Suasana kantin SMA Persatuan selalu ramai dengan perkumpulan anak-anak yang sedang kelaparan. Apalagi kini Raihan dan teman-temannya sudah kembali. Setelah acara liburan kemarin, mereka kembali beraktifitas seperti biasa lagi.
Di sudut kantin, tiga orang remaja tengah mewawancarai temannya yang beberapa waktu pernah menggegerkan sekolah dengan penyebaran video itu.
“Terus, langkah apa yang lo ambil, Nay?” tanya gadis berambut pendek yang tak lain adalah Tika, teman Naya.
“Lo mau minta maaf sama Salsa? Lo yakin?” tanya Chelsea, gadis berjilbab yang sedang mengaduk mie di hadapannya.
“Gue bingung, gue nggak tahu harus gimana lagi,” balas Naya lemas.
Tika mengusap lembut bahu Naya. Sebuah kebenaran menampar keras perbuatannya kemarin. Naya mengakui kesalahannya, tapi ia ragu meminta maaf. Ia takut Salsa tak akan memaafkannya. Namun, jika ia tak meminta maaf dan jika itu terdengar sampai ke telinga orang tuanya, ia tak akan bisa pulang ke rumah dengan selamat.
“Minta maaf aja, Nay. Gue yakin serratus persen, Salsa maafin lo. Salsa nggak setega itu kok,” kata Chelsea yang sudah mengenal Salsa sejak kelas 10 dulu.
“Iya, daripada orang tua Salsa mecat bokap lo. Itu bakalan lebih buruk lagi,” saran Tika.
“Emang bokap nyokap Salsa udah tahu soal video itu?”
“Udah, orang tuanya minta gue minta maaf langsung ke Salsa. Niatnya kemarin pas panggilan gue mau minta maaf, eh Salsanya nggak ikut. Gue pikir besoknya di sekolah bisa, eh Salsa nggak masuk lagi,” jelas Naya.
Kali ini ia benar-benar menyesal. Perbuatannya sudah di luar batas. Menyebar fitnah yang merugikan banyak orang. Bukan hanya keluarga Salsa yang sakit hati, tapi pekerjaan orang tuanya juga terancam hilang karena papa Salsa yang sekarang adalah bos dari orang tua Naya.
“Dan sekarang dia nggak masuk lagi.”
“Kenapa nggak tanya sahabat-sahabatnya aja ya? Kan kemarin mereka pada nggak masuk massal. Raihan sama antek-anteknya juga gitu. Yaa, meskipun pada pake surat, tapi aneh kalau mereka ijin semua,” kata Chelsea yang membuat Naya dan Tika baru menyadarinya.
“Iya juga ya, mereka ijin bareng dan sekarang masuknya juga bareng. Pasti habis liburan bareng juga.” Tika menyuarakan pendapatnya.
“Dan pasti ada Salsa. Nggak mungkin dia nggak ikut,” tambah Chelsea.
“Fiks kita tanya Elisa!”
Tiga gadis itu meninggalkan kantin dengan segera. Chelsea tetap membawa mangkok mie ayamnya yang belum tersentuh karena keasyikan mengobrol.
“BU TUN MANGKOKNYA SAYA BAWA DULU YAA!”
***
“Ini semua berkas-berkas dan rapor Salsa, Bu,” kata Bu Alin sambil menyerahkan map kuning dan buku rapor milik Salsa.
Ilana menerima itu dan tersenyum simpul pada wali kelas Salsa. “Terima kasih Ibu. Saya benar-benar berterima kasih karena selama ini telah membantu Salsa. Mulai dari video itu, membantu menyembunyikan identitas Salsa, mengatur ijin Salsa, dan sekarang tentang kepindahan ini. Maaf, saya sudah merepotkan.”
“Tidak usah berlebihan Bu, itu sudah menjadi kewajiban saya sebagai orang tua kedua Salsa di sekolah. Mohon maaf jika belum maksimal, Bu,” kata Bu Alin hormat.
“Iya Ibu, Alhamdulillah Ibu sudah membantu kami.”
“Sama-sama, Bu, Pak. Semoga Salsa betah di sekolah barunya ya. Saya juga berharap dia bisa mendapatkan teman seperti teman-temannya di sini. Salsa adalah anak yang baik, semua teman-temannya juga sangat baik kepadanya. Apalagi saat kepergian Salsa kemarin, tujuh temannya berkonpromi membuat surat ijin dengan alasan aneh-aneh agar bisa mendapat ijin dari saya dan pihak sekolah.” Bu Alin menjeda ucapannya.
“Persahabatan mereka sangat erat. Saling membantu dalam suka dan duka. Ikatan emosi mereka sudah terjalin erat sejak kelas sepuluh. Bagaimanapun sahabat Salsa akan terus menjadi sosok yang berharga di hidupnya. Keberadaan mereka selalu membangkitkan semangat Salsa. Mereka segalanya buat Salsa, Bu, Pak. Saya harap, mereka akan tetap bisa berhubungan walau terpaut jarak yang jauh.” Penjelasan Bu Alin seolah membuka hati kecil orang tua Salsa. Ilana dan Anton sedikit terbuka.
“Sekali lagi, terima kasih Ibu. Kalau begitu kami ijin pamit.”
***
Naya dan dua temannya masuk ke kelas untuk mencari Elisa, tapi mereka malah melihat gadis yang dicari-carinya sejak kemarin. Iya, gadis itu Salsa. Dia terlihat mencolok karena memakai baju bebas, bukan seragam sekolah.
Salsa yang melihat Naya langsung menatap gadis itu. Tanpa amarah sama sekali, padahal dia baru saja mendapat cerita tentang fitnahnya dari teman-teman sekelasnya.
Naya mendekat pelan-pelan, diikuti Tika dan Chelsea dengan mangkoknya. “Salsa…” panggil Naya pelan.
“Nay…” Salsa bangkit dari duduknya, teman-teman lainnya memberi jalan.
Tanpa aba-aba, Naya memeluk Salsa erat. Salsa tersenyum senang, ia membalas pelukannya. Mengusap lembut jilbab putih Naya dan menepuk punggungnya pelan.