Ruang Kelabu

Fey Hanindya
Chapter #14

13. Lembaran Baru

Pagi yang indah untuk memulai hari baru di tempat praktik yang baru. Aku sekarang sudah menjadi psikolog di rumah sakit lapas tempat papa ditahan. Apalagi alasanku bekerja di sana selain papa? Karena khawatir dengan kesehatan beliau setelah masuk rumah sakit dua pekan lalu, aku memutuskan untuk bekerja di sana. Supaya lebih leluasa untuk bertemu dan memantau kesehatan papa.

Hari pertama, aku harus berpenampilan baik. First impression is important. Benar bukan? Orang sering menilai seseorang dari kesan pertama mereka melihat orang lain. Aku ingin menunjukkan penampilan yang baik di hari pertamaku. Setelah bercermin lebih lama dari biasanya, aku siap berangkat.

Perjalanan selama lebih kurang 30 menit terasa cepat. Mungkin karena hari Sabtu bukanlah hari sibuk. Selain itu, pukul 07.25 Sabtu pagi, siapa juga yang bepergian keluar rumah kecuali ada urusan penting. Ini weekend, Bung! Saatnya bersantai di rumah bersama keluarga.

Setibanya di rumah sakit...

"Selamat pagi, Bu Erina. Mari saya tunjukkan ruang kerjanya," sambut salah seorang staf rumah sakit yang sepertinya adalah staf administrasi.

Aku mengikuti langkahnya menuju ke sebuah ruangan. Tidak terlalu luas, namun nyaman. Ini tampak bagus. Aku menyukainya.

"Terima kasih, Pak," ucapku pada seorang lelaki yang barusan mengantarku ke ruangan ini. Dia membalas dengan anggukan dan senyum, lantas pergi.

Dari informasi yang kudengar, hanya ada satu psikolog di lapas ini. Ditambah denganku, jumlahnya adalah dua psikolog. Makanya, ketika aku melamar disini, aku langsung diterima. Selain itu, menjadi bagian dari lapas ini, membuatku bisa bebas mengunjungi papa tanpa batas waktu kunjungan. Itulah yang kudengar dari pihak lapas ketika aku mendaftarkan diri.

"Bu Erina, sebentar lagi akan ada pasien pertama yang akan berkonsultasi. Beliau tidak mau makan selama dua hari ini. Permasalahan yang dialaminya adalah kekerasan dalam rumah tangga. Beliau masuk ke lapas ini karena membunuh suaminya sendiri. Mohon bantuannya ya, Bu. Setidaknya bujuk saja supaya dia mau makan. Kesehatannya benar-benar menurun dari kemarin. Ibu boleh menawarkan semua jenis makanan, nanti akan kami pesankan dari luar. Yang penting, ibu ini mau makan. Kalau begitu saya permisi," jelas salah satu perawat yang tiba-tiba mendatangiku.

Aku baru menginjakkan kakiku di sini kurang lebih 50 menit. Dan sudah ada pasien yang datang. Semoga saja hari pertamaku berjalan dengan baik.

Lapas ini lumayan besar, ada kompleks untuk lapas laki-laki, dan kompleks untuk lapas wanita. Tidak ada lapas untuk remaja. Itu adalah bangunan yang terletak jauh dari sini. Sebenarnya aku ingin mengusulkan untuk menerima pasien wanita saja. Karena aku takut dengan para nara pidana yang laki-laki. Tidak ada yang tahu bagaimana sikap dan sifat mereka kan? Biasanya mereka yang dipenjara cenderung agresif dan tidak ramah. Tapi, aku bisa apa jika di lapas ini hanya ada dua ahli kesehatan mental. Hal ini tentu tidak bisa mereka setujui.

"Silakan masuk, Bu. Silakan duduk." Aku mempersilahkan perempuan paruh baya yang muncul dari balik pintu ruangan ini. Beliau bertubuh kurus, dan berambut pendek bergelombang.

Dari data diri yang diserahkan oleh perawat tadi, umurnya adalah 52 tahun dan memiliki seorang putri. Sejak masuk ke ruangan ini, ibu yang bernama Laila ini tidak berbicara sama sekali. Dia tampak murung, tatapannya juga seolah kosong dan penuh kesedihan.

Seperti biasanya, aku memperkenalkan diri dan menjelaskan apa yang harus pasien tersebut lakukan. Pasien berhak menceritakan apa yang mereka inginkan saja, tidak ada paksaan untuk bercerita secara keseluruhan dan detail. Namun, akan lebih mudah untukku memberi arahan jika si pasien dapat bekerja sama dengan baik.

"Sepertinya wajah Ibu sedikit pucat. Ibu sudah sarapan? Kebetulan saya juga belum makan (padahal sudah). Apa kita pesan makanan dari luar saja? Saya yakin Ibu pasti tidak suka dengan makanan di lapas kan?" Aku memperlihatkan beberapa menu makanan dari aplikasi ojek online. Semoga saja ini berhasil.

Namun, ibu ini hanya melirik sesaat, lantas kembali terdiam tertunduk menatap meja.

Tidak seperti ruangan di klinikku yang memiliki sofa besar untuk pasien berkonsultasi, ruangan ini hanya memiliki satu sofa kecil. Pasien yang berkonsultasi denganku hanya bisa duduk di depanku, berselang dengan sebuah meja kerja. Aku harap, ibu ini tidak merasa seperti aku sedang menginterogasinya. Kuharap demikian.

Melihat pasien yang duduk di depanku ini tidak bersuara sedikit pun, aku memilih asal makanan yang akan kupesan. Mungkin saja, jika makanan sudah berada di hadapannya, beliau akan tergugah selera.

Lihat selengkapnya