Minggu pagi yang benar-benar damai membuatku malas untuk bergerak dan beraktivitas. Sehabis salat subuh tadi, aku langsung merebahkan tubuh kembali di atas sofa kesayangan.
Rumah yang berada di lantai atas klinik membuatku mudah melakukan apapun jika klinik sedang sepi akan pasien. Kehidupan yang sangat damai, tentram, dan aman.
"Rumahku, klinikku."
Berada di rumah untuk bermalas-malasan memang sangatlah nikmat. Di mana tidak ada yang mengganggu dan membuatmu pusing tujuh keliling. Aku memijat-mijat pelan kening yang sedikit berdenyut. Sudah lama aku tidak memanjakan diri sendiri karena terlalu sibuk bekerja. Apa aku ke salon saja hari ini? Mumpung hari Minggu adalah hari yang benar-benar bebas untukku. Hmm...
Seharian di rumah, yang kulakukan hanyalah masak untuk sarapan dan makan siang, bersih-bersih rumah, serta baca berita. Ah, banyak sekali isu mental belakangan ini. Masyarakat memang kurang sadar akan pentingnya kesehatan mental bagi dirinya sendiri dan sekitar. Padahal, jika mental sehat, maka kita akan lebih mudah menjalankan kehidupan sehari-hari.
Beberapa masyarakat Indonesia juga menganggap bahwa penyakit mental yang dialami oleh anggota keluarganya adalah sebuah aib dan dibiarkan begitu saja. Sangat sedikit orang yang mau mengulurkan tangan bagi penderita mental itu. Ujung-ujungnya, banyak orang gila di jalanan terluntang lantung, tak jelas siapa keluarganya. Jika pemerintahnya peduli, orang tersebut akan dibawa ke rumah sakit jiwa untuk diobati. Namun, apa kabar dengan pemerintah yang acuh dengan masalah ini?
Terkadang para penderita mental illness hanya membutuhkan seseorang yang mau mendengarkan cerita dan mendukung mereka. Namun, mereka malah dianggap gila, ditelantarkan, dan dikucilkan dari masyarakat.
Jika membicarakan tentang mental issue, memang tidak akan ada habisnya. Depresi yang timbul akibat berbagai kejahatan: pelecehan seksual; kekerasan dalam rumah tangga; bullying, merupakan permasalahan yang sering terjadi di Indonesia. Depresi bukanlah masalah sepele, di mana si penderita akan sembuh begitu saja jika dibiarkan. Tapi, dia bisa menjadi sangat ganas, sama halnya seperti keganasan kanker atau tumor di dalam tubuh.
Aku berharap akan semakin banyak orang yang ingin mengulurkan tangan kepada para penderita mental illness yang ada di sekitar. Cukup belajar mendengarkan, jangan menghakimi. Karena kita tidak benar-benar tahu bagaimana jalan hidup yang sedang dijalani oleh mereka yang sedang mengalami mental illness.
Jarum jam berdetak tiap detik. Kulirik sekilas jam dinding putih yang menunjukkan angka tiga. Aku langsung pergi ke kamar mandi untuk berwudu dan menunaikan salat Asar. Kenapa hari libur waktunya berjalan sangat cepat?
Kulipat sejadah, lalu kulangkah gontai kembali menuju sofa. Perasaan bosan mulai terasa semakin berat. Menghirup udara segar sepertinya menjadi ide yang bagus untuk menjernihkan pikiran-pikiran yang terbelenggu dalam kepalaku.
Aku rindu menara tinggi di samping pantai itu. Sudah lama kaki ini tak menginjakkan tapaknya di sana. Menara putih adalah tempat favorit untuk sekedar menghilangkan jenuh atau menghilangkan stres.
Kuputuskan untuk pergi ke menara putih yang berada di pantai biru. Seperti biasanya, aku memesan taksi online sebagai transportasi perjalananku ke mana-mana. Memiliki kendaraan pribadi bukanlah prioritasku saat ini. Selain karena jarang bepergian, klinik dan rumahku berada di satu tempat yang sama. Jadi, untuk apa menghabiskan uang membeli kendaraan pribadi? Buang-buang uang saja.
Akhir pekan memang selalu menjadi suasana yang ditunggu-tunggu oleh setiap orang. Ada banyak keluarga yang terlihat sedang jalan-jalan bersama di taman, di pinggir jalan, bahkan di beberapa pertokoan.
Seketika aku teringat akan masa kecilku yang sangat indah. Ada papa dan mama yang selalu mengajak liburan ketika akhir pekan. Ma, aku rindu sekali sama mama.
Pandanganku tertuju pada seorang pengemis kecil saat sedang berhenti di persimpangan lalu lintas. Kurogoh uang di dalam dompet untuk kuberikan untuknya.
"Terima kasih, Kak," ucapnya dengan senyuman dan mata berbinarnya itu.
Terima kasih, ya Allah. Engkau telah membuatku dapat menikmati kasih sayang orang tua waktu kecil. Aku tak sanggup membayangkan bagaimana hidup seperti pengemis kecil itu. Mana ada orang tua yang tega menjadikan anaknya sebagai pengemis? Mungkin saja dia tidak memiliki ibu dan bapak.
Pantai lokasi menara putih terletak tidak terlalu jauh dari rumahku, hanya membutuhkan waktu sekitar 40 menit saja.
"Mbak, sudah sampai." Kata-kata sopir taksinya membuyarkan lamunanku seketika.
Sopir taksi langsung membawa pergi taksinya usai penumpangnya turun. Angin pantai langsung menerpa wajah yang tak tertutupi apapun. Ada beberapa bulir pasir yang ikut tertempel di sekitar pipi dan dahi. Kulirik lagi jam tangan yang jarumnya sudah berada di angka 16.40. Ternyata waktu yang kuhabiskan untuk mandi dan memilih pakaian tadi sangat lama.
Pantai yang masih indah seperti biasanya. Banyak pengunjung yang datang bersama teman, pasangan, atau bersama keluarganya. Sepertinya terlihat sedikit aneh untuk datang ke pantai seorang diri. Namun, aku tidak peduli dengan berbagai macam pandangan orang. Toh aku di sini tidak untuk mengganggu mereka. Peduli amat dengan pandangan orang.
Sesekali beberapa butir debu masuk ke dalam mata, membuatku susah untuk melihat ke arah sekitar. Ada banyak pedagang yang menjual jajanan tak jauh dari tepian pantai. Membayangkan rasanya menikmati pemandangan dari atas menara sambil makan jajanan. Ah ... nikmatnya.