“Lo tinggal jujur sama perasaan lo sendiri apa susahnya, sih?”
“Tanya hati lo kalau lo belum yakin.”
“Ngaca, Rai! Lo perlu bicara sama diri sendiri.”
“Jangan sampai keputusan lo menyakiti orang lain.”
Raihan terdiam. Ia masih berusaha mencerna semua wejangan yang muncul bergantian dari mulut sepupu dan sahabatnya. Otak dan hatinya sedang beradu argumen. Hal tersulit yang harus dilakukannya. Menyetarakan isi hati dan otak.
“Gue bingung,” kata Raihan pelan. Dua orang di depannya menatapnya dengan serius. Mereka menunggu kelanjutan ucapan Raihan.
“Gue nggak bisa milih,” ucap Raihan akhirnya. Ia masih ragu untuk mengakui yang sesungguhnya.
Elisa menghela napas panjang, ia mengangkat wajahnya menatap langit-langit kamar. Ia memejamkan mata, berusaha sabar dengan sepupunya itu.
“Mungkin, gue nggak pernah ada di posisi lo, Rai. Tapi lo cowok, lo harus punya keputusan. Jangan buat anak orang semakin berharap pada lo. Kalau suka satu ungkapin, tinggalkan satunya lagi. Kalau suka dua-duanya, pergi. Jangan beri ruang mereka.” Elisa mengungkapkannya dengan sangat tulus. Ia tidak mau sepupunya ini salah jalan. Ia juga tidak mau sahabatnya menjadi korban patah hati.
“Iya, Rai. Gue juga belum pernah kaya lo, tapi yang Elisa bilang ada benernya. Lo harus buat keputusan secepatnya,” tambah Satria. Ia menepuk bahu sahabatnya itu, berusaha menguatkan.
Elisa tahu sepupunya ini sedang tidak baik-baik saja. Mungkin fisiknya baik, tapi tidak dengan hatinya. Elisa mendekat, ia memeluk Raihan erat. Sudah lama ia tidak memeluk sepupunya itu. “Gue sayang sama lo. Gue tahu lo kuat, Rai.”
Satria juga ikut mendekat, ia memeluk Raihan dari samping agar tidak bertabrakan dengan Elisa. “Semangat, Bro!”
***
Salsa tidur sejak setelah salat maghrib. Mukenanya masih melekat utuh di tubuh mungilnya itu. Seorang gadis yang duduk di meja belajarnya itu menatap sendu ke arah Salsa.
“Lo gadis kuat, Sal,” lirihnya sambil menghapus bulir air mata yang menitik pada pipinya. Aira bangkit dari duduknya, ia mendekat ke arah Salsa.
Aira tak tega untuk membangunkan adiknya itu. sepulang dari sekolah tadi, Salsa sudah menceritakan kejadian yang membuat hatinya semakin sakit. Setelah insiden datangnya ibu kandungnya, ia dihadapkan dengan kenyataan pahit tentang kisah cintanya. Laki-laki yang selalu ia sebut dalam doa, ternyata bukan yang terbaik untuknya.
Aira mengelus puncak kepala Salsa dengan sayang. Dikecupnya pelan dahi Salsa dengan penuh kasih sayang. “Kakak sayang sama Salsa.”
21.00 WIB
Tok...tokk...tokk...
Suara pintu diketuk itu membuat pemilik kamar bangkit dari duduknya untuk membuka pintu. Aira membulatkan mata saat melihat siapa yang datang itu. Dengan gerakan cepat, Aira menutup pintu dari luar.
“Di mana anak saya?”
Aira menggeleng, ia tidak mau berdebat dengan orang tua itu lagi. “Saya tidak tahu.”
“Jangan berbohong! Saya mau membawa anak saya pulang. Katakan di mana Salsa?!” bentak Ilana. Aira meringis, suara lantang Ilana membuat beberapa penghuni kamar lain keluar dan menyaksikan mereka. Aira berusaha sabar menghadapi ibu adiknya yang seperti ini.
“Maaf, Tante, saya sudah bilang bukan, saya tidak tahu di mana anak Anda. Kalau memang Anda ibunya, harusnya Anda tahu di mana anak Anda.” Aira mengatakan itu dengan tegas.
“Nggak sopan, ya, kamu sama orang tua! Apa orang tua kamu nggak pernah ngajarin tata krama?!”
“Mungkin saya jauh dari orang tua. Tapi orang tua saya tidak pernah meninggalkan saya seperti Anda meninggalkan anak Anda!” Setelah mengatakan itu, Aira buru-buru masuk ke kamar dan mengunci pintu itu.
Ilana diam, ucapan Aira barusan membuat hatinya mencelos. Ucapan sindiran untuknya berhasil membuatnya sakit hati. Anton mengelus pundak istrinya halus, berusaha menenangkan. Ilana memejamkan matanya sejenak, mencoba menyadari kesalahannya selama ini. Kali ini gagal lagi. Besok ia akan datang dan mencoba lagi.
***
Tepat setelah suara pemimpin upacara membubarkan barisannya, seluruh siswa berdesak-desakan untuk pergi ke kantin. Beberapa dari mereka juga memilih kembali ke kelas untuk mendinginkan tubuhnya dengan AC kelas.
“Salsa bener nggak masuk? Apa jangan-jangan dia telat?” kata Felly saat mengecek absen pagi ini.
“Nggak mungkin telat, dia pilih bolos sekalian kalau telat,” sahut Kusnul yang duduk di sampingnya.
“Terus ini bolos juga?”
Kusnul mengangkat bahunya acuh, ia juga tidak tahu di mana keberadaan sahabatnya itu. “Coba chat dulu,” sarannya. Felly segera mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Salsa.
Salsa
Felly : Salsa, beneran lo nggak masuk?
Felly : Nggak ada surat juga?
Centang satu. Itu tanda bahwa Salsa sedang offline. Felly membaca last seen yang tertera di bawah namanya itu. Pantas saja, tidak ada kabar. Salsa mematikan ponselnya sejak kemarin sore.
“Tumben, ya, Salsa off dari kemarin,” kata Felly sambil meletakkan ponselnya di meja.