"Ra, hari ini ada yang buat janji konsultasi denganku?" Kuharap tidak ada.
"Enggak, Bu. Hari ini kosong. Tapi besok ada dua janji konsultasi. Ibu ada keperluan lain hari ini?" Aku menggeleng cepat. Kuharap juga tidak, hanya ingin memeriksa agendaku hari ini, tidak ada maksud lain.
Tak seperti bekerja di rumah sakit penjara, pasien di klinik justru lebih sedikit. Aku jadi tidak terlalu merasa terbebani setiap hari. Walaupun kadang kala ada hari yang dipadati oleh kedatangan pasien, namun tidak sepadat dengan kehadiran para pasien di lapas.
Sudah hampir satu bulan lamanya bekerja di sana. Setiap hari aku menerima setidaknya empat sampai lima pasien. Bisa dibayangkan bagaimana tertekan dan lelahnya diri ini. Niatnya ingin membantu meredakan masalah konflik batin orang, tapi batinku sendiri yang kewalahan. Lagi-lagi aku memiliki alasan utama untuk bertahan di sana. Ingat niat awal, luruskan, dan yakinlah kamu masih sanggup bertahan.
Sofa lobi klinik adalah tepat terbaik untuk bersantai saat jam istirahat. Ini memang kebiasaanku ketika tidak ada pasien, mengobrol dengan Pak Dito dan juga Zara. Berinteraksi seperti ini membuat beban pikiran dan lelahku menguap. Mereka benar-benar orang yang baik dan amat peduli. Selalu memberikan berbagai macam solusi atas curahan hatiku yang terkadang benar-benar tidak penting untuk didengarkan.
"Oh ya Bu. Sudah dengar kabar dari Awan belum? Ibunya meninggal tadi pagi." Berita dari Pak Dito benar-benar membuatku terperanjat. Mataku yang terpejam dengan cepat terbuka kembali.
"Mas Awan gimana, Pak. Maksudnya dia enggak berbuat sesuatu yang aneh kan?" Kejadian-kejadian percobaan bunuh diri Mas Awan sungguh masih melekat erat di kepalaku. Dia sangat menyayangi ibunya. Pikiran-pikiran negatif langsung menggerogoti kepalaku. Semoga saja tidak terjadi apa-apa.
"Bapak kurang tau, Bu. Bapak sudah meminta ibu (istrinya) untuk terus bersama Awan hari ini. Tapi, barusan ibu ngehubungi Bapak, setelah pemakaman dilakukan, Awan menghilang."
Pikiranku semakin panik memikirkan yang tidak-tidak. Hatiku menjadi sangat tidak nyaman sekarang. Rasa cemas, was-was, dan takut menyelimuti. Aku tidak bisa tinggal diam.
"Pak, saya pinjam motornya ya. Perasaan saya benar-benar tidak enak." Langsung saja kuambil kunci motor Pak Dito dan kutancapkan gas seperti orang kesetanan.
Jantungku benar-benar berpacu cepat sekali, bercampur aduk dengan kegelisahan. Aku bergumam berkali-kali saat memacu kecepatan motor matic milik Pak Dito.
"Mas, tolong jangan bunuh diri. Tolong. Kumohon." Kalimat-kalimat meracau terus keluar dari mulutku sepanjang perjalanan.
Sial. Kenapa jalanannya lebih ramai daripada biasanya? Aku melirik arloji, dan benar saja, sekarang sedang jam istirahat pegawai kantoran. Beberapa kali sudah kucoba untuk menyalib kendaraan yang menghalangi jalan. Padahal aku sudah lama tidak mengendarai motor, bagaimana bisa cara kendaraku hampir selevel dengan Iko Uwais? Aku sungguh bangga dengan diriku saat ini.
Keringat dingin mulai mengalir di pelipis saking cemasnya. Aku akan sangat merasa bersalah kalau pikiran buruk ini menjadi kenyataan dan aku tidak bisa mencegahnya lagi. Duh, apa tidak bisa melakukan teleportasi saja biar segera sampai di tujuan? Untuk sekarang aku benar-benar berharap memiliki pintu Doraemon. Rasa frustrasi kian membebani dengan jalan yang tidak kunjung lenggang ini. Tuhan ...
Aku langsung melajukan motor matic ini menuju menara putih—tempat aku menggagalkan aksi Mas Awan beberapa waktu lalu. Rasa percaya diriku menunjukkan angka 100 persen kalau dia sedang berada di menara itu saat ini.
Setibanya di area parkiran, aku langsung berlari, tertatih-tatih karena tertahan pasir pantai.
"Kenapa enggak disemen aja sih pasir-pasir ini?" rutukku kesal. Beberapa kali aku hampir terjungkal ke depan karena tersandung pasir.
Lihatlah ini. Tanda di lift menunjukkan kalau liftnya sedang berada di atas. Sudah pasti ada seseorang yang sedang berada di puncak menara. Siapa juga yang akan ke menara ini di siang bolong—di tengah terikanya matahari, kecuali orang-orang yang memiliki niat untuk melakukan hal-hal yang di luar nalar.
Tanpa berpikir panjang, daripada menunggu lift yang masih turun dari atas dengan lambatnya, sebaiknya aku menaiki tujuh tangga ini. Tak masalah, aku pernah melakukan ini sebelumnya.
Ketika kakiku yang sedikit bergetar menapakkan jejaknya di pintu balkon menara, mataku menangkap sesosok lelaki yang tidak asing sedang berdiri di tepian balkon. Dia sempat melihat ke belakang. Matanya basah. Dia tersenyum, tapi itu seperti senyum perpisahan.
"TIDAK!" Aku berlari sekencang mungkin, berharap dapat meraih tangannya ketika tubuh itu hampir melompat.