Malam ini tampak gelap, tak terlihat apa-apa selain bulan di tengah-tengah hamparan langit. Hitam, dingin, dan menenangkan. Desiran angin malam membuat jilbab coklat itu bergoyang perlahan, sangat lembut. Beriringan dengan langkah kecilnya menyusuri jalan dan ditemani isakan kecil dari bibir mungilnya.
Perlahan, langkahnya mulai terhenti. Kaki kecilnya tak mampu menopang tubuhnya lagi. Gadis itu terduduk di trotoar jalan. Kepalanya menunduk, tangannya meremas ujung seragam pramukanya.
“Salsa!” Suara berat seseorang memanggilnya dari belakang. Cowok itu mendekat dan segera membawanya dalam dekapannya. Dielusnya kepala berbalut jilbab coklat itu.
“Gue jahat, ya, Rai?” lirih Salsa disela-sela isakannya. Ia mecurahkan tangisnya dalam dekapan cowok itu. Tangan kecilnya mereman-remas seragam pramuka belakang milik Raihan. Dia juga memukul kecil punggung Raihan untuk pelampiasannya.
“Gue jahat! Gue jahat, Rai...”
“Shhtt... Tenang, Sal...” Raihan berbisik lembut pada Salsa. Ia berusaha menenangkan gadis itu.
Salsa melepas pelukannya, ia menatap Raihan lekat. “Gue jahat, kan, Rai?” tanyanya lagi.
Raihan menggeleng, tangannya beralih mengusap air mata di pipi gadis itu. “Jangan nangis,’’ ucap Raihan lembut. Bukannya berhenti menangis, Salsa malah semakin menjadi. Ia kembali memeluk erat Raihan.
“Bilang sama gue... gue jahat, Rai... Gue jahat sama Mama gue sendiri...” Raihan diam. Ia tak membalas karena gadis itu sedang butuh pelampiasan saat ini.
Tak lama kemudian, Salsa melepas pelukannya. Ia sedikit memberi jarak tubuhnya dengan cowok itu. Salsa mengusap air matanya dengan lengan kanannya.
“Gue nggak pa-pa, mending lo balik aja!” suruh Salsa dengan nada datarnya. Mendengar itu, Raihan menggeleng. Ia tidak akan meninggalkan gadis itu sendiri di tengah-tengah malam seperti ini.
“Kenapa, sih, Rai? Semua orang memberi perhatian tapi tidak pernah memberi kepastian. Perhatian tanpa kepastian itu sakit, Rai. Mama ngasih perhatian dengan kirim uang tiap bulan, tapi Mama nggak ngasih kepastian di mana dirinya! Mama nggak pernah temuin gue, sampai gue mikir kalau Mama itu ilusi semata!”
“Lo juga gitu, Rai! Lo selalu ada di samping gue. Gue nangis, lo juga yang nenangin. Gue tertawa, lo juga ada di sana. Tapi kenapa lo nggak kasih gue kepastian?!”
“Hati gue capek, Rai... Hidup tanpa sebuah kepastian itu sakit, Rai... Ini hati bukan jemuran yang bisa dianggurin lama-lama!”
Dengan gerakan cepat, Raihan kembali memeluk gadis itu. Raihan sendiri juga sedang dilema dengan hatinya. Egonya terlalu besar untuk mengakui perasaannya.
“Maaf, Sal... Maaf belum bisa jadi yang terbaik buat lo...” Salsa diam. Ia tak membalas pelukan Raihan. Ia kembali menangis dalam diam.
“Kenapa hidup gue sesulit ini, Rai...”
***
08.00 WIB
Lapangan utama sekolah sudah ramai dengan seluruh peserta persami dengan seragam olahraganya. Terdengar lagu senam ceria mengalun merdu di sound yang diduduki oleh dua cowok itu.
“Semangat semuaa!!” Fauzan berdiri di atas sound dengan berteriak menyemangati adik-adik.
“Cintaku bukan di atas kertas, cintaku getarannya sama. Tak perlu dipaksa, tak perlu dicari... Karena ku yakin tiada jawabnya...” Disusul suara Satria yang mulai bergoyang di samping Fauzan.
Semua peserta dan panitia ikut menikmati lagu yang sedang viral itu. Di atas panggung kayu, Nabilla dan Riska menjadi pemimpin senam untuk diikuti peserta di belakangnya.
“Mengapa mereka selalu bertanya...”
“Cintaku bukan di atas kertas, cintaku getarannya sama. Tak perlu dipaksa, tak perlu dicari... Karena kuyakin tiada jawabnya...”
Ditambah tingkah lucu Satria dan Fauzan yang membuat suasana pagi semakin ceria. Apalagi anak-anak kelas sepuluh yang satu frekuensi dengan Satria dan Fauzan juga ikut bernyanyi dengan suara falsnya. Suasana pagi ini semakin ricuh dengan lagu-lagu fenomenal yang mengalun bergantian.
“TARIIKK SISS...” teriak Satria saat lagu fenomenal itu terdengar mengalun merdu.
“SEMONGKOOO...” balas seluruh peserta senam pagi ini.
***
“Ayolah, Ma... masa Caca nggak ganti baju?” kata Elisa yang sedang bertelepon dengan ibunya di rumah. Semalam, setelah kejadian itu Elisa tidak pulang. Ia ikut menginap di sekolah menemani Salsa. Sedangkan Aira, ia harus pulang karena besok ada kegiatan di kampus.
“Iya, maaf. Lagipula di sini airnya banyak, kok,” kata Salsa yang berusaha membela diri dari ibunya itu.
“Tapi bau Mamam! Bajunya udah kena keringat ini.” Elisa tetap memberikan banyak alasan agar ibunya mau datang membawakan baju ganti untuknya. Sungguh memakai baju tidur memang nyaman, tetapi kalau sudah dipakai tidur rasanya ingin cepat-cepat ganti.
“Ya Allah, Mamam tega banget sama anaknya!”
“...”
“Iya bukan, sih. Tapi kan-“ Belum sempat membuat alasan lagi, ibunya sudah menceramahinya lagi. Dan setelah itu panggilan terputus sepihak. Elisa menjauhkan ponselnya dengan perasaan kesal. Kalau sudah seperti ini, habis sudah dirinya kalau pulang nanti.