihan dan Elisa menoleh ke sumber suara. Tapi, pintu kamar mandi kembali ditutup dari dalam.
“Aduh, Sal! Gue ambilin jilbab dulu,” kata Elisa yang langsung mengambil jilbab di lemari.
Salsa keluar kamar mandi memakai kaos dan celana putih bercorak bunga dan jilbab abu-abu instan. Salsa meletakkan handuk birunya di rak pengering. Dia menghampiri Elisa yang duduk di kursi belajarnya.
“Sal, maaf, ya. Raihan suka kaya jailangkung!” kata Elisa yang langsung dipelototi oleh Raihan.
“Gue bonekanya lo kayunya!” semprot Raihan.
“Enak aja! Nggak mau!”
“Bodoamat!”
“Mending lo pergi aja daripada ganggu cewek-cewek mau quality time,” kata Elisa yang berusaha sabar.
“Males. Di sini enak, anget!”
“Ish! Lo kenapa sih suka banget ganggu gue?”
“Gue nggak ganggu, lo aja yang sok keganggu.”
“Aahh, lo kok gitu, sih!” Elisa masih terus membujuk Raihan agar mau pergi.
“Gue telponin Satria, nih,” kata Raihan sambil mengangkat ponselnya pada telinga tanda telepon itu di angkat.
“Sat, di mana lo?”
“....”
“Gue di rumah Caca, lo ke sini deh.”
“...”
“Martabak manis rasa kacang, crepes coklat kacang, sama lemon tea.”
“...”
“Pastilah, itu semua Caca yang pesen.”
Elisa melotot saat Raihan meminjam namanya untuk memesan makanan pada Satria. “Sepupu laknat!” desis Elisa.