"Silakan duduk, Bu," ucapku mempersilahkan seorang ibu yang membawa anak laki-lakinya ke sini.
"Terima kasih, Dok."
Ah, pasti beberapa orang bertanya-tanya, kenapa ada yang memanggilku dokter. Sebenarnya kami, para psikolog bukanlah berprofesi sebagai dokter. Kami hanyalah ahli medis yang berkutat dengan permasalahan mental dalam masyarakat. Yang berprofesi sebagai dokter adalah mereka para psikiater.
Apa perbedaannya antara psikolog dan psikiater? Dua-duanya adalah profesi yang bergerak dalam menangani masalah mental atau kejiwaan. Selain berbeda antara panggilan dokter atau bukan, keduanya memang profesi yang dianggap sama oleh kebanyakan orang.
Namun, perbedaannya adalah seorang psikolog akan mendiagnosis gangguan mental berdasarkan pola tingkah laku pasiennya. Kami akan menganalisis, kemudian menyarankan beberapa pola hidup yang dapat mengurangi gangguan-gangguan yang dialami oleh pasien. Gangguan-gangguannya dapat berupa stres, depresi, kesulitan tidur, kesulitan mengatur emosi, kecanduan, fobia, dan lainnya.
Sedangkan psikiater, mereka lebih ke pasien yang memiliki gangguan mental yang tidak dapat disembuhkan hanya dengan konsultasi saja. Pasien yang datang membutuhkan obat-obatan untuk meredakan atau menghilangkan gangguan mental yang mereka alami seperti Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD), depresi akut, dan lainnya. Kami para psikolog tidak diperbolehkan meresepkan obat-obatan kepada pasien, karena kami bukanlah dokter.
Begitulah kira-kira sekilas penjelasan mengenai perbedaan antara profesi psikolog dan psikiater. Namun, walaupun ada yang memanggilku dokter, aku tidak akan menegur ataupun mempermasalahkan hal itu. Biarkan saja, karena masih banyak orang yang belum tahu tentang dunia psikologi dan psikiatri. Paling, jika ada yang bertanya padaku, akan kujelaskan kepada mereka. Jika tidak, biarlah mereka memanggil sesukanya.
"Saya membawa anak saya, Cio ke sini supaya dia dapat menghilangkan kecanduannya terhadap gim. Saya tahu ini karena kesalahan saya sebagai orang tua dalam mendidik anak. Saya terlalu memanjakan dan membebaskannya dalam melakukan apa pun. Sampai-sampai saya baru tersadar sekarang kalau Cio benar-benar sudah kecanduan dengan gim. Dia jarang keluar kamar, bahkan untuk makan saja sudah jarang," jelas sang ibu.
Aku memperhatikan sekilas anak yang sekarang sedang berhadapan denganku itu. Jari-jari tangannya terus saja saling mencabuti kulit-kulit yang berada di sekitar kukuhnya. Lututnya juga gemetaran tak menentu. Wajahnya tampak kesal sekilas.
Tingkat kecanduannya benar-benar sudah lumayan parah. Anak ini sepertinya tidak tenang karena sekarang tangannya tidak memainkan gim yang biasa dimainkan. Aku mengerti, sering kali hal ini terjadi pada anak-anak atau remaja zaman sekarang.
"Apa Ibu sudah memperbolehkan anak ibu memegang gadget sejak kecil?"
"Ya, saya merupakan wanita karier. Jadi dari umurnya satu tahu, saya sudah memberinya gadget. Karena jika Cio diberikan itu, dia tidak akan menangis dan mengganggu pekerjaan saya." Tiba-tiba saja wanita paruh baya yang sedang duduk di hadapanku ini menitikkan air mata. Aku memahami rasa bersalah terhadap anaknya itu.
Ah, sekilas aku jadi teringat Willy. Bedanya, ibu yang sekarang sedang bersamaku ini selangkah lebih peduli terhadap anaknya. Ini memang hal yang sering terjadi pada ibu-ibu pekerja. Apalagi setelah mengetahui kalau ibu dari pasienku ini adalah orang tua tunggal. Aku jadi semakin memaklumi dengan tindakannya itu. Bagaimana pun, mengurus seorang anak sendirian itu pasti sangat susah.
