Ruang Kelabu

Fey Hanindya
Chapter #3

2. Tentangku dan Masa Lalu

Satu bulan terakhir ini aku merasa lebih letih dari biasanya. Mungkin saja hal ini karena jumlah pasien yang datang ke klinikku lebih banyak dari bulan-bulan sebelumnya tahun ini. Zara yang merupakan asistenku di klinik juga sering mengingatkanku untuk tidak terlalu memforsir diri dalam bekerja.

Bukannya aku tidak ingin beristirahat di rumah, hanya saja aku lebih menyukai berada di klinik dan mendengarkan berbagai cerita hidup dari pasien-pasienku. Ada berbagai macam kisah mereka yang membuatku merasa lebih bersyukur dalam hidup. Kisah-kisah mereka kujadikan pelajaran untuk membuat hidupku lebih baik lagi.

Salah satu kejadian unik saat aku menangani pasienku, aku pernah ditampar oleh pasienku yang mengidap gangguan mental bipolar. Saat itu dia datang bersama suaminya. Dia yang normal bersikap baik kepada semua orang. Namun, ketika sifat lainnya itu muncul, dia bisa menjadi seseorang yang sangat pemarah dan posesif terhadap suaminya.Mungkin pasienku itu mengira bahwa aku berusaha merebut suaminya itu dari dirinya.

Aku ingat betul ketika dia menarik-narik kerudungku hingga hampir copot. Untung saja suami dan juga Pak Dito yang merupakan satpam di klinikku segera menahan pasien itu. Jika tidak, aku rasa wajahku pun akan dicakar-cakar olehnya. Aku berhutang biaya operasi plastic pada Pak Dito, he he.

Terkadang ada rasa yang menganggap bahwa diri ini tidak cukup kuat untuk menampung berbagai kisah sedih yang mereka alami. Namun, profesi psikolog seperti sudah mendarah daging dalam diriku. Aku ingin terus mencoba untuk membantu mereka walau bahkan ada pasienku yang tak kunjung sembuh sampai sekarang. Tapi aku sudah berusaha bukan?

Kadang kala penyakit mental itu timbul akibat lingkungan yang mereka tempati. Tekanan dari berbagai pihak juga bisa menyebabkan depresi pada seseorang. Mereka yang tidak tahu cara meluapkan emosi akibat depresi itu akhirnya menyakiti diri sendiri ataupun orang lain. Ada yang berujung di rumah sakit jiwa, ada juga yang berujung pada kematian.

Sebenarnya hidup ini tentang untung-untungan saja. Beruntungnya orang-orang yang terlahir dari keluarga baik yang akan memperhatikan anggota keluarganya saat ada masalah. Begitu juga sebeliknya, menderitanya orang-orang yang bahkan tak ada yang peduli padanya meski dia menjadi sekarat.

Apa orang yang tak beruntung dari lahir akan selalu tak beruntung seumur hidup? Jawabannya tidak. Ketika kamu dewasa, kamu akan lebih pintar dalam memilah-milah mana jalan baik untuk ditempuh, dan mana jalan yang buruk. Jangan biarkan latar belakang hidupmu yang kurang beruntung itu menghancurkan masa depanmu yang cerah.

Aku yang berusia 27 tahun ini mendirikan sebuah klinik psikologi sendiri bukanlah sebuah hal yang mudah. Banyak sekali halangan dan rintangan hingga bisa berada di titik sekarang. Aku juga pernah terpuruk dengan masa laluku yang amat suram. Namun, menurutku se-kelabu apapun masa lalu pasti tidak akan bisa dilupakan oleh seseorang. Kecuali mereka hilang ingatan atau istilah medisnya amnesia.

Walaupun sulit, aku masih mencoba untuk berdamai dengan masa kelabuku itu dan menjadikannya sebagai pembelajaran bagi hidup saat ini dan ke depannya. Dengan begitu, dadaku tak akan terasa lebih sesak dari sebelumnya. Selain itu, traumaku ini membuatku semakin dapat merasakan perasaan yang hampir sama dengan perasaan pasienku bukan?

