Mobil putih itu mulai memasuki gapura batas kota antara Trenggalek dan Tulungagung. Setelah menempuh hampir 24 jam di dalam kereta, dua gadis di dalam mobil itu sudah terlelap karena saking lelahnya. Tak lama kemudian, mobil itu memasuki pekarangan rumah nuansa putih yang asri. Banyak tanaman hijau yang tertata rapi di halamannya.
Dua gadis itu keluar dari mobil dengan wajah lesu. Mereka membantu sopir untuk mengeluarkan barang-barangnya di bagasi. Salsa juga membawa keluar bantal dan selimut yang sempat ia pakai di kereta semalam.
“Mari masuk dulu, Pak,” kata Aira sopan pada sopir yang mengangkat koper terakhir dari bagasi.
“Mboten usah, Mbak. Ngaputen, badhe nerusaken kerjo,” tolaknya dengan halus. Aira segera mengeluarkan uang untuk membayarnya karena sudah menjemput mereka di statsiun tadi.
“Yaudah, Mas, sekali lagi makasih.”
Tiba-tiba pintu putih lawas itu terbuka, menampilkan sosok perempuan paruh baya memakai daster kuning dan jilbab putihnya. Dari wajahnya, ia terlihat sangat terkejut sekaligus senang karena anknya sudah pulang.
“Assalamulaikum, Buk!” kata Aira sambil menyalaminya. Salsa juga menyusul di belakang Aira untuk bersalaman.
“Waalaikumsalam. Loh, ini siapa? Suwe ora eruh malih lali, iki,” kata Bu Fira—Ibu Aira.
“Hehehe, Salsa, Tante. Lama nggak ketemu sama Tante,” kata Salsa sambil tersenyum manis.
Fira memandang lekat gadis cantik itu. “Hoalah! Nduk Salsa, toh! Manggilnya Ibuk saja, biar sama kaya Aira.”
“Eh iya, Buk,” balas Salsa canggung.
“Ayo masuk-masuk, tak ewangi nggowo kene!” kata Fira sambil membantu mengangkat banyak koper yang mereka bawa.
Aira merasa sangat lega melihat Salsa kembali tersenyum berkat Ibunya. Sekarang ia yakin kalau Salsa akan merasa lebih baik di sini. Mendinginkan pikiran sebelum menghadapi kenyataan di sana nantinya.
***
“Bar ngene, gek podo adus. Bajunya Salsa dimasukkan ke lemari Aira saja. Biar mudah ngambilnya ‘kan?”
“Iya, Buk. Makasih banget udah ngizinin Salsa tinggal di sini sementara,” kata Salsa yang masih memegang sendoknya.
“Nduk... Kamu itu sudah Ibu anggap kaya anak Ibu sendiri. Jangan malu-malu kalau sama Ibu. Anggap Ibu seperti Ibumu sendiri, ya, Nduk...”
Fira mengatakan itu dengan tulus. Membuat Salsa sampai berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya, ia dapat merasakan kasih sayang dari seorang ibu lagi. Salsa mengangguk pelan, tanpa malu ia memeluk Fira dengan erat.
“Gue udah anggap lo kaya adik gue sendiri, Sal. Jadi, lo juga anggap kita kaya keluarga,” kata Aira sambil ikut memeluk ibunya dari samping.
***
Hebohnya video pertengkaran antara Salsa dan ibunya membuat seluruh siswa SMA Persatuan membicarakannya. Guru-guru juga sudah tahu tentang video itu. Namun, belum ada tindakan lebih dari mereka mengenai kejadian itu. Bu Alin selaku wali kelas sudah memberi tahu guru-guru untuk tidak memperbasar masalam pribadi muridnya. Bagaimana pun juga itu adalah privasi Salsa dan keluarganya.
Sementara itu Raihan, Satria, dan Fauzan yang sudah mendengar berita itu segera turun tangan. Mereka segera mengumpulkan seluruh panitia persami malam itu. Kini mereka sudah berkumpul di ruang ambalan dengan suasana yang sedikit panas.
"Gue mau kalian temuin siapa yang udah nyebarin video itu. Bawa ke gue hari ini gue," kata Raihan dengan tatapan tajamnya. Sepertinya cowok itu sedang menahan emosi.
"Bagi tim untuk keliling ke seluruh kelas sepuluh. Jangan pakai kekerasan, pastikan mereka mengaku," tambah Satria yang juga bertanggung jawab besar atas persami kemarin malam. Seluruh peserta mengangguk mengerti. Entah benar-benar mengerti atau hanya pura-pura mengerti karena takut akan tatapan tajam milik Raihan. Fauzan segera membagi mereka untuk berkeliling ke kelas sepuluh.
"Kalian bertiga ikut kita," kata Fauzan pada tiga gadis yang notabenya adalah sahabat Salsa sendiri. Mereka meninggalkan ruang ambalan dan menuju kelas X IPS 3 yang memang itu bagian mereka.
Semua siswa menatap takut ke arah enam orang kakak kelasnya itu. Wajah tajam milik Raihan membuat seluruh siswa tidak berani berkutik. Seperti melihat setan saja rasanya. Fauzan berdehem mencairkan suasana. Pandangannya menyapu seluruh ruangan. Menatap siswa-siswi bergantian. Mereka menunduk, tidak berani membalas.
"Kita di sini hanya ingin kalian mengatakan yang sejujurnya. Tentang video itu. Apakah dari kalian punya videonya?" tanya Fauzan tanpa basa-basi.
Hening. Tidak ada yang menjawab. Antara takut atau memang tidak ada yang punya.
"Ck, kalau gitu caranya mana ada yang mau ngaku," desis Elisa yang berdiri bersandar papan tulis. Elisa menghela napas pelan, ia maju mendekat ke arah Fauzan dengan menggeser tubuh Satria ke kanan. Kini ia bisa menatap seluruh adik kelasnya yang tengah ketakutan itu.
"Ehm, adik-adikku semua, kami di sini hanya ingin kalian jujur dan mengakui siapa yang punya video malam itu. Kami hanya ingin menyelamatkan kalian dari pihak berwajib jika kasus penyebaran video ini dilaporkan karena mencemarkan nama baik keluarganya." Elisa mengatakan itu dengan lembut dan sabar. Jiwa keibuannya muncul tiba-tiba.
"Iya, Dik, kami tidak ingin kalian menyalahgunakan video itu. Untuk itu, kami mohon katakan yang sebenarnya pada kami," tambah Satria.