"Selama ini, saya pikir Cio sedang belajar dengan gadget dan komputernya. Tiap kali saya menegur, yang saya lihat adalah materi-materi pelajaran anak SMP. Namun, saya baru menyadari tiga hari lalu, saat Cio tidak keluar-keluar kamar. Makan pun dia tidak mau. Akhirnya, saya mengintip ke kamarnya dan melihat dia sedang bermain gim. Siang dan malam. Setelah pulang sekolah, dia langsung menyalakan komputernya dan bermain gim lagi." Wanita paruh baya itu menghela napas dan beberapa kali menghapus air mata yang menetes.
"Ini memang salah saya. Saya sebagai seorang ibu tidak memperhatikan anak dengan baik. Saya hanya sibuk bekerja," sambungnya.
"Anak ibu menderita gaming disorder, di mana sang anak sudah terlalu candu dengan gim sehingga membuatnya ingin terus bermain gim sepanjang waktu. Apa Ibu melihat ada sikap dari Cio yang berubah dari biasanya?" Aku ingin memastikan dan menegaskan lagi bahwa diagnosisku ini benar.
"Iya, Cio lebih sering marah-marah. Dia bahkan pernah marah besar ketika listrik di rumah padam. Saat itu, saya merasa kalau yang di depan saya bukanlah Cio, tapi orang lain. Dia benar-benar mengerikan," jelasnya sambil sesekali membelai rambut anak laki-lakinya.
Aku pernah membaca sebuah artikel di website hallosehat. Ada tiga tahap saat seseorang mengalami kecanduan terhadap sesuatu. Pertama adalah tahap awal, di mana seseorang memiliki keinginan terhadap sesuatu. Bisa jadi karena dia penasaran, ataupun ada faktor X lainnya.
Selanjutnya, di tahap kedua adalah orang tersebut mulai menyukai objek itu dan tidak dapat menahan diri untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan objek itu. Seperti halnya yang dialami Cio, dia mungkin awalnya hanya penasaran saja dengan gim. Namun, lama kelamaan, gim itu menjadi sangat menarik baginya, dan dia tidak dapat mengendalikan diri lagi untuk terus bermain gim sepanjang waktu. Bisa saja, saat di sekolah pun Cio tidak dapat fokus pada pelajaran, dan selalu memikirkan gim yang ditinggalkan di rumah.
Nah, tahap terakhir yaitu ketika pola tingkah laku yang sudah dilakukan terus menerus itu menjadi susah dihentikan karena sudah menjadi sebuah kebiasaan. Tahap ini benar-benar sudah parah. Anak-anak yang sudah mengalami kecanduan di tingkat ini, membutuhkan bimbingan khusus dari profesional.
Karena, untuk kecanduan terhadap gim, ada beberapa kasus yang bahkan mengantarkan seseorang kepada kematina. Bagaimana tidak, darahnya akan membeku karena kurangnya aktivitas yang dia lakukan. Anak tersebut hanya menggerakkan jarinya saja untuk bermain gim. Selain itu, kurang gizi karena sering tidak makan atau terlambat makan serta kelelahan juga menambah daftar pemicu kematian akibat kecanduan gim.
Aku harus mencoba untuk mengakrabkan diri dengan anak ini. Setidaknya ada satu atau dua kata-kataku nanti yang akan didengarkan olehnya.
"Cio ...," panggilku sok akrab. "Cio suka main gim apa sih? Kakak mau juga dikasih tau dong." Hal yang harus dilakukan untuk mendekati anak-anak adalah menanyakan kegemarannya dan pura-pura tertarik dengan itu.
Hei! Lihatlah, anak itu merespons pertanyaanku dengan melirik ke arahku. Walaupun aku belum pernah memiliki pasien anak-anak sebelumnya, sepertinya aku bisa mudah akrab dengan mereka.