Ruang Kelabu

Fey Hanindya
Chapter #5

4. Sakit Mental Bukan Berarti Gila

Jadwal buka klinik—setiap hari Senin hingga Jumat—mulai pukul 10 pagi hingga 4 sore. Lalu, ketika akhir pekan aku akan berkutat dengan kelompok psikolog yang turun ke jalanan. Walaupun sesekali aku akan memilih rebahan saja di rumah. Me time itu juga butuh lah sesekali.

Kami melakukan berbagai kegiatan seperti sosialisasi pentingnya kesehatan mental di lingkungan yang membutuhkan. Kadang-kadang kami akan mendirikan stand untuk konsultasi gratis. Namun, itu tidak terlalu sering kami adakan berhubung banyak teman-teman psikologku yang sering sibuk dengan kegiatan lain mereka.

Selain sebagai psikolog yang berada di klinik, kadang-kadang aku juga mengisi kuliah umum di berbagai universitas. Ini adalah kegiatan yang sangat kugemari, di mana aku dapat melihat antusias mahasiswa yang sangat tinggi di bidang psikologi, saat mereka mendengarkanku berbicara dan berdiskusi bersama.

Fenomena sekarang adalah tidak sedikit masyarakat menganggap orang yang memiliki masalah pada kesehatan mental disebut gila. Padahal tidak, sama seperti halnya jasmani yang kadang bisa sakit karena faktor X, rohani juga bisa bermasalah karena faktor X juga. Bukan berarti semua yang bermasalah dengan kesehatan mentalnya adalah gila.

Mereka hanya sedang memiliki tekanan pikiran yang disebabkan oleh permasalahan hidup. Tentu tidak semua kehidupan yang dimiliki seseorang itu selalu baik dan berjalan mulus bukan?

Tinining ... tinining ...

Ponselku berbunyi dan terlihat nama Zara di sana.

"Mbak Erina! Aku lupa ngabarin Mbak, kalau hari ini ada jadwal seminar hari Kesehatan Mental sedunia." Zara berteriak dengan suara yang sangat keras dan terburu-buru. Aku sedikit menjauhkan ponsel dari telingaku hingga suara melengkingnya itu berhenti.

Zara yang berumur lebih muda dariku memang hanya memanggilku 'ibu' saat di klinik saja, selainnya dia kusuruh untuk memanggil namaku saja. Begitu juga dengan Pak Dito.

Tanggal 10 Oktober 2020 terlihat di layer ponselku. Aku benar-benar lupa kalau hari ini adalah hari Kesehatan Mental sedunia. Biasanya aku akan mendatangi seminar Profesor Murjito di kampusku dulu. Sekarang beliau sedang berada di luar negeri, aku sampai lupa dengan hari ini.

Kulirik jam dinding yang menunjukkan pukul 07:45. Aku masih memiliki waktu dua jam lagi sebelum seminarnya dimulai. Sejujurnya aku sedikit geram jika mempersiapkan sesuatu secara mendadak, meski tak memiliki kendala dengan materi yang akan kusampaikan nantinya, sudah ada banyak berkas materi seminar di dalam laptopku. Hanya saja, aku tak suka dengan hal yang mendadak. Sudahlah, yang penting aku bersiap-siap dulu.

Sebuah taksi online yang kupesan sudah tiba di depan rumah. Perjalanannya membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Aku harap tidak ada kemacetan panjang yang akan membuatku telat sampai di tempat seminar.

Setibanya di sana, aku melihat perempuan dengan rambut sebahu dan kacamata yang mengenakan setelan rapi sedang menungguku. Ternyata Zara sudah duluan sampai di sana, aku pikir dia masih sedang berdandan di depan cerminnya.

"Mbak, ayo masuk! Sebentar lagi acaranya akan dimulai." Zara langsung membawaku masuk ke dalam ruangan seminar yang sedang berlangsung.

Banyak sekali peserta seminar yang hadir. Bahkan, beberapa psikolog senior juga hadir saat itu. Aku sangat tersanjung bisa diundang untuk mengisi seminar di mana para psikolog senior juga akan melihatku mengisi seminar ini. Perasaan jengkel dengan kabar mendadak ini segera berubah menjadi perasaan senang. Senyumku terus saja merekah.

Satu jam sesiku telah berakhir. Sesi selanjutnya akan diisi oleh psikolog lainnya. Sebenarnya aku ingin pulang ke rumah dan beristirahat. Namun, aku tidak enak hati untuk meninggalkan ruangan ini karena pemateri lainnya masih belum beranjak dari kursi mereka.

Ketika jadwal istirahat, aku langsung mencari tempat salat terdekat bersama Zara. Sepertinya aku tidak akan kembali lagi ke dalam ruangan. Aku berencana untuk menjenguk papa saja di lapas.

Setelah menemukan sebuah musala yang berjarak tidak jauh dari tempat seminar tadi, kami memutuskan untuk salat di sini saja. Musalanya tidak cukup besar dan luas. Tetapi, banyak jamaah yang merupakan peserta seminar yang datang.

Setelah salat selesai, aku berpisah dengan Zara karena tujuan kami tidaklah sama. Aku sudah berniat akan pergi ke lapas. Sejujurnya, tidak ada satu orang pun yang mengetahui tentang masa laluku, begitu pula dengan keberadaan papa di lapas. Aku menutup rapat kisah hidupku dari semua orang. Kejadian masa lalu membuat semua kerabat bahkan teman-teman meninggalkanku. Aku tak ingin hal itu terjadi lagi.

Di dalam perjalanan aku teringat akan kejadian masa laluku.

Setelah kejadian menjijikkan itu, aku merasa hidup ini sudah hancur dan kotor. Aku mulai takut dengan laki-laki. Interaksi dengan laki-laki juga kukurangi sebisa mungkin. Bahkan aku memutuskan untuk berhijab kala itu. Kupikir dengan berhijab, orang-orang tidak akan melirikku lagi, serta aku merasa lebih tertutup dan lebih aman.

Aku mulai menggunakan hijab tidak tanggung-tanggung. Namun, ternyata perubahan drastisku dengan mengenakan hijab besar sekaligus membuat teman-temanku penasaran.

Lihat selengkapnya