"Kak Erina!" Suara melengking seseorang membuat fokusku terhadap bacaan di laptop buyar. Aku segera menoleh ke arah sumber suara.
Sebuah kepala muncul dari balik pintu ruangan. Ya, Willy. Dia memang akhir-akhir ini sering sekali datang ke klinik. Bahkan dia sudah beberapa kali bolos pelajaran demi datang ke sini. Sudah kuperingati untuk tidak mengulanginya lagi, tapi anak ini susah sekali diatur.
Saat mengingat kejadian pertama kali pertemuan kami, anak ini malah sangat menutup rapat dirinya. Sekarang, semua itu terasa seperti pencitraan saat pertama bertemu saja. Dia benar-benar banyak sekali berbicara dan bercerita apa saja kepadaku.
Sebenarnya aku senang karena kedatangan Willy ke mari. Setidaknya hari-hariku tak harus selalu serius menghadapi para pasien. Willy membuat hari-hari di klinik menjadi lebih ceria.
Satu sisi aku senang melihat Willy yang sangat terbuka. Setidaknya ada rasa bahwa dia sudah mulai mencoba membuka diri dan tidak terus memendam tekanan yang dimilikinya. Namun, sisi lain ada rasa keresahan karena pagi ini aku melihat sebuah sayatan baru di pergelangan tangan kirinya itu. Apa selama ini dia menunjukkan sikap cerianya untuk menutupi kesedihan yang sedang dipendam?
Aku tidak akan menekan Willy dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang akan membuatnya lebih tertekan. Semua itu terserah padanya, jika dia ingin menceritakan apa yang sedang membebani, ya silakan. Jika tidak, tentu saja tidak ada paksaan saat konseling terjadi.
"Kak, aku hari ini bolos lagi. Aku tidak ingin belajar lagi. Padahal sebentar lagi Ujian Nasional akan dimulai. Tapi, aku mau istirahat sebentar saja di sini. Boleh ya kak .... Soalnya kalau pulang ke rumah, mama pasti akan marah," pintanya setelah mendudukkan pantatnya di sofa.
"Willy, sudah berapa kali kakak bilang supaya jangan bolos sekolah lagi. Toh sebentar lagi kamu lulus, akan ada liburan panjang," jelasku dengan lembut.
Semua orang yang melihat pasti paham dengan yang dirasakan Willy. Orang tuanya itu masih belum sadar dan tetap memaksanya untuk terus belajar. Setelah menyarankan Willy untuk jujur terhadap orang tuanya, anak itu malah kena marah habis-habisan. Karena kasihan, aku membebaskannya untuk datang ke sini kapan pun dia mau. Anak ini pasti merasa sangat tertekan jika selalu belajar di kelas dan di rumah.
"Ya sudah, tapi nanti siang kamu tidak boleh bolos les juga ya," tawarku dan dibalas dengan anggukannya cepat.
Baru saja klinik ini terbuka satu jam yang lalu, sepertinya tidak ada pasien yang akan datang pagi ini. Waktu santai ini akan kumanfaatkan untuk membaca lebih banyak jurnal. Apa ini artinya aku mulai memiliki ketertarikan untuk melanjutkan studi ke jenjang doktoral? Memanfaatkan waktu akhir pekan yang kosong, aku bisa mengambil kelas untuk pegawai bukan?
"Kamu mau rujak, Will? Biasanya jam segini ada Mang Rujak mangkal di depan klinik," tanyaku yang tiba-tiba saja ingin makan rujak.
"Mau .... Tapi, biar aku saja yang beli, Kak." Willy menawarkan dirinya, lantas langsung bangun dari sofa. Aku memberinya selembar uang kertas biru untuk digunakan.
"Siap, Bos!" jawabannya cepat sambil memperagakan gerakan hormat kepada atasan. Aku tersenyum melihat tingkah anak itu. Dasar Willy.
Lobi adalah tempat yang tepat untuk bersantai sambil mengobrol dengan Pak Dito dan menunggu Willy selesai membeli rujak. Kelihatannya akan lebih nikmat jika makan rujak bersama-sama daripada hanya duduk di dalam ruangan dan menunggu pasien yang belum kunjung datang.
Namun tidak lama berselang, ponselku berdering dan memunculkan nomor telepon yang tidak tersimpan.
"Dengan Bu Erina? Pak Bakhtiar Subroto, ayah Anda masuk rumah sakit karena serangan jantung, Bu. Sekarang sedang berada di rumah sakit lapas," jelas seseorang yang berbicara dari balik sambungan.
Aku menelan ludah keras, tak percaya dengan kabar yang baru saja kudengarkan. Dunia serasa berputar-putar tak menentu. Papa serangan jantung. Kenapa ini bisa terjadi, bukankah selama ini kesehatan papa baik-baik saja? Kenapa tiba-tiba serangan jantung?
Tanpa peduli terhadap sekitar, langsung saja aku bergegas mengambil tas jinjing dan berlari keluar klinik mencari taksi yang lewat.
"Kak, ini rujaknya sudah kubeli." Suara Willy terdengar memanggil. Namun ... maafkan kakak, Wil. Nanti kita bicara lagi ya. Hanya papa yang ada di kepalaku untuk saat ini. Ya Allah, semoga keadaan papa tidak parah.
Sekilas ujung mataku menangkap tubuh Willy yang sedang mematung dengan wajah bingungnya dari kaca mobil. Maaf ya, Will. Kakak buru-buru soalnya.