Langit sudah berubah menjadi jingga saat aku tiba di rumah Zara. Aku langsung masuk ke dalam setelah Zara membukakan pintunya. Benar saja, tidak lama setelah meletakkan tas di dalam kamarnya, sayup-sayup suara azan magrib terdegar berkumandang.
Ternyata seluruh isi rumah, kecuali Zara sedang pergi untuk memastikan katering dan kebutuhan yang masih harus dibeli. Aku dan Zara langsung bersiap-siap untuk menunaikan ibadah salat magrib. Salat adalah hal utama yang harus dituntaskan terlebih dahulu.
Setelah itu, aku melenggang keluar kamar sambil memperhatikan persiapan yang masih perlu dibantu. Di tengah kesibukan kami berdua melakukan berbagai dekorasi di dalam rumah, akhirnya keluarganya Zara pulang. Aku menyalami Tante Mila dan Om Dika yang notabenenya adalah orang tua Zara secara bergantian.
"Tante Erina!" Rina memanggilku dengan suara melengkingnya sambil menjulurkan kedua tangganya ingin aku gendong.
Hei! Anak ini benar-benar tidak sadar kalau badannya sudah besar. Umurnya saja hampir menginjak dua tahun, bisa dibayangkan beratnya sudah tidak ringan lagi. Tapi melihat anak itu yang terus saja merengek ingin kugendong, akhirnya aku terpaksa menyambut tubuhnya dari Mas Kala, suaminya Kak Dara.
"Rina, jangan gitu dong, Nak. Badan Rina kan enggak kecil lagi. Tantenya pasti susah ngegendong kamu." Kak Dara memang benar-benar mengerti aku.
Tapi, apalah daya kalau anaknya ini tidak mau mendengar perkataan ibunya sendiri. Yah, di sinilah aku sekarang. Bantu beres-beres sambil menggendong anak kecil ke mana-mana. Sudah cocok belum ya aku menjadi ibu betulan? Haha.
Bagaimana mau punya anak, pasangan saja belum ada. Bagaimana punya pasangan kalau trauma masih terus saja melekat walau aku sudah berusaha berdamai. Dasar masa lalu, kamu sungguh masih ingin bersembunyi di ruang kelabu itu, walaupun aku sudah berulang kali mencoba membuka dan membersihkannya?
"Rina, pinggang tante sudah sakit, Nih. Kamu main sendiri saja ya. Masih banyak keperluan yang harus tante bantu nih," jelasku pelan kepada anak ini sembari menurunkannya dari gendongan.
"Tapi Rina mau main sama Tante. Temani Rina main aja." Anak itu memohon dengan mata sok imutnya.
Dasar anak-anak. Bagaimana cara menolak kalau dia sudah merengek-rengek seperti ini? Aku meminta izin untuk membawa Rina bermain ke kamarnya kepada Kak Dara. Siapa tahu dia akan segera lelah dan memilih tidur. Setidaknya aku bisa melanjutkan untuk membantu mamanya Zara kembali.
Kak Dara mengangguk.
"Palingan bentar lagi dia juga tidur. Soalnya seharian Rina sok sibuk bantuin aku, jadinya enggak tidur siang. Kamu bacain dongeng saja, pasti langsung tidur."
Aku mengangguk tanda mengerti. Langsung saja Rina menarikku menuju kamarnya untuk bermain. Itu sih rencana awalnya dia. Tapi, kuharap bocah ini langsung menguap dan tertidur.
Kamar yang bernuansa merah muda, dengan wallpaper kamar yang bergambar para tokoh Disney terlihat cocok sekali dengan Rina. Anak ini benar-benar dimanja sama orang tuanya. Isi kamarnya saja penuh dengan berbagai mainan. Pasti segala kebutuhannya selalu terpenuhi dengan mudah.
"Rina, gimana kalau Tante Erina bacain dongeng aja?" tawarku.
Duh, anak ini. Pakai acara pura-pura berpikir keras lagi. Benar-benar seperti sedang menirukan gaya orang dewasa. Tidak mustahil kalau dia sering melihat kebiasaan orang-orang di sekitarnya dan tanpa sadar membuatnya menjadi kebiasaan dirinya juga. Kelakuan bocah ini benar-benar membuatku geleng-geleng kepala.
"Oke! Tapi Rina enggak mau dibacakan dongeng dari buku-buku yang dibeli mama. Rina mau dengerin dongeng lain. Dongeng punya Tante." Jawabannya benar-benar membuatku hanya terpaksa tertawa sembari meringis di dalam hati.
Aku tidak pernah membacakan dongeng untuk anak-anak. Segala bentuk dongeng masa kecil saja sudah tidak terlalu melekat lagi di kepala. Aku memutar otak mencoba memikirkan cara mendapatkan ide untuk dongeng Rani sekarang.
Aha. Kenapa tidak terpikirkan dari tadi. Zaman sudah canggih kok masih saja kerepotan dengan hal sepele begini. Kugulirkan layar ponsel, membuka browser untuk menelusuri beberapa inspirasi dongeng untuk anak-anak. Yap, sepertinya mataku menangkap sebuah cerita yang lumayan bagus.
"Cerita Abu Nawas mau enggak, Rani?" tanyaku dengan penuh harap. Iyakan saja lah, Nak. Biar tante bisa langsung keluar.
"Boleh." Yes.