"Saya serius loh, Mbak. Saya benar-benar akan mendengarkan dengan baik ceritanya Mbak. Berhubung Mbak sudah menggagalkan rencana bunuh diri saya, dan saya sekarang tidak tahu harus pergi ke mana. Mending saya dengar cerita Mbak saja."
Lelaki ini kenapa bertingkah seperti sok kenal sok dekat saja denganku. Padahal, dari tadi aku tidak pernah menggubris sepatah kata pun dari kalimatnya. Tapi, dia terus saja menyambung kalimat itu seolah-olah dia tahu jawabanku.
Kurogoh ke dalam tas mencari sesuatu. Pasti ada di sini, tapi kenapa susah sekali mencari benda kecil itu? Nah ... ini dia. Sebuah salep luka yang selalu tersimpan di dalam tas kusodorkan untuk lelaki ini. Meski sejujurnya tak ingin peduli, tapi lukanya itu sangat membuatku tidak enak hati.
Lelaki berambut gondrong ini terlihat kebingungan dengan benda kecil yang baru saja diterima. Sesekali wajahnya akan tertutupi rambut yang tak dikucir sebab diterpa angin laut.
"Itu salep luka. Pakai sendiri, nih cerminnya." Kuberikan kamera ponsel untuknya bercermin. Aku tidak ingin memakaikan untuknya. Lagi pula aku tidak suka menyentuh-nyentuh wajah orang asing. Biar saja dia melakukannya sendiri, lagian yang terluka kan wajahnya, bukan tangannya.
"Mas pernah berpikir tidak, kalau hidup ini kadang tidak adil. Masalah bertubi-tubi selalu saja hadir. Saya merasa masalah saya itu tidak pernah habis. Tuhan selalu saja memberi cobaan kepada saya." Tak kusangka, perlahan curahan-crahan hati mengalir begitu saja di hadapan lelaki asing ini.
Sesekali kepalaku menoleh ke arahnya, melihat lelaki itu yang sedang mencoba untuk mendengarkan, sambil memakai salep itu di wajahnya. Dari tadi yang terlintas di pikiran hanyalah kami pasti tidak akan bertemu lagi. Jadi, tidak masalah kan jika aku ingin berbagi mengurangi sedikit beban dengan bercerita padanya?
Hanya cerita singkat mengenai kondisi papa yang sakit saat berada di dalam lapas yang kuceritakan. Tapi, rasa lega kini sangat terasa usai bercerita kepada seseorang. Aku tidak mengenalnya, dia sepertinya mengetahuiku dari kartu nama yang pernah kuberikan. Tak ada keinginan bagiku untuk berkenalan lebih dalam dengannya. Biarkan saja kami tetap menjadi manusia yang asing satu sama lain.
Selama bercerita, lelaki ini hanya mendengar dan mengangguk saja. Kadang dia menoleh ke arahku, mungkin sebagai adab berbicara dengan lawan jenis saja. Semoga saja lelaki ini tidak punya niat macam-macam. Jika iya, aku akan segera melompat dari menara ini daripada harus dilecehkan untuk kedua kalinya. Siapa tahu karpet Aladin akan benar-benar datang untuk menolong putri yang melarikan diri dari si penjahat kan?
"Makasih ya, Mas, sudah mau mendengarkan cerita saya. Saya juga meminta maaf karena sebelumnya saya sudah membentak." kepalaku tertunduk, menunjukkan bahwa ada perasaan menyesal atas tindakan yang telah terjadi. Saat itu emosiku sangat tidak stabil.
"Lain kali, kalau sedang merasa sangat sedih, jangan kesini. Nanti Mbak bisa khilaf loncat ke bawah." Lelaki itu terkekeh setelah mengucapkan kalimatnya. Dia juga mengembalikan salep yang kuberikan padanya.
"Simpan aja, Mas. Pakai sampai memar di wajahmu itu sembuh," ucapku menolak salep itu dikembalikan.
Sebenarnya aku bingung, dia melarang orang bunuh diri, tapi dia sendiri sudah dua kali tertangkap sedang berupaya melakukan bunuh diri. Apa dia sadar yang barusan diucapkannya padaku?
Ah, dari pada memperpanjang kalimat itu, lebih baik untuk mengiyakan saja semua perkataannya. Aku harus segera pulang ke rumah. Sebentar lagi azan magrib akan berkumandang.
Segera saja aku berpamitan dengan teman curhat sesaat ini. Kulangkahkan kaki menjauh darinya yang masih mematung di sana. Tidak ada derap langkah yang mengikuti, berarti dia hanya diam di tempatnya dengan bergeming. Barangkali dia masih ingin merenungi masalah-masalah hidupnya.
Seperti biasa, abang ojek online adalah sopir pribadiku ke mana-mana. Jalanan sore hari tentu sangatlah macet. Banyak pekerja kantoran yang baru pulang, atau siswa-siswa yang ikut kursus juga pasti sekarang saatnya mereka sedang berada di jalanan menuju rumah masing-masing. Tentu saja, mengendarai ojek akan memakan waktu yang lebih singkat ketimbang mengendarai taksi.
Senang sekali rasanya mencium wangi istananku. Bau vanila yang menguar dari pengharum ruangan otomatis membuat perasaanku terasa sangat nyaman. Badan ini juga sangat merindukan tempat tidurnya. Ah, nyaman sekali rasanya ketika punggung menyentuh sofa kesayangan. Aku sengaja membeli sofa yang berukuran besar dan nyaman.
Belum beberapa menit mata ini terpejam, suara azan terdengar dari ponsel pintarku. Jarak masjid yang cukup jauh dari klinik, membuatku harus mengatur suara azan di ponsel supaya ada pengingat ketika sudah masuk waktu salat.
Magnet tempat tidur benar-benar sangat kuat, terlebih saat orang yang sedang tidur di atasnya ingin bangun untuk beribadah. Beh, kekuatan magnetnya menjadi berlipat ganda.
Beberapa menit setelah bunyi azan berhenti, aku menuju kamar mandi untuk berwudu dan melaksanakan salat magrib. Ternyata dari tadi aku sempat lupa, ada Allah tempat mengadu, ada Allah tempat mencurahkan isi hati. Tapi, aku masih saja merasa sendirian, merasa kekurangan, merasa selalu memiliki beban. Padahal, sudah banyak sekali kenikmatan yang telah diberikan oleh-Nya.
Manusia memang susah sekali bersyukur. Maafkan hamba-Mu ini, ya Allah.
***
Aku sudah berkunjung ke rumah sakit tempat papa dirawat untuk ketiga kalinya. Kata dokter, papa boleh dirawat inap dua hari lagi. Setelah itu, papa harus kembali ke sel tahanannya. Ada rasa syukur, karena papa masih bisa beristirahat di rumah sakit. Beliau pasti mengalami masa sulit saat di lapas.