Ruang Kelabu

Fey Hanindya
Chapter #17

16. Bimbang

Tiga hari telah berlalu semenjak insiden aku beraksi seperti aktor laga Indonesia, Iko Uwais. Saat itu aku benar-benar merasa keren untuk sesaat. Namun, tidak dengan sekarang. Aku malah merasa sangat menyesal ketika mengingat kejadian itu. Bukan menyesal karena telah menyelamatkan nyawa seorang manusia, namun karena sebuah cuplikan kejadian yang terdapat di antara kejadian itu.

Aku bahkan tidak dapat duduk dengan tenang selama tiga hari belakangan. Takut jika lelaki itu malah menghampiriku dan menuntut janji yang telah kulontarkan padanya. Aku belum siap menikah, Tuhan. Walau umur hampir menginjak kepala tiga, aku benar-benar tidak pernah memiliki niat untuk menikah sekarang. Bukan sekarang waktunya.

Berkali-kali pernah terbesit di pikiranku untuk mengadopsi anak saja dan tidak usah menikah. Semenjak kejadian yang terjadi di masa lalu itu, aku tidak pernah percaya lagi dengan laki-laki mana pun, kecuali papa, Pak Dito, dan—ya, pokoknya orang-orang yang sudah dekat denganku.

Sekarang penyesalan yang teramat dalam sedang mengantuiku sebab telah mengajak lelaki itu menikah, alih-alih sebagai permohonan supaya dia tidak jadi bunuh diri. Kenapa tidak ada cara lain yang terlintas saat itu? Ah, hidupku sudah seperti drama-drama di televisi saja. Atau lebih seperti film "Harley McQueen" ya? Dia kan dulu juga ahli kesehatan jiwa yang jatuh cinta dengan pasiennya. Eh, tapi masalahku berbeda. Aku tidak jatuh cinta dengan pasienku.

"Bu Erina kenapa dari kemarin saya lihat Ibu selalu uring-uringan. Ada masalah? Mungkin kami bisa bantu. Iya enggak, Pak Dito?" ucap Zara sambil menaik-turunkan kedua alisnya meminta persetujuan Pak Dito.

"Iya, Bu."

Apa aku harus menceritakan ini kepada mereka berdua? Tapi, apa tidak apa-apa? Aku menceritakan kejadian kelamnya seseorang tanpa seizinnya. Jika tak menceritakan, aku juga bingung dengan situasi ini. Aish, bak memakan buah simalakama saja.

Aku juga sudah mencoba untuk salat istikharah, meminta petunjuk kepada Allah. Namun, masih saja belum menemukan titik terang untuk kegelisahan yang kualami beberapa hari belakangan. Sepertinya bantuan Pak Dito dan Zara memang diperlukan untuk urusan ini. Mereka pasti tidak akan berpikiran jelek kepada Awan. Aku yakin, mereka juga akan mengerti.

"Sebenarnya ini ada hubungannya dengan Mas Awan. Argh." Aku mengerang memeluk kepala sendiri dengan kedua tanganku.

Kucoba atur pernapasan lantas memulai untuk bercerita. Bagian demi bagian cerita itu mengalir pelan dan singkat saja. Aku hanya memberitahu bagaimana pertemuan-pertemuan kami yang tidak sengaja. Bukan cerita kelam yang dimiliki oleh lelaki berpostur tinggi jangkung itu. Aku tidak akan pernah membuka rahasia pasien yang mereka percayakan padaku.

"Aku benar-benar tidak dapat memikirkan cara lain lagi. Tiba-tiba saja mulutku melontarkan kata itu. 'Menikahlah denganku'. Bagaimana ini, Pak?" rengekku pada Pak Dito sembari mengentak-hentakan kaki. Persis seperti bayi besar yang sedang merajuk.

Jelas sekali ekspresi terkejut terpancar dari wajah Zara dan Pak Dito. Aku bisa memahami itu. Pak Dito juga bingung ingin memberi tanggapan seperti apa. Beliau beberapa kali menggaruk tengkuk dan mengusap hidungnya.

"Aku bisa lihat dari pancaran mata Mas Awan sih, Bu. Dia seperti sedang memikul beban berat dalam hidup. Walaupun aku enggak tahu, masalah seperti apa yang menimpa dirinya. Mungkin Pak Dito memiliki pendapat, karena beliau yang lebih mengenal Mas Awan, kan," jawab Zara.

Aku mengangguk lantas beralih menatap pria paruh baya di depanku.

"Saya tidak tahu harus menanggapi seperti apa kalau untuk masalah pernikahan dalam situasi seperti ini. Tapi sebelumnya saya ingin berterima kasih kepada Bu Erina karena telah menolong Awan—yang sudah saya anggap sebagai anak saya sendiri. Menikah itu bukanlah hal yang sepele, di mana hanya karena kata-kata yang tak sengaja keluar, maka dia benar-benar harus menikah.

"Menikah itu sebaiknya dilakukan sekali seumur hidup. Di mana dua orang harus bisa saling memahami, mengayomi, mencintai satu sama lain, supaya rumah tangga tetap utuh dan terjaga. Saya mengerti, Bu Erina pasti meragukan Awan yang latar belakangnya buruk, kan? Saya akan menceritakan beberapa hal tentang Awan menurut pandangan saya. Ini bukan membaik-baikkan ataupun menjelek-jelekkan dia karena kami bertetangga loh, Bu. Tapi, saya akan mengatakan apa yang saya rasakan."

Melihat air muka Pak Dito yang tiba-tiba berubah menjadi lebih serius membuat otot-otot leherku ikut berubah tegang. Kenapa suasananya mendadak gelap dan dingin ya? Takut jika yang akan diceritakan oleh Pak Dito adalah hal yang buruk tentang Mas Awan.

Aku mendengarkan ceritanya yang mengalir pelan. Bagaimana kehidupan Mas Awan sejak kecil hingga sekarang. Sebenarnya, sebagian besar cerita itu sudah pernah kudengar langsung dari Mas Awan, tapi tak apalah. Aku akan mendengarkan lagi versi Pak Dito.

"Awan itu anaknya sangat bertanggung jawab dan baik. Dia bekerja membanting tulang setiap hari untuk membayar hutang ibunya. Walaupun dia lahir di lingkungan yang sangat tidak layak, tapi Awan tak pernah melakukan hal yang buruk. Dia tidak pernah mencuri, karena ibunya akan memukulinya berkali-kali jika anak itu melakukan hal buruk. Meski kehidupan mereka buruk, tapi ibunya Awan tak akan membiarkan anaknya tumbuh menjadi anak yang buruk juga. Awan tak pernah berjudi, tak pernah melecehkan wanita. Awan pernah bercerita pada saya, dia sangat menyayangi ibunya, makanya dia tidak ingin melecehkan wanita, karena ibunya adalah seorang wanita."

Lihat selengkapnya