Pasangan yang barusan membuat kehebohan di lobi klinik ternyata bukanlah sepasang kekasih. Mereka hanyalah sepasang kakak beradik yang sedang adu argumen. Kakak perempuannya terus saja membentak sang adik dan menyuruh untuk berkonsultasi denganku.
Melihat perdebatan yang tak kunjung usai, aku langsung berinisiatif mempersilahkan mereka berdua masuk ke dalam ruangan. Anak laki-laki yang sepertinya masih SMA itu terus saja mengunci mulutnya dan berekspresi jengkel sesaat setelah pantatnya duduk di atas sofa itu.
"Saya sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa, Bu. Semakin hari adik saya ini semakin bertingkah aneh. Dia sering mengurung diri di kamar, dan saya baru melihat pergelangan tangan yang diiris-iris tadi pagi." Sang kakak menahan kesal dan juga sedih saat menunjukkan banyak sayatan di pergelangan tangan sang adik.
Aku memang sering mendengar bahwa beberapa orang meredam rasa sakit akibat depresinya dengan membuat luka di beberapa bagian tubuh. Menurut mereka itu akan membagi rasa sakit yang dimilikinya. Namun, selama satu tahun setengah menjadi psikolog klinis, tak pernah kudapati pasien yang melukai diri sendiri apalagi anak ini masih sangat muda.
Sepertinya anak lelaki ini tidak akan membuka mulut dan hanya menatap kesal. Sepertinya ia memerlukan privasi tanpa ada kakaknya itu. Kemudian, aku meminta kakaknya untuk menunggu di luar agar adiknya itu bisa kuajak berbicara.
"Dik, kalau kamu mengira orang-orang yang datang ke psikolog itu adalah orang-orang yang memiliki gangguan jiwa atau gila, kamu salah besar. Semua orang bisa datang ke psikolog kok, bahkan jika dia tidak memiliki masalah mental apapun. Ada beberapa orang ingin mendengarkan pendapat para profesional agar pola hidup mereka lebih terarah dan mengurangi sedikit rasa tertekan karena tidak memiliki tempat untuk mencurahkan isi hati." Aku mulai berbicara perlahan untuk mendekatinya.
"Kamu boleh bercerita apa saja kepadaku."
Anak itu mulai menatap mataku. Aku dapat melihat sorotan mata anak yang seakan memiliki beban sangat berat. Namun, anak itu mencoba untuk tetap menjadi kuat dan tegar. Sikapnya yang sedikit dingin itu membuatku mengerti, dia sedang menyimpan banyak tekanan itu sendiri.
"Ibu psikolog, saya tidak depresi. Saya baik-baik saja." Dia masih saja teguh pendirian tak ingin bercerita kepadaku.
"Bagaimana jika kamu memanggilku kakak saja, tidak usah panggil ibu, supaya kamu bisa lebih nyaman."
Anak itu mulai luluh dengan kata-kataku, mulai dari perkenalan dirinya yang bernama Willy, dan sekarang dia sedang duduk di kursi tiga SMA. Anak yang memakai kacamata itu terlihat masih sedikit ragu-ragu untuk membuka dirinya kepadaku. Kakaknya memilih untuk menunggu di luar ruangan untuk memberikan ruang privasi antara diriku dan adiknya
Aku terus saja mencoba sebaik mungkin untuk berinteraksi dan memahami dirinya. Namun, dia tiba-tiba saja menangis dengan menahan suaranya. Sikap sok kuatnya selama ini tiba-tiba runtuh. Pasti sangat sulit menahannya selama ini.
Perlahan ceritanya mengalir dari mulutnya itu.
Namanya Willy Nugraha, anak kelas 2 SMA yang sedang mempersiapkan dirinya untuk masuk ke salah satu perguruan tinggi terbaik. Tubuhnya terlihat sangat kurus dan kacamata tebal yang dipakainya menandakan kondisi mata yang sudah tidak sebagus mata yang dimiliki oleh anak normal pada umumnya.
Dia memiliki orang tua yang lengkap dan seorang kakak perempuan yang sudah sukses dan sekarang sedang mengurus bisnis milik papanya. Mamanya mengelola sebuah butik yang cukup besar.
Willy adalah anak yang cukup ceria saat dia masih kecil. Dia memiliki banyak teman serta prestasi yang gemilang. Orang tuanya juga bahagia dengan pencapaian anaknya itu. Saking senangnya, Sang Mama selalu membangga-banggakan anak sulungnya itu di depan teman-temannya. Willy sering melihat hal itu terjadi karena mamanya sering mengajaknya untuk ikut menemui teman-teman sosialitanya itu.
Mulai SMP, kehidupan Willy perlahan berubah. Dia tidak boleh masuk SMP yang sama dengan para sahabatnya. Papa dan mamanya menginginkan agar Willy masuk ke SMP unggulan. Sebenarnya mereka hanya tidak ingin kalah dengan teman-temannya yang memiliki anak di SMP unggulan saja.
Akhirnya, Willy masuk ke SMP sesuai dengan harapan dari kedua orang tuanya. Di sana dia masih berprestasi sama seperti saat dia duduk di bangku Sekolah Dasar. Namun, bukankah terkadang seseorang akan memiliki titik jenuh? Apalagi sejak mulai masuk SMP, Willy sudah diikutkan dengan berbagai jenis les tambahan.
Kegiatannya setiap hari adalah belajar dan terus belajar hingga larut malam. Tidak ada waktunya beristirahat. Bahkan saat akhir pekan pun mamanya telah mendaftarkannya untuk ikut les musik. Padahal Willy sama sekali tidak tertarik untuk memainkan alat musik. Dia ingin bermain bersama teman-temannya lagi.
Saat kelas 3 SMP, prestasi yang dimiliki Willy mulai menurun. Hal itu membuat orang tuanya murka. Dia tidak pernah melihat orang tuanya semarah itu. Padahal saat itu Willy hanya lelah untuk terus belajar dan bolos selama beberapa hari.
Setelah kemarahan orang tuanya itu, Willy tidak berani lagi untuk bolos sekolah. Setiap hari dia hanya belajar dan belajar. Beberapa kali dia terkadang dibandingkan dengan kakaknya yang memang lebih hebat darinya. Tidak seperti dirinya, kakak memang memiliki hobi dan ambisi yang tinggi terhadap belajar. Tak mengherankan memang sekarang sang kakak menjadi seorang pebisnis yang sukses.