Ruang Kelabu

Fey Hanindya
Chapter #11

10. Kepergian Kesekian Kalinya

Sudah seminggu waktu berlalu sejak papa boleh keluar dari rumah sakit. Dokter sudah menjelaskan bahwa keadaan papa sekarang sudah kembali fit. Walaupun begitu, beliau tentu saja masih butuh istirahat lebih.

Aku senang sekaligus resah dengan keluarnya papa dari rumah sakit. Bagaimana tidak, aku senang karena artinya papa sudah sehat. Tapi, aku juga resah karena papa akan kembali berkutat dengan beban pikirannya lagi. Padahal, sudah berapa kali kuperingatkan untuk tidak terlalu memikirkan hal-hal yang tidak perlu.

"Apa aku lamar jadi psikolog di lapas saja ya?" Tiba-tiba sebuah ide muncul begitu saja dari kepalaku. Sepertinya ini bukan ide buruk juga. Aku jadi bisa memanfaatkan waktu libur, sekaligus bisa terus memantau keadaan papa.

Hanya membutuhkan dua hari untuk menyiapkan berbagai berkas untuk pengajuan menjadi psikolog di lapas. Aku tidak tahu berapa persen kemungkinan bisa diterima di sana. Tapi, apa salahnya mencoba. Semoga saja ada kabar baik nantinya.

Beberapa hari lamaranku diproses oleh pihak rumah sakit lapas. Hari itu tiba saatnya aku mendapatkan balasan dari pihak rumah sakit.

Sebuah e-mail dari rumah sakit itu muncul di kotak e-mail-ku. Ada rasa sedikit deg-degan ketika hendak membaca, berharap ada jawaban yang sesuai dengan ekspektasi. Tapi, tidak sedeg-degan saat pertama kali melihat hasil pengumuman seleksi kuliahku dulu.

"Ya Allah. Alhamdulillah. Aku diterima." Senang. Itulah yang kurasakan sekarang. Rasanya ingin membuat syukuran se-RT untuk merayakan atas diriku yang diterima praktik di rumah sakit. Bagaimana tidak, mulai sekarang anak gadis ini akan semakin sering bisa bertemu dengan papanya yang sedang berada di lapas.

Setelah mendapat e-mail yang menyatakan kelolosan, aku langsung berdiskusi sama pihak rumah sakit terkait jadwal. Sekali lagi rasa syukur yang sangat besar meliputi, mereka langsung menerima ajuan jadwal praktik dariku. Sabtu adalah hari yang tepat. Kata salah satu pegawai administrasi di sana, mereka memang sedang membutuhkan seorang psikolog di rumah sakit itu. Banyak tahanan yang stres dan depresi, dan mereka hanya memiliki seorang psikolog saja.

Aku bisa memulai praktik di sana mulai bulan depan. Mereka harus mempersiapkan berbagai hal terlebih dahulu untuk menambah seorang tenaga kerja di sana.

***

Hari ini, aku merebahkan tubuh sejenak saat jam istirahat. Sudah ada dua pasien yang datang siang ini. Kupejamkan mata sebentar untuk sekedar mengistirahatkan pikiran. Entah kenapa, meski tahu jadwal padat, tapi aku tak pernah memiliki inisiatif untuk libur beberapa hari.

"Bu, kami mau makan siang di warung depan. Ibu mau ikut?" tanya Zara membuat mataku terbuka melirik ke arahnya.

"Enggak, Ra." Sebuah tolakan cepat terlontar dari mulutku sembari mengubah posisi tidur. Saking sibuknya, tak ada lagi selera makan siang yang kurasakan. Tubuh ini lebih membutuhkan istirahat sebentar saat ini.

Mungkin baru 10 menit berhasil istirahat dengan tenang sebelum akhirnya ponselku berdering tak henti-hentinya. Sempat kudiamkan saja dan tak kuangkat, namun ponsel itu terus saja berdering hingga membuat mataku terbuka dengan malasnya, lantas bangun dan menjawab panggilan itu.

Nana. Nama yang terpampang di layar ponsel. Kugeserkan tanda hijau ke samping

"Bu ... Bu Erina, Wi-Willy sudah meninggal, bunuh diri."

Deg.

Seketika tubuhku langsung terjungkal ke belakang terkena sandaran sofa. Apa ini? Apa aku masih mimpi? Tapi, tadi jelas-jelas aku sudah bangun. Tangan ini juga terasa sakit saat terkena pukulan.

"Enggak mungkin, Mbak. Jelas-jelas minggu lalu saat Willy ke sini, dia masih baik-baik saja. Bahkan dia sudah semakin terbuka. Mbak Nana jangan bohong sama saya."

Saat mendengar berita dari Nana, jantungku berdegup kencang seolah tak percaya akan hal ini, napas berderu cepat serta kulit yang mengeluarkan keringat dingin. Cemas dan panik sedang melandaku. Aku tidak ingin percaya dengan berita aneh ini. Bagaimana bisa, Willy yang sudah kuanggap adik, dia ... bagaimana bisa? Di mana salahnya? Dari mana awal mula permasalahan yang tidak kuketahui selama ini?

"Saya akan mengirim alamat kami jika Ibu mau ke sini." Kalimat dengan nada sesenggukan dari lawan bicara membuatku sadar kembali dari lamunan sekejap.

Degup jantungku masih tak karuan. Air mata yang kucoba tahan akhirnya mengalir cepat di pipi. Rasa kesal dan marah kepada diri sendiri adalah hal yang sekarang kurasakan. Berkali-kali kepalan tinju tertuju pada sandaran sofa yang sedang kududuki. Ya Allah, aku bodoh sekali. Kenapa bisa begini? Padahal minggu lalu, dia masih biasa-biasa saja.

Sekarang aku benar-benar menyesal karena tidak bertanya tentang sayatan yang masih baru di lengan Willy. Aku tidak mengira kalau dia masih sangat tertekan selama ini. Bagaimana kamu menyembunyikan itu dengan baik dariku? Willy ....

Lihat selengkapnya