Sejujurnya aku masih sangat trauma dengan kejadian yang kualami di masa lalu. Aku harus mengonsumsi obat tidur semenjak saat itu karena mata ini tak bisa terpejam sedetik pun. Kejadian-kejadian masa lalu terus saja menghantui dari alam bawah sadarku.

Ini benar-benar luar biasa. Allah mengizinkan seseorang yang memiliki masa kelam dan trauma yang mendalam sepertiku untuk mampu menggapai cita-cita menjadi seorang psikolog. Terkadang, aku masih mengira bahwa segala pencapaianku ini hanyalah mimpi.

***

Saat itu aku masih berumur 18 tahun dan sedang duduk di bangku kelas tiga Sekolah Menengah Atas. Sejak kelas dua SMA, aku sudah mulai kerja paruh waktu untuk mendapatkan uang. Aku besar dari orang tua kaya raya, bahkan kebutuhan sehari-hariku dari kecil tidak pernah kekurangan.

Orang-orang pasti akan bertanya jika melihatku bekerja paruh waktu sebagai seorang pelayan di sebuah restoran, "Kenapa kamu capek-capek bekerja, Nak?" atau "Apa orang tuamu tidak memberimu uang?"

Karena realitasnya adalah aku bukan berasal dari keluarga yang kekurangan. Namun, orang-orang tentu saja tidak tahu dari mana orang tuaku memperoleh kekayaan itu bukan? Makanya mereka dengan gampangnya mengeluarkan kata-kata itu.

Sejujurnya aku tidak terlalu mengerti apa istilahnya untuk profesi orang tuaku itu, yang kuketahui adalah mereka itu menampung penyelundupan narkoba dari berbagai daerah lalu diedarkan ke agen-agen lainnya.

Aku adalah seorang muslim, orang tuaku juga muslim setidaknya itu yang pernah mereka katakan, walaupun ilmu agamaku tidak banyak, tapi aku tahu jika uang dari hasil kerja keras papa dan mamaku itu adalah haram. Jika memakan harta itu, aku percaya bahwa hidupku akan rusak dan hina nantinya. Jadi, sejak kelas dua SMA aku memutuskan untuk mencari uang untuk diri sendiri.

Setiap harinya terus banting tulang agar setidaknya bisa memberi makan diriku sendiri. Terkadang mama kesal melihatku tidak lagi memakan makanan yang dimasaknya. Namun, aku selalu blak-blakan jika tak ingin memakan uang haram itu. Sok suci sekali bukan?

Papa dan mama memang sangat menyayangiku, begitu pula denganku. Walaupun cara mereka mencari rezeki itu haram, tapi aku sangat menyayangi mereka. Aku menyesal karena saat itu sebagai anak tidak memiliki keberanian untuk melarang mereka lebih keras untuk menjual barang-barang haram itu lagi.

Nasi sudah menjadi bubur, yang sudah berlalu memang tak bisa diapa-apakan lagi. Lagi pula jika aku bisa memutar ulang waktu, apa aku akan berani dan tidak acuh lagi terhadap kejadian itu?

Sudah hampir 10 tahun transaksi jual beli narkoba dijalankan oleh papa dan mama. Mereka tentu semakin ahli dari waktu ke waktu. Aku juga penasaran bagaimana caranya sampai waktu yang lama itu polisi tidak menemukan apapun kejanggalan di rumah kami. Memang pernah beberapa kali digerebek oleh polisi. Namun, para polisi itu tidak menemukan apa pun di sana.

Bukan maksudku ingin papa dan mama masuk ke dalam lapas (lembaga pemasyarakatan) secepatnya. Aku hanya heran saja dengan trik yang dilakukan oleh papa yang membuatnya bisa terus bertahan selama itu. Tetapi, aku tidak terlalu peduli dengan pekerjaan mereka saat itu. Selama mereka tidak membunuh orang, bukankah ini jauh lebih baik?

Ah, itu adalah pikiran yang paling kusesali seumur hidup. Gara-gara itu, hidup keluargaku hancur, gara-gara itu hidupku hancur, dan gara-gara itu aku hampir kehilangan kewarasan.

Lihat selengkapnya