Hari-hari sibuk sudah kembali, aku harus melayani pasien-pasien lagi karena Senin telah hadir lagi. Lakukan segala pekerjaan dengan hati senang dan niatkan karena Allah, maka pekerjaan akan semakin ringan dan bernilai pahala bukan?
"Ra, hari ini jam berapa ada pasien yang buat janji konsultasi?" Usai memastikan jadwal, aku harus segera ke apotik untuk membeli sesuatu. Obat tidurku hampir habis dan harus segera menyetoknya lagi.
Malam-malam akan menjadi saat-saat paling menegangkan karena bayang-bayang dan suara-suara yang membuatku trauma selalu terdengar kembali tanpa mengonsumsi obat. Walaupun sebenarnya siapa sih yang tidak tahu, mengonsumsi obat dalam waktu berkepanjangan akan merusak ginjal? Namun, aku bisa apa? Mata ini benar-benar tidak akan terpejam sama sekali.
"Nanti sekitar jam 1 hingga 3 siang ada dua pasien," jawab Zara yang menandakan ada dua jam waktu luang sebelum pasien selanjutnya datang.
Segera ku melangkah keluar dari klinik dan memesan ojek online. Bang Ojek memang selalu ada di saat aku membutuhkan, hmmm ...
Rencananya, sebelum membeli obat di apotek nanti, aku akan ke toko kue langganan. Tak ada acara besar, hanya sebuah perayaan kecil dan beberapa orang terdekat saja yang akan datang. Siapa lagi kalau bukan para pegawai klinik?
Tanggal 14 November adalah saat di mana umur psikolog yang sebenarnya sudah lapuk, tapi selalu merasa muda ini akan bertambah menjadi 28 tahun. Entah kenapa, aku ingin sekali merayakan ulang tahun kali ini. Padahal, sebelum itu jangankan peduli, untuk mengingat tanggalnya saja susah.
Aku ingin menjadi lebih dekat dengan para pegawai di klinik—dengan Zara dan Pak Dito. Beliau juga sepertinya akan membawa istri dan anaknya. Senang sekali rasanya bisa berbagi kebahagiaan bersama.
"Kak Erina!" Kepalaku menoleh, mencari-cari sumber suara.
Ternyata, itu adalah Willy pasienku yang masih menyandang status siswa SMA. Bagaimana bisa aku tak menyadari kalau orang yang sedang membeli obat tepat di sebelahku adalah Willy? Lagi-lagi diri ini kurang peka.
Dua strip pereda nyeri dengan dosis kuat tak sengaja tertangkap oleh lensa mataku dibeli oleh Willy. Untuk apa dia membeli obat semacam itu? Apa giginya sakit? Atau tubuhnya sedang terluka?
Tak sempat bertanya lebih lanjut, ponsel yang tiba-tiba berdering membuatku harus segera kembali ke klinik.
"Bu, ada seseorang yang ingin berkonsultasi. Dia sudah menunggu selama 10 menit," jelas Zara dari balik sambungan.
"Suruh tunggu sebentar lagi, Ra. Aku sedang menuju kembali ke klinik." Tanganku dengan cepat menekan fitur-fitur unutk pemesanan ojek online. Untung saja pesanan untuk makanan nanti malam sudah selesai, jadi sekarang aku bisa segera kembali ke klinik.
Jalanan yang sedikit lenggang karena bukan merupakan jam sibuk membuat pengendara ojek ini dapat lebih memacu motornya.
"Maaf ya, Anda harus menunggu lama." Napas yang masih memburu sedang kuatur setenang mungkin. Berlarian dengan kencang membuat napas tak beraturan.
Rasa terkejut refleks terpancar dari tubuhku saat melihat seseorang yang sedang duduk di ruangan. Itu adalah seorang waria. Hingga saat ini, belum pernah ada pasien waria yang pernah datang ke klinik.
Badannya yang sedikit berisi dan tinggi itu membuatnya semakin aneh dengan jeans ketat dan baju seksinya. Dia menoleh ke arahku dan tersenyum, menandakan dia tidak masalah menunggu kedatanganku yang sedikit terlambat. Ada rasa sedikit bersalah hinggap di hatiku karena senyumnya itu terlihat menyedihkan.
"Apa yang bisa saya bantu, Mas? Eh Mbak." Aku tergagap karena bingung harus memanggilnya apa. Dia yang mengerti dengan kebingungan dari raut wajahku meminta untuk memanggil namanya saja, Merlin.
Merlin ini seperti masih ragu-ragu untuk mengatakan apa yang ingin disampaikannya. Terlihat jelas dari gerakan-gerakan tubuh dan sorotan mata orang ini. Aku mengerti, ada beberapa pasien yang merasa percaya diri saat sedang di rumahnya, tapi merasa ragu saat tiba di klinikku.