“El, gue harus gimana?”
Elisa masih diam membisu. Mendengar cerita dari sahabatnya ini membuatnya semakin bingung. Sepulang dari drama hujan sore tadi, Salsa menceritakan detail kejadian dan semua ucapan yang keluar dari mulut Raihan. Dia meminta pendapat dan saran dari Elisa untuk memantapkan hatinya.
“Saran gue, ikutin kata hati lo Sal. Raihan udah jujur sama lo. Dia ke sini bukan untuk main-main, Sal. Raihan serius sama ucapannya.” Elisa berusaha meyakinkan Salsa lagi. “Tapi gue nggak nuntut lo buat nerima Raihan lagi, Sal. Semua keputusan ada di tangan lo. Dan apapun keputusan lo, gue yakin itu yang terbaik.”
Kini ganti Salsa yang terdiam. Benar apa yang dikatakan sahabatnya itu. Apapun pilihannya nanti, itu adalah keputusan dirinya sendiri. Dan Salsa juga harus menerima konsekuensinya.
“Perasaan gue tetap sama, El. Gue masih sayang sama dia. Nggak ada yang berubah sampai sekarang, El,” lirih Salsa.
Elisa mendongak, menatap Salsa yang mendongak ke atas. “Tapi lo masih ragu kan? Gue paham Sal.” Elisa menepuk pundak sahabatnya itu berusaha memberikan semangat padanya.
Salsa mengangguk pelan, ia mendekatkan tubuhnya pada Elisa. Lalu menyandarkan kepalanya pada pundak Elisa. “Kenapa harus sesulit ini untuk memustuskan?”
“Namanya juga ujian hati. Harus sabar dan kuat. Jangan buru-buru, Sal. Dipikirin dulu sampai matang. Kalau yakin ungkapkan kalau belum, yakinkan dulu,” saran Elisa bijak. Seperti itulah gunanya sahabat. Bukan mengekang tapi meluruskan. Memberikan nasihat dan saran yang baik. Bukan untuk menjatuhkan.
“Makasih, El!” Salsa memeluk erat Elisa dari samping. Ia bersyukur memiliki sahabat seperti Elisa yang selalu membantunya.
“Ngomong-ngomong, lo sama Satria beneran pacaran?” tanya Salsa tiba-tiba.
“Ihh mulutnya!” Elisa menyentil dahi Salsa yang berada di bawah dagunya. “Percaya kok sama Riko!”
“Hehehe. Tapi cocok loh!”
“Cocok dari mananya sih? Pasti lo liatnya dari sedotan kecil kan?”
“Seriusss Elisaaa...”
Elisa menggeleng keras. “Enggak ihh, mana ada!” elak Elisa.
“Ihh nggak asik. Elisa mah susah buat jatuh cinta,” gerutu Salsa kesal.
“Nggak ada waktu buat jatuh cinta. Hidup gue aja belum ada yang bener sok jatuh cinta!”
“Nyindir gue itu mah!” kata Salsa kesal.
“Nggak ada sayang. Murni gue doang yang hidupnya kagak bener,” kata Elisa sambil mengelus jilbab pink milik Salsa. “Muah!” Elisa mengecup pundak kepala Salsa dengan sayang.
“Sayang deh sama Elisa!” balas Salsa sambil mengeratkan pelukannya.
Tugas sahabat bukan untuk menjatuhkan. Tetapi merangkul saat kita terjatuh.
***
Jakarta mendung, sepertinya alam sependapat dengan seorang wanita paruh baya yang sedang membereskan baju di lemarinya itu. Ia menjeda aktivitasnya sejenak, berjalan menuju jendela yang suram itu. Iya suram, seperti hatinya sekarang.
Dia menghela napas pelan, lalu perlahan menarik gorden coklat itu. Tak lama kemudian, seorang laki-laki bertubuh jangkung menepuk lembut bahu kanannya. Wanita itu tersenyum tipis ke arahnya. Laki-laki itu hanya mengangguk, lalu menggenggam tangan wanita di depannya itu.
“Salsa pasti pulang. Dia perempuan kuat yang pernah aku kenal. Dia masih menyayangimu meski rasanya tak sama seperti dulu. Percaya sama aku.”
“Aku takut, Mas. Aku takut aku mengulangi kesalahan lagi padanya,” lirih Ilana
Laki-laki itu mengusap lembut jilbab hitam milik Ilana. “Ma, aku yakin semua akan kembali. Salsa akan memilih kamu. Semua butuh waktu,” ucap Anton meyakinkan. Ilana hanya mengangguk dan memeluk suaminya.
Aku tahu, aku memang salah. Mas, maafkan aku yang belum bisa menjaga anak gadismu. Maafkan aku Mas Adi, batin Ilana.
***
Hari ini, Salsa dan teman-temannya akan kembali ke Jakarta. Karena surat ijin mereka sudah habis masanya. Mereka akan kembali ke sekolah dan Salsa akan mengurus kepindahannya.
Tak lama kemudian, muncul sosok gadis dengan pashmina hitamnya dari pintu kamar. “Sal, lo udah siap?” Tanya gadis itu.