"BU! DENGERIN SAYA ENGGAK SIH?!" Teriakan perempuan yang sedang duduk di hadapanku ini membuat lamunanku seketika pecah.
Ya Allah, aku melamun lagi. Rasanya hari ini suasana hatiku sangat buruk, uring-uringan setengah hari. Perasaan masih tidak tenang karena kepergian pasien yang sudah kuanggap sebagai adik. Iya tahu, aku tidak boleh terlalu larut dalam kesedihan. Banyak pasien yang datang ke psikolog yang akhirnya bunuh diri karena tidak tahan dengan depresi yang dialami. Namun, rasanya berbeda. Willy benar-benar sudah kuanggap sebagai adik. Dia bukan pasienku yang datang lalu pergi begitu saja. Bagaimana bisa semudah itu merelakan kepergian adikku sendiri?
Sebenarnya dari tingkah laku pasien yang sekilas nampak, kurasa wanita ini menderita Histrionic Personality. Di mana pengidapnya senang mencari perhatian dan hidupnya penuh dengan drama. Dia begitu terobsesi untuk mendapatkan perhatian orang-orang kepadanya. Jelas sekali terlihat dari warna baju yang dipakai sangat eksentrik, bahkan lebih ngejreng dari penampilan Zara.
Dia juga sering menyelipkan kalimat-kalimat yang berisi kehebatan dirinya. Gangguan Histrionic Personality ini tidak terlalu berbahaya jika sang penderita menyadarinya sejak awal. Namun, pada hakikatnya penderita pasti tidak merasa jika mereka adalah orang yang senang mencari perhatian.
Gangguan ini bisa diakibatkan oleh dua hal: genetik dan lingkungan. Apabila bapak atau ibunya mengalami Histrionic Personality, kemungkinan besar anaknya juga akan memiliki penyakit ini. Sedangkan dari faktor lingkungan, bisa saja anak itu selalu disanjung-sanjung atau dimanja oleh orang sekitarnya, sehingga dia selalu menginginkan sanjungan-sanjungan dan segala perhatian selalu ditujukan untuknya.
"Maafkan saya, Mbak. Saya sedang kurang sehat hari ini." Alih-alih berterus terang, aku malah membuat alasan yang sangat umum. "Kita lanjutkan minggu depan saja ya, Mbak," sambungku sambil memasang wajah memelas.
Raut wajah pasienku itu mulai semakin terlihat sangat tidak enak. Dia langsung mengambil tas yang terletak di sampingnya itu dan pergi setelah mengeluarkan satu kalimat. "Dasar enggak profesional!"
Aduh. Dia benar. Aku tidak profesional dalam bertugas hari ini. Tidak biasanya aku sangat kehilangan fokus seperti ini. Seolah-olah ini bukanlah sikapku yang biasanya. Mungkin, aku harus memperbanyak istirahat beristirahat. Beberapa hari terakhir berbagai masalah datang silih berganti. Mulai dari papa yang sakit, hingga kematian Willy. Aku mencoba untuk menjadi baik-baik saja. Ternyata semuanya tidak semudah itu.
Masih dalam posisi berdiri mematung, setelah pasien yang tadi keluar dengan membanting keras pintu ruang konsultasi, tak ada sepatah katapun yang terucap oleh lidah. Ini memang salahku. Aku tak akan mengelaknya.
Huft ....
"Ra, nanti jam 1 kita tutup klinik saja ya. Aku sedang tidak enak badan," pintaku yang sebenarnya lebih ke perintah.
"Apa perlu saya belikan obat ke apotek supaya Ibu lebih enakkan?" tanya Zara.
Aku tahu dia khawatir dengan keadaanku. Aku juga tahu bahwa Zara memang asisten dan teman paling mengerti dengan berbagai permasalahan yang kuhadapi.
"Enggak usah, Ra. Kayaknya tubuhku cuma perlu istirahat. Nanti kalau ada pasien yang buat janji hari ini, kamu hubungi dan ganti saja jadwalnya ya." Aku menyunggingkan senyum kepadanya, lantas berjalan ke arah lobi.
Mata ini benar-benar terasa berat, begitu pula dengan langkah kaki yang terasa gontai melangkah menuju sofa yang berada di lobi klinik. Kurebahkan tubuh di sana sebentar. Sebentar saja ....
"Pak Dito—" Sayup-sayup terdengar suara seseorang sedang mengobrol dengan Pak Dito. Namun, aku benar-benar tidak ingin terjaga dari tidur ini, mataku tidak mau terbuka, serta ada rasa enggan mengeluarkan tenaga untuk membuka mata. Lagian tadi aku juga sudah memberi tahu Zara untuk menolak pasien yang datang.
"Bu Erina!" Ya Allah, Pak Dito. Baru saja lima menit mata ini terpejam.
Hoam. Aku menguap dan merenggangkan badan yang kaku setelah terbangun dari tidur singkat. Urat maluku memang sudah putus jika sedang berada di depan Zara dan Pak Dito. Mereka sudah kuanggap sebagai keluarga sendiri, mereka juga sudah mengetahui segala sifat jelekku selama setahun lebih bekerja di sini.
Aku mengerjap beberapa kali untuk mengembalikan kesadaran. Namun, aku terlonjak kaget ketika melihat ada seorang lelaki yang berdiri di samping Pak Dito. Posisi badanku langsung tegak seketika, membetulkan lamunan, dan menghapus ileran yang mungkin keluar saat tertidur tadi. Dasar Erina.
"Ehm ... ehm, Eh Mas Awan. Ada yang bisa dibantu? Tapi, kami akan menutup klinik sebentar lagi. Kalau memang ingin berkonsultasi, datang saja hari Senin." Aku menyunggingkan senyum paling ramah setelah berdehem memperbaiki suara serakku.
"Ouh, bukan kok, Mbak. Saya hanya ingin memberikan ini untuk Mbak Erina, karena telah diizinkan saya berkonsultasi secara cuma-cuma. Saya tahu kalau harga konsultasi di sini lumayan mahal. Jadi saya ingin memberikan roti ini sebagai ucapan terimakasih," balasnya sambil menyodorkan satu bungkus plastik. Banyak sekali roti yang dibawa, baunya juga harum. Ya Allah, nikmat mana lagi yang kudustakan?
"Ya ampun, Mas. Terima kasih banyak ya. Padahal saya ikhlas saat menawarkan konsultasi gratis kok. Benar-benar tak mengharapkan balasan, yang saya inginkan itu supaya beban yang selama ini Mas tanggung sendiri dapat berkurang, dan bisa menata hidup dengan pikiran yang lebih terbuka. Itu saja." Aku menerima roti pemberian darinya.
"Kalau begitu, saya permisi ya, Mbak," ucapnya dan langsung membalikkan badan.
Namun, sebelum dia sempat beranjak dari sana aku langsung memanggilnya lagi.
"Mas, ayo makan rotinya bersama-sama. Ada Pak Dito dan asisten saya Zara. Kebetulan klinik akan ditutup juga, jadi tak masalah," ucapku menjelaskan.
"Bagaimana Pak, Ra?" tanyaku meminta persetujuan Pak Dito dan Zara. Aku melihat wajah lelaki yang bernama awan itu menoleh ke arah Pak Dito dan Zara secara bergantian. Mungkin dia sedang menunggu jawaban mereka.