“Tuh kan! Sekarang baru nyesel? Lo kemarin ke mana aja, Rai!”
“Gue bingung, Ca. Gue terlanjur bilang sayang ke Riska juga,” kata Raihan pelan.
“Gila! Lo kalau punya otak dipake dikit kenapa, sih!” Elisa memijat keningnya frustasi, tak mengerti lagi jalan pikiran sepupunya itu. “Lo belajar jadi buaya dari siapa sih? Kenapa jadi nggak punya otak gitu!”
“Gue juga nggak ngerti,” lirih Raihan.
Elisa menggeleng-geleng pelan, ia bingung harus menanggapi apa sekarang. “Gini deh, sekarang lo maunya apa?”
“Jujur sama hati gue.”
“Emang lo belum jujur?” tanya Elisa kembali.
Raihan menggeleng pelan, ia masih menatap Elisa seperti bocah TK yang butuh saran gurunya. Elisa menatap datar sepupunya itu. Tak habis pikir dengan jalan pikirannya.
“Ganteng tapi bodoh!”
Elisa menghela napas pelan. “Besok gue sama anak-anak mau nyusul Salsa. Riska juga ikut. Lo mau ikut nggak?” tanya Elisa mengalihkan perhatian sejenak.
“Sama siapa aja?”
“Gue udah bilang juga, sama anak-anak. Kita sepakat mau menyelesaikan masalah ini. Kita nggak mau kalau Salsa udah pergi keadaan tetap tidak membaik.”
“Oke. Hati-hati di jalan,” ucap Raihan logis. Elisa menggeleng pelan, jawaban yang jauh dari ekspetasinya.
“Sekarang gue tanya, lo jawab cepet.”
“Oke siapa takut,” balas Raihan sambil menyandarkan tubuhnya pada lemari di belakangnya.
Elisa tersenyum kecil, ia kembali melipat bajunya sebelum mengajukan pertanyaan pada sepupunya itu.
“Kertas HVS warnanya apa?
“Putih.”
“Susu warnanya apa?”
“Putih.”
“Awan warnanya apa?”
“Putih.”
“Sapi minumnya apa?”
“Air.”
Masih nyambung, oke. Lanjut.
“Es cendol warnanya apa?”
“Hijau.”
“Rumput warnanya apa?”
“Hijau.”
“Daun kelapa muda warnanya apa?”
“Hijau.”
“Jerapah makannya apa?”
“Daun lah!”
Oke. Elisa mengakui kecerdasan otak sepupunya itu. Elisa harus mempercepat ucapannya.
“Lanjut. Rambut lo warnanya apa?”
“Hitam.”
“Alis warnanya apa?”
“Hitam.”
“Aspal warnanya apa?”
“Hitam.”
“Kalau Riska sama Salsa mau jatuh ke jurang, lo tolongin siapa?”