Ruang Kelabu

Fey Hanindya
Chapter #8

7. Baru Setengah Jalan

"Assalamualaikum," ucap Zara perlahan membuka pintu rumahku.

Malam ini aku mengundang Zara dan Pak Dito makan malam bersama. Sebenarnya karena hari ini juga merupakan hari ulang tahunku. Semoga dengan bertambahnya umur, maka aku bisa menjadi lebih berguna bagi siapa saja. Insya Allah.

Zara datang lebih awal dari Pak Dito. Dia sudah mengatakannya sejak siang tadi. Katanya ingin membantu menyiapkan beberapa kebutuhan untuk makan malam.

Beberapa tusuk sate dan barbeque untuk dibakar sudah diantarkan oleh pihak toko. Sudah sejak dulu aku memimpikan bisa bakar-bakar sate bersama orang-orang terdekat. Alhamdulillah, keinginanku tercapai sekarang.

Setelah tempat panggang dan tusukan-tusukan sate itu dibawa ke halaman belakang rumah, Zara menyalakan bara api supaya bisa segera dibakar sate-satenya.

"Mbak, semuanya sudah selesai. Tinggal menunggu Pak Dito dan keluarganya." Zara dengan dandanannya yang khas terlihat sangat senang dengan acara bakar-bakar malam ini.

Aku jadi teringat saat pertama kali klinik ini diresmikan. Tidak ada asisten dan satpam, benar-benar kewalahan sekali. Namun, sejak kedatangan Zara, semua kegiatanku menjadi lebih teratur dan mudah.

Zara yang merupakan lulusan dari jurusan keperawatan itu berumur empat tahun lebih muda dariku, tapi sekarang menjadi 5 tahun. Aku semakin tua. Huft ...

Penampilan Zara yang eksentrik itu membuat orang-orang senang melihatnya. Gadis ini juga termasuk perempuan yang supel sekali. Terbukti saat dia dengan mudahnya akrab denganku. Rambutnya yang sebahu serta kacamata yang digunakan membuatku semakin suka melihatnya.

Dia memang benar-benar memiliki gaya dan sifat yang bertolak belakang denganku yang tak peduli sama sekali dengan penampilan. Memang perlu kursus khusus dengan Zara suatu hari nanti.

Malam yang tidak begitu sunyi karena derauan suara kendaraan. Kedatangan Pak Dito dan keluarganya menambah ramai suasana. Anaknya yang berumur 10 tahun itu terlihat ceria dan bersemangat sekali. Badan gembulnya terlihat sangat menggemaskan saat berlarian mendekat ke arah kami beruda.

"Wah, apa kami bisa tinggal makan saja?" gurau Pak Dito melihat semua persiapan sudah lengkap.

"Belum lah, Pak. Kan satenya belum kita bakar," jawab Zara sambil berekspresi dengan tangannya itu.

Tiba-tiba saja istri Pak Dito yang bernama Bu Mirna itu mengeluarkan sesuatu yang dari tadi dijinjingnya. Sebuah kotak besar yang membuatku penasaran.

"Selamat ulang tahun, Neng. Ibu doakan semoga Neng diberikan kelancaran dalam segala urusan oleh Gusti Allah." Sebuah doa yang membuatku terharu mendengarnya. sontak sebuah perlukan langsung melayang untuk Bu Mirna, beliau meningatkanku kepada mam. Aku rindu mama.

Semua orang yang hadir di sini memberikan ucapan selamat serta memanjatkan beberapa doa untukku, termasuk anaknya Pak Dito. Walaupun ini hanyalah makan malam sederhana, namun memiliki makna yang besar untukku.

"Kak, ayo kita bakar satenya!" teriak anak Pak Dito yang sedang berdiri di samping tumpukan tusukan sate. Sepertinya dia sudah tidak sabar ingin segera menikmati makanan itu. Aku segera berlari ke arahnya dan memulai acara intinya (bakar-bakar sate).

Suasana menjadi semakin ramai dengan tingkah usilnya anak Pak Dito. Anak lelaki umur 10 tahun memang sedang berada pada masa yang tidak bisa diam. Dia akan mencari segala macam cara untuk membuat dunia permainannya, meski terkadang yang jadi korbannya adalah aku dan Zara.

"Mbak di sini (kota ini) cuma tinggal sendirian aja?" Pertanyaan Bu Mirna membuatku bingung harus menjawab apa.

Meski sudah menduga akan ada yang menanyakan tentang ini suatu saat. Namun, terkadang aku masih belum menyiapkan jawaban atas pertanyaan ini. Satu sisi diri ini masih merasa malu karena memiliki bapak seorang narapidana pengedar narkoba. Satu sisi lainnya aku harus menerima kenyataan bahwa ini adalah takdir atas hidupku.

Tubuhku terdiam sejenak, lidah menjadi kelu.

Lihat selengkapnya